Saya tidak tahu apakah Wakil Menteri Perumahan Fahri Hamzah sedang bercanda atau memang bersungguh-sungguh hendak memusnahkan rumah tapak dari muka bumi kota-kota Indonesia. Pasalnya himbauan menaikan pajak rumah landed itu agak serius
Dalam pidatonya yang disampaikan dalam Simposium Nasional "Sumitronomics dan Arah Ekonomi Indonesia" nadanya tidak main-main--sedikit memaksa. Bayangkan saja, bagaimana artikulasi Fahri sebelum jadi wakil menteri--suka ngotot kalau di TV.
Fahri Hamzah berkata dengan semangat berkobar, "Misalnya nanti yang bikin rumah landed (tapak), pajaknya dinaikin saja sampai dia tidak bisa tinggal di landed. Pasti dia akan tinggal di rumah susun."
Di tangan seorang Fahri, rumah dengan pekarangan dan pagar bambu itu mendadak berubah jadi simbol dosa fiskal. Sebuah rumah yang terlalu horizontal untuk Indonesia yang katanya sudah kehabisan tanah.
Maka tak ada lagi subsidi di ujung, kata Fahri, alias tidak perlu dibantu kalau tujuannya membeli rumah, tetapi tolonglah si pengembang dengan subsidi di hulu--di tanah. Tentu saja, dalam logika pembangunan, ini terdengar efisien.
Tapi efisiensi kadang lebih rakus dari utang. Dan rakyat--yang dalam teori Adam Smith adalah konsumen rasional--di sini hanya jadi angka statistik dalam argumen vertikal.
Sekilas, usulan ini tampak penuh visi urbanistik masa depan: mendorong hunian vertikal, mengurangi urban sprawl, membentuk kota-kota kompak. Tapi mari kita ingatkan pada Fahri bahwa manusia bukan burung dara.
Dan rumah bukan hanya atap dan dinding, tetapi ruang untuk menjemur, membesarkan anak, menanam lidah mertua (Sansevieria), bahkan tempat berdebat dengan tetangga soal knalpot brong.
David Harvey, dalam "Rebel Cities," menegaskan bahwa ruang kota tidak bisa diperlakukan seperti pasar semata. Setiap jengkal tanah punya relasi sosial.
Sementara Joseph Stiglitz mengingatkan bahwa intervensi negara dalam pasar perumahan perlu hati-hati agar tak memperparah ketimpangan spasial dan sosial. Di Indonesia, rumah tapak bukan sekadar gaya hidup, tapi warisan budaya.