Mohon tunggu...
wydi esti
wydi esti Mohon Tunggu... Guru - perempuan

asli Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tatapan Terakhir

20 Januari 2022   20:54 Diperbarui: 20 Januari 2022   21:40 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                            Tatapan Terakhir

                                                              Karya  Wydiesti             

         "Mbak ibu sudah meninggal... "Bunyi SMS yang baru saja kubuka.

         "Innnalillahi wainnailaihi rojiun... "kataku spontan.

Air mata ini tak bisa terbendung hingga keluar  dengan begitu deras. Aku tidak memedulikan kanan kiriku yang memperhatikanku. Mereka heran karena  aku tiba-tiba menangis. Mungkin ada yang menganggap diriku kurang waras karena tiba-tiba menangis tetapi mungkin juga ada yang cuek sehingga membiarkan apa yang terjadi pada diriku. Waktu itu,aku  sedang menunggu giliran mendaftar untuk periksa dokter guna persiapan kemoterapi setelah operasi payudara karena kanker yang kuderita.

Sebenarnya aku sudah tahu kalau ibuku dibawa ke rumah sakit karena strokenya kumat. Aku berniat menyusul ke rumah sakit tempat ibuku di rawat setelah aku periksa dokter.  Aku berusaha berangkat pagi-pagi agar selesai periksa dokter tidak terlalu sore sehingga cepat menjenguk ibuku yang sedang sakit. Perkiraanku ternyata salah karena sesampai di rumah sakit  sudah banyak yang antre mendaftar.

         Setelah beberapa saat aku menangis,aku tersadar ketika sesorang yang berada di sampingku menepuk daguku dan menyapaku.

"Mbak... sebenarnya ada apa kok menangis?" Seorang ibu setengah baya bertanya kepadaku. Pertanyaan ibu tersebut tak langsung kujawab karena aku tak bisa berkata karena air mataku seakan-akan menyumbat mulutku untuk berkata. Aku hanya  menatap ibu tersebut sambil menangis. Baru beberapa saat kemudian aku bisa menjawab.

        "Ibuku meninggal,Bu".

        "O..begitu... sabar ya Mbak,semoga ibumu husnul khatimah," Kata ibu  yang berada di sampingku.dengan nada lembut dan penuh perhatian.

        "Ya,Bu... aamiin... terima kasih,"jawabku sambil mengelap air mataku dengan sapu tangan yang kubawa yang sudah hampir basah semua karena air mataku.

          Mengetahui kabar kalau ibuku meninggal,aku berniat untuk cepat-cepat pulang namun apa hendak dikata giliran pendaftaranku masih lama sehingga  kemudian aku  memohon kepada petugas agar  didahulukan.

         "Mbak...aku mohon tolong untuk didahulukan giliranku... bisa tidak?"ucapku memohon kepada petugas pendaftaran.

         "Tidak bisa,Mbak... ini yang antri dari tadi belum dipanggil kok Mbak baru datang mau minta duluan." Pertanyaanku dijawab oleh petugas itu dengan agak sinis.

         "Begini Mbak, saat ini ibuku meninggal... dan aku ingin segera pulang agar dapat menatap wajahnya untuk  terakhir kalinya." Aku berusaha memberikan alasan yang menyakinkan petugas pendaftaran tersebut agar bisa didahulukan.

         "Tidak bisa Mbak... semua punya kepentingan dan pengin cepat pulang juga ...tidak hanya Mbak,"ujar petugas dengan nada sinis.

          "Tidak begitu Mbak... saya benar-benar ingin cepat sampai rumah... karena ini terakhir kali saya bisa menatap wajah ibuku..." Aku sekali lagi  mengulangi alasanku mengapa pulang lebih cepat sambil menangis.

         "Pokoknya tidak bisa,"  Petugas itu dengan ketus.

         "Ya sudah...,"ucapku seperti orang sudah menyerah.

Karena ditolak permohonanku,aku berjalan dengan lunglai kembali duduk ke kursi yang kududuki sebelumnya. Pikiranku tidak tenang dan  hatiku sangat sedih. Kalau bukan karena jadwal periksa untuk kemoterapi kanker payudara,aku sudah meninggalkan giliran pendaftaran dan pulang.

Satu bulan  lalu,aku menjalani operasi pengangkatan payudara karena kanker dan kini aku harus periksa diri sebelum menjalani kemoterapi. Aku berangkat sendiri dan tidak ada yang mengantar. Suamiku sendiri juga baru saja sakit yang sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit sehingga kondisinya belum begitu pulih sehingga tidak bisa mengantarku.

Sebelum aku divonis kanker payudara,aku mendapat giliran  menunggu ibuku yang stroke  dua kali seminggu pada malam harinya. Ibuku menderita stroke selama hampir empat tahun. Beliau tidak bisa berjalan dan hanya berbaring di tempat tidur. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya orang yang hanya bisa berbaring dan tidak bisa ke mana-mana pasti bosan dan sakit.Tapi kini beliau dipanggil oleh Allah SWT dan aku tidak berada disisinya untuk terakhir kalinya. Hal ini membuatku benar-benar terpukul dan sedih.

Detik demi detik terasa lama buatku dalam menunggu giliran dipanggil untuk mendaftar. Selama menunggu panggilan,aku berusaha terus kontak dengan adikku yang sedang menunggu ibuku yang sudah meninggal itu lewat SMS. Aku menanyakan kapan kepulangan ibuku dari rumah sakit dan waktu acara penguburannya.

          "Jenasah ibu akan dibawa pulang pukul  berapa,Dik?"

          "Kira-kira dua jam lagi,Mbak."

           "Berarti nanti langsung dikubur atau menungguku,Dik?"

           "Ya kalau bisa menunggu Mbak... tetapi kalau terlalu lama Mbak juga belum pulang ya... apa boleh terpaksa Mbak kita tinggal."

           "Akan aku usahakan cepat pulang kalau sudah selesai periksa,Dik."

           "Ya sudah nanti penguburannya  pukul 11.00, Mbak."

Saat itu jam menunjukan pukul 09.00 aku masih punya kesempatan selama dua jam untuk bisa pulang sehingga bisa menatap wajah ibuku untuk terakhir kalinya. Untuk itu,aku berusaha berdoa agar pemeriksaan hari ini cepat selesai. Ketika aku menunggu,ada seorang ibu setengah baya mendekatiku. Ibu tersebut yang dari tadi memperhatikanku tetapi aku tidak menyadarinya kemudian dia bertanya kepadaku.

           "Mbak... nomor giliran pendaftarannya berapa,?"

            "Nomor antrean 150,Bu," Aku menjawab dengan singkat dan agak sedikit kaget karena pikiranku tertuju pada ibuku yang sudah meninggal.

            "Kalau begitu Mbak,saya tukar dengan nomorku saja ya... Mbak yang nomor 50 dan saya yang nomor 150." Ibu tersebut menawarkan nomor giliran pendaftarannya kepadaku sambil menyodorkan kertas yang berisi nomor antrean.

            "Benar,Bu?"Aku menjawab dengan dengan agak sedikit kaget dan tak percaya atas pernyataan ibu tersebut.

            "Benar Mbak... Aku ikhlas kok demi membantu Mbak yang sedang susah." Ibu tersebut berkata dengan sungguh-sungguh terlihat dari wajahnya.

            "Alhamdulillah... Terima kasih banyak ya ,Bu... semoga kebaikan ibu dibalas oleh Allah SWT." Kataku dengan mata berkaca-kaca karena terharu dan mengambil kertas antrean yang disodorkan oleh ibu tersebut.

Tak lama kemudian nomorku disebut oleh petugas maka aku cepat-cepat beranjak dari tempat dudukku dan berjalan ke depan loket pendaftaran. Setelah proses pendaftaran selesai,aku harus menunggu antrean lagi untuk pemeriksaan dokter. Deretan kursi untuk menunggu sudah penuh. Banyak orang terpaksa untuk berdiri dan duduk di lantai dekat ruang pemeriksaan dokter tersebut. Aku terpaksa duduk di lantai juga karena kalau berdiri terus aku capek. Seperti yang lain aku harus bersabar menunggu giliran. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00,aku merasa gelisah karena penguburan ibuku pukul 11.00 sehingga aku harus sudah sampai di rumah jam tersebut. Aku kemudian kembali berinisiatif untuk mengajukan permohonan kepada perawat yang jaga agar didahulukan.

             "Bu,bolehkah saya mendahului untuk pemeriksaan?" Tanyaku kepada perawat dengan nada memohon.

"Lho Ibu mengapa ingin didahulukan...ada apa?" Perawat tersebut  bertanya kepadaku dengan sabar. Dia menatapku seakan akan tahu kesedihanku mungkin karena mataku terlihat sembab karena habis menangis.

             "Begini,Bu... ibu saya meninggal saat ini dan akan dikubur pukul 11.00 siang ini dan saya ingin bisa menatap wajahnya untuk terakhir kalinya".

             "Oh...begitu... boleh saja... tapi berkasnya apa sudah sampai di sini,Mbak?"

            "Sepertinya sudah,Bu." Aku menjawab dengan senang karena permohonanku dikabulkan.      

Lega rasanya aku bisa langsung bisa diperiksa dokter.Setelah aku diperiksa dokter,aku harus menunggu obat yang juga antre. Alhamdulillah aku menunggu obat hanya seperempat jam. Aku punya waktu setengah jam untuk bisa sampai ke rumah.Aku berjalan cepat untuk bisa sampai di depan rumah sakit tersebut untuk menunggu bus yang akan aku tumpangi. Sebenarnya bisa naik taksi tetapi uangku tidak mencukupi untuk membayar taksi. Akhirnya  mau tidak mau aku harus menunggu bus yang lewat yang mengantarku pulang.

Detik demi detik waktu berjalan seakan memburu pikiran dan perasaanku agar cepat sampai ke rumah. Tapi apa hendak dikata,bus juga belum juga muncul. Saat aku disibukkan dengan pikiran dan perasaanku dari kejauhan terlihat bus yang akan aku tumpangi. Ada rasa sedikit gembira tetapi juga was-was muncul pada pikiranku karena jam sudah menunjukan pukul 10.45. Aku berharap agar bisa sampai rumah pukul 11.00 sehingga bisa menatap wajah ibuku yang terakhir kalinya.Aku merasa bus yang aku tumpangi berjalan begitu lambat hingga akhirnya aku pasrah kalau memang aku  sampai di rumah jam setelah pukul 11.00 maka kurelakan menatap wajah ibuku menghilang dari harapanku. 

Dan benar,aku sampai di rumah sudah pukul 11.30 dan para pelayat sudah bubar. Aku berjalan dengan cepat untuk menemui adikku yang masih bersedih.Setelah sampai kurangkul adikku dengan deraian air mata yang tiada terbendung. Hal itu tidak berlangsung lama karena aku sadar tidak boleh berlama-lama dalam kesedihan.Aku kemudian mengajak adikku untuk sholat ghoib selanjutnya ke makam ibuku yang baru saja dikubur. Doa kulafatkan dengan sepenuh jiwaku agar ibuku diampuni dan diterima amal ibadahnya.

Dari kejadian ini aku mendapat pelajaran berharga bahwa manusia hanya bisa merencanakan dan hanya Allah SWT yang tahu  kapan kematian akan menjumpai  manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun