Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Debat Perdana Capres Mereproduksi Tradisi Patriarki Orde Baru

30 Desember 2023   04:56 Diperbarui: 30 Desember 2023   05:58 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan negara demokrasi yang artinya memakai konsep dan penekanan pada kedaulatan rakyatnya. Ini artinya, rakyat memiliki kuasa untuk memilih pemimpin atau presiden sebab dalam konsep demokrasi ini presiden merupakan wakil rakyat untuk menanggulangi aspirasi keresahan rakyatnya. Budiarjo mengartikan partisipasi seperti sebuah aktivitas individu maupun kelompok untuk terlibat aktif di lingkungan ranah politik, seperti dengan memilih pemimpin negara secara langsung atau sebaliknya. Partisipasi politik dalam negara demokrasi dimanifestasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat (dikutip oleh Nurcahyo, 2016). Namun, rakyat yang seperti apa atau gender seperti apa yang benar-benar bisa berpartisipasi dalam politik?

Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa kedudukan pria dan wanita sebagai warga negara adalah setara. Tetapi, perwujudan setara ini tidak saya lihat dalam partisipasi wanita dalam politik Indonesia. Merujuk pada laman Data Partisipasi Wanita dalam Politik, partisipasi wanita Indonesia dalam politik menempati urutan ke-108 dari 193 negara yang dirangkum oleh situs tersebut per 1 November 2023. Dari negara Asia lainnya, Indonesia berada di bawah Cina namun berada di atas Korea Selatan, Korea Utara, dan Malaysia.

Pada praktik nyata di lapangan, kedudukan pria dan wanita tak pernah setara, khususnya dalam ranah politik. Pria selalu dipandang pemegang kuasa dan pengambil keputusan paling tepat. Sedangkan wanita dianggap secara terbalik. Jika benar negara ini menganut sistem demokrasi, lantas perwujudan seperti apa yang sudah ditunjukkan oleh struktur atau pemerintah itu sendiri sebab menurut saya konsep demokrasi tersebut sangatlah jauh ketika kita sandingkan dalam konteks Indonesia.

Kesimpulan

Soeharto menjadi tokoh paling penting dalam praktik melanggengkan budaya patriarki di Indonesia. Kegiatan ini terus-menerus diproduksi dan direproduksi oleh budaya politik tanah air, sehingga sampai saat ini pun masih terbangun sebuah citra bahwa wanita tidak cocok berada di tempat selain domestik dan keluguan wanita tersebut tidak pas berada di suatu tempat yang dipandang "kotor". Harapan untuk terciptanya kesetaraan dalam konteks demokrasi masih memerlukan waktu panjang sebab sangat susah mengubah suatu sistem yang sudah tertanam erat dan dipandang sebagai sesuatu kebenaran yang nyatanya palsu. Untuk menjadi Indonesia, saya kira caranya hanya satu, yaitu merombak budaya patriarki. Ketika budaya ini sudah tidak melekat terlalu keras, kita bisa secara perlahan menyuntikkan pendidikan politik, sehingga nantinya akan terbentuk banyak kesempatan bagi wanita dalam mengarungi ranah politik dan menegakkan hak-hak kaumnya yang masih belum diacuhkan.

Referensi


Eva, M. (2022, February 22). Mengapa perempuan tak kunjung capai kuota 30% di DPR? Retrieved from VOA Indonesia website: https://www.voaindonesia.com/a/mengapa-perempuan-tak-kunjung-capai-kuota-30-di-dpr-/6452476.html

Ida, R. (2001). The construction of gender identity in indonesia: Between cultural norms, economic implications, and state formation. Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 14(1), 21--34. Retrieved from https://api.semanticscholar.org/CorpusID:67828707

Katjasungkana, N., & Wieringa, S. (2003). Sexual politics and reproductive rights in indonesia. Development, 46(2), 63--67. https://doi.org/10.1057/palgrave.development.1110448

Mukarom, Z. (2008). Perempuan dan politik: Studi komunikasi politik tentang keterwakilan perempuan di legislatif. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(2), 257--270. https://doi.org/10.29313/mediator.v9i2.1125

Nurcahyo, A. (2016). Relevansi budaya patriarki dengan partisipasi politik dan keterwakilan perempuan di parlemen. Agastya: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya, 6(01), 25. https://doi.org/10.25273/ajsp.v6i01.878

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun