Aku sempat kepikiran,kalau kita tidak berhenti berpikir,mungkin justru kita tidak akan tersesat.
Tapi tentu saja, pikiran semacam ini tetap bisa diuji. Harus diuji. Dengan antithesis. Supaya kita tahu, apakah pikiran ini layak untuk lanjut atau justru perlu direvisi. Dan kalau pikirannya mau menerima antithesis, itu tandanya pikiran ini sedang belajar. Ego-nya diturunkan. Ada proses learn dan unlearn.
Sebaliknya, kalau pikiran itu nggak mau diantithesis, bagiku justru itu yang berbahaya. Bukan buat umum. Tapi buat si pemikir itu sendiri.
Kita bisa lihat contohnya dari Ferry Irwandi. Sepenglihatanku, pikirannya mau diantithesis. Tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya lebih ke: apakah publik cukup mampu untuk mencerna kesimpulan dari pikirannya?
...
Aku sempat kepikiran,
Kalau ada yang bilang pemikir seperti itu bisa jadi penghalang dakwah,
sebenarnya ada gerbang yang jauh lebih dulu menghalangi dakwah ---Â yaitu masyarakat yang enggan berpikir.
Ini bisa dirunut dari hal yang sangat awal dan mendasar,
Perintah membaca ditinggalkan. Secara sengaja. Dan bahkan secara masif.
Membaca itu gerbang pikiran. Ketika manusia berpikir, dia bisa sadar: apakah dia salah, atau benar, atau mungkin benar dan masih bisa lebih benar. Dan setelah sadar, baru bisa dia lihat masalah yang katanya menghalangi dakwah itu --- secara nyata di lapangan.
Aku kuliah, dan sadar.
Budaya membaca itu bukan sekadar rendah, tapi memang dibuang. Bahkan oleh mahasiswa, orang-orang yang katanya kalangan terpelajar. Tidak semua memang, tapi realita menemukan yang senang akan membaca seakan seperti mencari ikan yang berenang melawan arus di sungai yang deras. Sepi.
Miris tapi sadis.
Budaya membaca diorientasikan ke pekerjaan. Kalau sudah punya kertas uang, kertas ilmiah tak dibutuhkan lagi.
Fenomena semacam skripsi jadi bungkus gorengan, buku dijual kiloan. Nyata.
Pesan "membacalah!" itu sebenarnya sudah tepat. Tapi cara penyampaiannya yang perlu dicurigai. Mungkin salah.
Baik dari pemerintah ke masyarakat, maupun dari masyarakat ke pemerintah.
Walaupun tidak semua buku, fenomena pemerintah memajaki buku yang digaungkan sebagai jendela dunia adalah sebuah kabut ironi.