Dalam pemerintahan definitif yang belum lagi seumur jagung usianya, komunikasi elite terutama pejabat publik seharusnya menjadi jembatan interaksi yang sehat, produktif dan berdampak positif, sekaligus berlangsung dalam suasana penuh empatik dan saling hormat antara negara dan rakyat. Namun di awal perjalanan pemerintahan Presiden Prabowo, blunder demi blunder dari para pembantunya justru memperlihatkan corak yang sebaliknya. Saya mencatat sejumlah blunder komunikasi politik mereka, dan mengulas ulang secara serial dalam beberapa artikel pendek ini.
Â
Komunikasi Stigmatik dan Hierarki Moral
Dalam demokrasi, kritik publik semestinya disambut dengan refleksi, bukan dengan label. Namun, pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak justru menunjukkan hal sebaliknya. Menanggapi kekhawatiran masyarakat sipil terhadap revisi UU TNI dan isu supremasi sipil beberapa waktu lalu, Jenderal Maruli berkata, "Pemikiran seperti itu kampungan." (Kompas.id, 10 Maret 2025). Dalam satu kalimat, kritik sosial diubah menjadi bahan olok-olokan.
Pernyataan tersebut menyulut perdebatan publik tentang bagaimana retorika militer merespons aspirasi sipil. Apakah stigma telah menjadi strategi resmi dalam membungkam ketidaknyamanan elite terhadap demokrasi?
Dalam studi komunikasi politik, stigmatizing rhetoric didefinisikan sebagai strategi membingkai lawan bicara sebagai inferior, tidak layak, atau tidak relevan. Tyler (2022) menyebut stigma sebagai "discursive violence", kekerasan dalam bentuk kata-kata yang merendahkan lawan ideologis.
Pernyataan KSAD bukan sekadar reaksi defensif, melainkan bentuk simbolik dari institutional arrogance. Ketika elite militer menyebut kekhawatiran masyarakat sebagai "kampungan," maka institusi militer sedang meletakkan hierarki moral: bahwa yang berhak berpikir hanyalah mereka yang berseragam.
Â
Bayang-bayang Otoritarianisme
Indonesia memiliki sejarah panjang relasi sipil-militer yang tidak selalu harmonis. Dwi Fungsi ABRI pada era Orde Baru menjadikan militer tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga ikut mengatur politik. Reformasi 1998 menegaskan supremasi sipil sebagai pondasi demokrasi. Namun, setiap kali isu militer dikritik---dari penempatan jabatan sipil hingga kebijakan alutsista---respons stigmatik kerap muncul.
Menurut Callamard (2025), "Authoritarian residues persist in rhetoric even when institutions evolve." Retorika stigma adalah sisa otoritarianisme yang belum sepenuhnya sirna.
Kritik terhadap revisi UU TNI bukan tanpa dasar. Akademisi, aktivis HAM, dan masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal-pasal yang membuka peluang militer menduduki jabatan sipil tanpa pengawasan ketat. Dalam laporan Kompas (10 Maret 2025), disebutkan bahwa revisi itu mengandung potensi militerisasi birokrasi, dan bertentangan dengan semangat reformasi.
Namun alih-alih berdiskusi, KSAD memilih menyerang secara personal dengan label "kampungan." Padahal yang kampungan bukanlah kritik, melainkan sikap defensif terhadap koreksi publik.
Dalam Critical Discourse Analysis (CDA), ujaran semacam ini dikaji sebagai bentuk ideological framing. Jenderal Maruli sedang membingkai ulang narasi publik: mengubah kritik menjadi gangguan, mengubah aspirasi menjadi inferioritas.
Menurut Chouliaraki & Fairclough (2023), "Power speaks not only through policies but also through language. The way a critique is dismissed reveals the deep grammar of domination." Dalam hal ini, stigma bukan sekadar gaya bahasa, tetapi sistem berpikir.
Setelah pernyataan Maruli viral, aktivis dan akademisi bereaksi. Direktur Imparsial menyebut komentar itu sebagai "bentuk pembungkaman intelektual yang berbahaya." Sementara Direktur Setara Institute menulis, "Jika pemikiran kritis dianggap kampungan, maka militer gagal memahami demokrasi."
Tagar #KritikItuKonstitusional sempat naik di media sosial. Publik menyadari bahwa retorika seperti ini bukan soal gaya personal, tapi soal pengabaian terhadap hak rakyat untuk bicara.
Harus Berani Berubah
Retorika stigmatik berdampak luas terhadap citra militer. Studi oleh Lee & Park (2023) menunjukkan bahwa komunikasi represif dari militer dapat "accelerate public mistrust and alienation." Jika dibiarkan, militer bukan hanya kehilangan dukungan sipil, tetapi juga kehilangan legitimasi sebagai institusi negara.
Pernyataan Jenderal Maruli telah memperlihatkan bahwa militer belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang otoritarian. Seragam harusnya melindungi rakyat, bukan melabeli pikirannya.
Sikap seorang pejabat negara terhadap kritik mencerminkan kualitas demokrasi yang dijalankan. Ketika kritik disebut "kampungan," maka negara sedang mempertanyakan hak rakyat untuk berpikir. Padahal dalam demokrasi, kritik bukan gangguan. Â Ia adalah fondasi perbaikan.
Retorika pejabat militer harus berani berubah. Dari hierarki ke empati, dari stigma ke dialog. Sebab bila seragam dijadikan alat ejekan, maka demokrasi akan kehilangan warna sipilnya.Â
Blunder bukan sekadar kelalaian. Ia adalah cerminan relasi kuasa yang timpang. Ketika seragam bicara dengan stigma, maka rakyat perlu bicara dengan keberanian. Di seri berikutnya, saya akan mengulas blunder lainnya: candaan pejabat yang kehilangan empati terhadap aspirasi kaum muda.
Serial ini belum selesai. Pada artikel berikutnya, saya akan menyusuri dan membaca blunder-blunder retoris lain yang tak kalah kontroversial, untuk menunjukkan bahwa luka komunikasi bukan kejadian tunggal, melainkan pola yang berulang. Dan retorika yang sakit, tentu harus disembuhkan. Jika sepakat, pantau terus serialnya kedepan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI