Mohon tunggu...
Sindikat Jogja
Sindikat Jogja Mohon Tunggu... -

Paguyuban Jogja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Demokrasi di Indonesia Mati Pada 9 Juli Nanti...

5 Juli 2014   15:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:23 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkah Anda selepas makan malam atau berbuka puasa, iseng-iseng membicarakan bursa pilpres? Sampaikah pembicaraan itu kepada kasus-kasus Prabowo yang brutal menculik manusia merdeka, dan juga menembaki pemuda di satu kampung hingga yang tersisa hanya wanita? Ah, barangkali beberapa dari kita ada yang sempat, ada pula yang tidak. Tetapi jika tengah asik membahas kisah menyeramkan itu, Anda diingatkan isteri atau ibu sendiri, ”Sudah, sudah, tak usah dibahas lagi, nanti kita diculik, kamu pulang tarawih tahu-tahu dihilangkan paksa!”

Brr.. tiba-tiba rasa kelu mengikat bibir dan getir datang ke perasaan.

Aneh? Tentu saja aneh, karena sepertinya sudah 16 tahun ini kita toh bebas-bebas saja mau berbicara apa tentang pemerintah atau tokoh politik. Ingat kejadian kerbau yang dicat dengan tulisan ‘sibuya’? Demonstrasi pada Januari 2010 tersebut memang sangat keterlaluan, karena banyak kalangan menilai bahwa diasosiasikan dengan Presiden SBY. Demonstrasi yang menghina simbol negara. Namun, sikap demokrat seorang SBY sangat patut dihargai, dan ia menunjukkan bahwa memang dalam demokrasi yang masih berjalan, sungguh rentan kritikan dengan cara-cara ekstrim.

Sikap SBY betul-betul menunjukkan kepada masyarakat Indonesia, bahwa pemimpinnya tidak bertangan besi, jika pun ingin menjatuhkan sanksi, melalui mekanisme hukum yang terbuka. Tetapi setelah itu pun, sepertinya masyarakat juga telah belajar dan sadar, bagaimana cara-cara yang elegan dalam menyampaikan kritikan dan pengawasan terhadap pemerintahan. Misalnya dengan menuliskan surat terbuka, seperti surat terbuka pengungsi Sinabung untuk Ani Yudhoyono. Begitu pula dengan massifnya penggunaan media sosial dan blog.

Akan tetapi, mengapa saat-saat sekarang, sejak Prabowo Subianto menjadi salah satu dari dua capres dalam pilpres 2014 ini, kita kembali dirasuki ketakutan untuk berbicara terbuka. Tidak sedikit orang tua yang mengingatkan anaknya agar jangan terlalu ikut-ikutan menjadi relawan Jokowi-JK, jika anaknya mahasiswa, orang tua akan mewanti-wanti hingga melarang sang anak untuk ikut aksi-aksi yang membela korban penculikan yang tak kunjung pulang. Bahkan tak sedikit dari kita yang kadang merasa keselamatan diri terancam karena begitu sering mengampanyekan Jokowi-JK dan menyampaikan informasi sebenarnya tentang siapa Prabowo. Ancaman-ancaman telah mulai dirasakan di dunia maya dan dunia nyata. Dan semakin banyak orang tua yang khawatir akan keselamatan anaknya. Hingga melarang anaknya yang baru lulus kuliah untuk melamar menjadi jurnalis.

Apa yang sedang terjadi di Indonesia ini?

Percaya atau tidak, memori kekerasan dan kelamnya masa Orde Baru masih melekat erat di alam bawah sadar bangsa ini. Silahkan tanyakan saja kepada orang di sekitar. Bahkan Dian Paramita, sebagaimana anak muda di manapun dengan jiwa kritisnya mempertanyakan maksud surat terbuka puteri Amien Rais, Tasniem Fauzia yang memojokkan Jokowi. Dian menulis surat untuk Tasniem menanggapi kakak kelasnya itu. Dan benar, banyak kerabat dan keluarganya yang mengkhawatirkan keselamatannya karena surat itu sudah terpublikasi secara nasional.

Kebetulan saja terjadi di pilpres 2014 ini? Apakah Anda pernah merasakan aroma mencekam seperti ini di pilpres 2004 dan 2009? Tentu tidak! Karena pun dulu masyarakat Indonesia juga tidak yakin Prabowo bersama Megawati akan memenangkan pilpres. Masyarakat sadar atau tidak, secara psikologis percaya SBY akan memimpin lagi, dan SBY terkenal sebagai seorang demokrat sejati. Setidaknya ia menjalankan demokrasi dan terlihat menerima kritik, walaupun kadangkala mengeluh.

Tapi Prabowo di pilpres 2014? Yang satu itu lain cerita!

Tak sedikit wartawan yang enggan bahkan merasa takut mendatangi Rumah Polonia atau meliput kegiatan Prabowo. Karena jika ada gerak-gerik yang aneh (menurut ukuran pengawal Prabowo), maka siap-siap saja dihardik, diusir, atau kamera dijauhkan. Tim Prahara telah memiliki daftar media cetak, elektronik, serta online yang pro dan kontra dengan dirinya. Kasus terbaru terjadi kemarin di Jogjakarta, ketika Prabowo bertemu dengan Sultan Hamengkubuwono X. Wartawan yang datang meliput diwajibkan untuk diinterogasi; Anda pro Prabowo atau tidak?

Wahai Prabowo, kau baru menjadi CALON PRESIDEN saja sudah ingin menginjak-injak pilar demokrasi! Maka, tidak ada harapan pers memiliki kebebasannya jika capres bocor ini berkuasa. Gaya Prabowo adalah gaya Orde Baru, bahkan lebih brutal. Soeharto ketika awal Orde Baru bahkan menjanjikan kebebasan berpendapat, namun kebebasan nyawa melayang yang malah terjadi. Sehingga tak heran jika semua media harus terikat dengan SIUPP, dan jika berani menentang, maka akan hilang mata pencarian. Jikapun akhirnya ada televisi swasta selain TVRI (yang dulu seringkali menyiarkan lagu puja-puji untuk Soeharto, Bapak Pembangunan), lahirnya RCTI pertama kali juga dimiliki oleh keluarga Cendana. Jadi enak hidup di masa Soeharto? Anda ngawur apa lupa, kalau dari beras hingga cengkeh, dari proyek tol hingga mobil semua dimiliki keluarga dan antek Cendana.

Rezim Orba membredel 12 media cetak pasca peristiwa Malari. Dengan banyaknya korban jiwa dan kerusakan di mana-mana pada kejadian 15 Januari 1974, rezim Orba melibas majalah Tempo, tabloid deTIK, dan majalah Editor yang mengkritisi pemerintahan Soeharto. Tahun 1994, majalah Tempo kembali dibredel.

Tapi Soeharto memang kalah ganas dari Prabowo. Bandingkan saja dengan Prabowo, dia yang masih capres saja sudah berani memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap media massa, keterbukaan informasi untuk publik, terlebih lagi kepada demokrasi dan kebebasan berpendapat. Maka, setelah melihat perlakuan kasar tim Prabowo kepada wartawan Tempo dan Kompas di Jogja kemarin, sepertinya ulang tahun ke-20 peringatan pembredelan Tempo pada 21 Juni lalu seperti tak akan bertambah usia lagi.

Prabowo tidak menginginkan demokrasi, pikirannya tidak pernah berubah, ketika masa rezim Orba, setelah reformasi, bahkan hingga kini. Tahun 2001, kepada Allan Nairn wartawan Amerika Serikat ia menegaskan bahwa Indonesia tak siap menerima demokrasi. Tiga belas tahun kemudian, tepatnya Sabtu lalu di Taman Ismail Marzuki, mengatakan sistem pemilihan langsung ini tidak cocok bagi Indonesia. Bahkan Edward Aspinall, Indonesianis menulis untuk menanggapi statement Prabowo hari Sabtu itu. Prabowo; Pilih saya, namun hanya untuk kali ini saja. Bahkan, sekarang pun Prabowo berani mengancam Allan Nairn bahwa ia akan dipenjarakan.

Pemerintahan otoriter melebihi Orba, itulah impian Prabowo. Ia ingin mengembalikan keinginan Soeharto yang ingin kekuasaan di Indonesia selalu dipegang oleh Cendana. Maka seperti Korea Utara, kepemimpinan akan diteruskan oleh kalangan keluarga saja. Prabowo akan mengembalikan pemilihan presiden di tangan MPR seperti masa Orba. Ia dapat menjabat seumur hidup, dan mempersiapkan penggantinya, bisa jadi Didiet Prabowo atau dari keluarga Cendana lainnya.

Sungguh, Prabowo tidak lupa petuah Soeharto pada 16 April 1980, di Markas ABRI Cijantung, Jakarta Timur. Soeharto menyerukan, ”Lebih baik kami culik satu dari dua pertiga anggota MPR yang akan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 agar tidak terjadi kuorum.” Satu kalimat lain yang menunjukkan kediktatoran Soeharto, ”Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila.” Dan semua pernyataan Soeharto itu dikritisi oleh tokoh Masyumi, M. Natsir, tokoh perjuangan kemerdekaan.

Saat ini Prabowo memang tengah gregetan, ia gagal menduduki tampuk kekuasaan setelah Soeharto sebagaimana direncanakan. Oleh karenanya sikapnya selalu konsisten sejak lengser rezim; mempromosikan diri untuk menjadi presiden (2004, 2009, dan 2014). Karena memang pikirannya masih sama, ingin melanjutkan kediktatoran Soeharto. Bahkan akan lebih ganas. Kediktatoran Prabowo akan seimbang dengan Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara. Karena memang itu yang tengah dibangun oleh tim Prahara; pemimpin Indonesia yang ditakuti asing, bukan disegani.

Tak heran ketika Prabowo mencium kecenderungan kuat Jokowi akan dicalonkan oleh PDIP sebagai capres, Prabowo sangat meradang. Informasi Jokowi akan dideklarasikan sebagai capres, sebelumnya didahului dengan aksi penyadapan dan ancaman pembunuhan. Barangkali beberapa orang memaklumi cara-cara ini dilakukan Prabowo, toh sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk bisa menang dalam pilpres dengan sistem demokrasi yang dibencinya, tahun 2012 elektabilitas sudah di atas angin, namun kemudian ada orang yang dianggap biang kerok, dan mengancam peluangnya menduduki puncak kekuasaan. Ya, tak heran kiranya Prabowo akan membuat aturan pemilihan presiden langsung, cukup untuk kali ini saja, selanjutnya mekanisme yang sesuai keinginannya. Tentu saja dengan tameng Pancasila dan UUD 1945, khas gaya labelisasi Soeharto.

Prabowo memang mempersiapkan dirinya menjadi pemimpin otoriter yang maniak perang, ia akan meletakkan persenjataan militer di atas perut lapar rakyat. Lihat saja bagaimana perspektifnya ketika debat capres ke-3, pola pikirnya sangat eksklusif, ultranasionalis, dan teritorial, bukan mengedepankan dialog atau diplomasi. Dan di tengah masyarakat yang kelaparan itu, ia juga akan menutup setiap mulut dengan todongan senjata jika ingin bersuara. Bahkan pun para anggota DPR dan MPR nantinya.

Prabowo akan memaksakan kehendaknya, perubahan Undang-undang agar tak akan ada lagi pemilihan presiden langsung. Maka semua yang akan menjadi pemimpin adalah sesuai dengan restunya (melalui bisikan antek dan parpol berkepentingan). Ia dengan tangan besi akan menerapkan aturan baku, mulai dari agama hingga cara berbicara tentang dirinya, keluarga Cendana, dan parpol pengusungnya. Tidak ada yang boleh membantah. Jangan heran, jika media yang aman dan tetap beredar nanti Tablodi Obor Rakyat atau Sapujagat, akun twitter triomacan, website pkspiyungan.org, atau voa-islam.com. Media-media tersebut akan dijaga, dan tetap digunakan untuk menghabisi lawan-lawan politik Prabowo, bahkan jika ada aktivis yang berani bersuara, maka mereka akan merekayasa fitnah bernuansa porno, video atau foto palsu, dan lainnya.

Sedangkan nasib media seperti Kompas atau Tempo akan wassalam. Jika megalomaniak ini berkuasa, maka tabloid-tabloid produksi PKS wajib dibaca oleh setiap sekolah dari SD hingga SMA. Dan tak perlu satu tahun, produksi film propaganda tentang jasa-jasa Prabowo seperti film G30S dibuat oleh Soeharto, akan selesai dibuat dan menjadi tontonan wajib rakyat. Semua piranti hukum, landasan pijakan, serta aturannya telah dipersiapkan oleh elit PKS melalui Tifatul Sembiring selaku Menkominfo saat ini.

Indonesia di tangan Prabowo, akan menjadi negara otoriter Korea Utara di khatulistiwa. Elit-elit partai koalisi juga telah siap dengan kartu AS masing-masing agar tetap memiliki posisi tawar, dan yang terpenting nyawa aman. Dan rakyat akan tertinggal kelaparan, yang kaya namun bukan bagian dari lingkaran kekuasaan, bersiap tersungkur menghadapi monopoli. Dan tidak akan ada pemimpin yang bisa terpilih jika bukan seizin Prabowo dan antek-anteknya. Edward Aspinall berkata; Jika demokrasi di Indonesia mati pada 9 Juli nanti, ...

Sindikat Jogja

http://nasional.kompas.com/read/2010/02/03/13591682/Kerbau.SiBuYa.Penghinaan.Simbol.Negara

http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/02/pantia-posko-prabowo-di-yogya-bersikap-tak-terpuji-kepada-wartawan

http://www.allannairn.org/2014_06_22_archive.html

http://nasional.kompas.com/read/komentar/2014/06/29/0824212/Prabowo.Sebut.Indonesia.Produk.Barat.yang.Susah.Diperbaiki

http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/06/30/prabowo-subianto-vote-for-me-but-just-the-once/

http://www.democracynow.org/2014/6/27/journalist_allan_nairn_threatened_for_exposing

http://masyumicentre.wordpress.com/category/petisi-50/

http://www.tempo.co/read/news/2014/02/20/078556015/Menjelang-Pemilu-Rumah-Dinas-Jokowi-Disadap

http://megapolitan.kompas.com/read/2014/03/27/0947337/Jokowi.Tak.Pusingkan.Isu.Ancaman.Pembunuhan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun