Bau daging kambing muda yang baru saja dipanggang di atas bara arang kelapa, bertemu bumbu kacang yang pekat dan sedikit lengket. Di atas daun pisang yang masih hangat dari uap nasi, tiga tusuk sate menggoda dengan minyak yang mengilat, berpadu dengan irisan lontong empuk.
Di hari raya kurban, aroma ini bukan sekadar pengisi perut---ini adalah ritus rasa, persembahan syukur, dan pesta kecil yang menautkan kita pada akar kemanusiaan: berbagi dan menikmati.
Selamat datang di Cilebut, Bogor. Sebuah pagi yang sejuk dengan kabut tipis menggantung di udara, dan suara kambing bersahut-sahutan dari kejauhan. Di pelataran Masjid Al Muhajirin Pesona Dua, asap tipis membumbung dari tungku-tungku darurat.
Ibu-ibu dengan kerudung dilipat rapi dan tangan penuh rempah, sibuk mengaduk, menusuk, menyiram, dan menyambut. Di sinilah kisah rasa dimulai. Dengan sate kambing muda, kuah tongseng yang mendidih pelan, dan semangkuk sup bening yang memanggil-manggil seperti puisi dalam uap.
Cilebut, sebuah sudut tenang di utara Bogor, pada pagi Idul Adha berubah menjadi panggung kuliner rakyat. Angin semilir membawa wangi rumput basah dan kayu bakar yang menyala pelan.
Di pelataran masjid, para bapak baru saja merampungkan proses penyembelihan. Sementara di balik dapur darurat, suara sendok beradu dengan panci, dan gelak tawa ibu-ibu menambah kehangatan dalam dinginnya udara pagi.
"Mas, mau sate kambing atau tongseng dulu?" suara seorang ibu menyambut ramah, dengan celemek penuh noda kecap. Pelayanannya bukan sekadar memberi makanan, tapi juga cerita.
Setiap tusuk sate dibumbui kisah dari dapur---tentang siapa yang memotong daging, siapa yang meracik bumbu, dan siapa yang berdoa agar daging kurban ini menjadi berkah.
Sate kurban di Cilebut bukan sembarang sate. Ini bukan hasil dari rumah makan besar dengan dapur industri. Ini sate yang dibumbui cinta dan niat.
Potongan daging kambing muda yang masih segar, direndam dalam marinasi sederhana: bawang putih, ketumbar sangrai, kecap manis lokal yang gurih. Daging ditusuk dengan presisi, tiga atau empat potong dalam satu tusuk, lalu dibakar di atas bara arang yang tak pernah padam.