Selain terkait substansi putusan, Arief juga merasakan adanya keganjilan lain, yakni berkenaan dengan penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda. Dia mengatakan, lamanya penjadwalan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan, dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).
Kebingungan yang dialami Saldi Isra
Berbeda artikulasi namun memiliki substansi yang sama diungkapan oleh Hakim Saldi Isra. Di tengah pembacaan dissenting opinionnya, Saldi merasa bingung.
Soal yang membuat Saldi bingung adalah bahwa lewat putusan tersebut, MK membolehkan orang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum. Putusan ini dibacakan pada siang menjelang sore hari ini, usai MK menolak tiga putusan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun pada pagi harinya.
"Sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa 'aneh' yang 'luar biasa' dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Sadar atau tidak, ketiga putusan (tadi pagi) tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," ucap Saldi pada saat pembacaan dissenting opinion.
Peristiwa aneh itu, kata Saldi, saat MK bisa berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.
Sebagaimana kita saksikan kemarin, pada sidang pagi harinya dalam perkara Nomor 29-51-55/PUU XXI/2023, MK dengan tegas menolak secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya, yakni DPR.
Namun pada keputusan yang baru dalam perkara Nomor perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan bahwa kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres selama memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.
Poin lain dari Saldi yang "ngeri-ngeri sedap" adalah ketika ia juga menyampaikan, bahwa dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023 Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara. Dan hasilnya enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang," kata Saldi.
Namun kemudian dalam perkara gelombang kedua yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman ikut memutus dalam perkara tersebut dan turut mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan.
Kejanggalan "Konstitusional"