Kadang hanya berupa letupan-letupan gelembung raksasa menggelegak. Tapi, seringkali berwujud semburan lumpur yang terlontar dari perut bumi.Ini terjadi setiap 2-3 menit. Berulang secara periodik disertai munculnya suara pendek seperti ledakan. Tinggi semburan lumpur kisaran 3-6 meter. Setelahnya, lumpur pun jatuh kembali ke tempat semula. Lumpur pekat berwarna kehitaman yang berlebih, meluber di sekitar pusat letupan. Volumenya tak banyak seperti semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo, yang meluap dan meluber sampai jauh sehingga menggenangi pemukiman.
Itulah fenomena alam unik dan langka yang saya amati saat tiba di hamparan luas lokasi semburan lumpur Bledug Kuwu. Lokasinya tepat di pinggir jalan raya Wirosari-Kuwu. Secara administratif masuk Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.Â
Di sekeliling tanah lapang lokasi letupan lumpur yang luas ini tak ada satupun pohon yang tumbuh. Menjadikan udara begitu panas. Tanah menjadi merekah dan pecah-pecah. Kering kerontang.
Maka sebelum melangkah, mendekat sumber letupan lumpur, segera siapkan topi atau sewa payung daripada saat di tengah lapang sakit kepala dan bingung cari tempat berteduh.
Di Bledug Kuwu ini, hanya air pekat mengandung garam yang mengalir sampai jauh meninggalkan pusat semburan. Melalui parit-parit kecil yang sengaja dibuat oleh penduduk. Air garam ini disebut Bleng. Digunakan untuk campuran kerupuk dari bahan nasi.Â
Ada yang menyebut kerupuk Puli. Campuran garam Bleng akan menghasilkan rasa gurih di lidah. Selain itu, oleh penduduk Desa Kuwu, Kabupaten Grobokan, air garam itu ditampung dalam deretan bilah bambu panjang. Dijemur 7-9 hari di tengah lapang. Jadilah, garam dapur khas Bledug Kuwu.Â
Mitos Aji Saka, Dewata Cengkar dan Jaka Linglung
Aji Saka, oleh sebagian masyarakat Pulau Jawa diyakini sebagai penguasa di kerajaan Medang Kamulan. Jadi raja setelah mengalahkan raja sebelumnya yang serakah, jahat, dan kanibal, berjuluk Prabu Dewata Cengkar.Â
Aji Saka menjadikannya Buaya Putih serta mengusirnya ke Laut Selatan Jawa. Karena Buaya Putih jelmaan Dewata Cengkar masih ganas, maka Aji Saka mengutus Jaka Linglung putra seorang perempuan dari Dusun Dadapan. Jika berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, maka Aji Saka akan mengangkat Jaka Linglung sebagai anaknya.
Jaka Linglung adalah makhluk berwujud ular namun dapat berbicara selayaknya manusia. Awalnya, mbok Rondo Dadapan menemukan sebutir telur. Disimpan dan ditinggalkannya telur tersebut di lumbung padi.Â
Saat ditengok beberapa waktu kemudian, telur telah menetas. Tidak ditemukan ayam, bebek atau burung, tapi ada ular yang dapat berbicara di dekatnya. Maka, Mbok Rondo Dadapan pun menganggap ular yang baru menetas itu sebagai anaknya.
Singkat cerita, Jaka Linglung mampu membunuh Buaya Putih jelmaan Dewata Cengkar. Namun, Aji Saka berpesan, sepulang dari Laut Selatan, Jaka Linglung harus pulang lewat perut bumi.Â
Tidak boleh berjalan di atas permukaan. Jaka Linglung menyanggupinya. Akhirnya, dari Laut Selatan, Jaka Linglung menembus bumi dan keluar di daerah Kuwu, Grobogan ini.Â
Di titik keluarnya Jaka Linglung inilah sekarang dikenal sebagai pusat semburan lumpur yang oleh masyarakat sekitar disebut Bledug Kuwu. Bledug artinya letupan atau letusan dengan bunyi seperti dentuman meriam. Kuwu artinya menyebar ke segala penjuru.Â
Itu, cerita misteri singkat yang saya cuplik dari Buku "Legenda Bledug Kuwu" yang saya beli di pedagang asongan yang mangkal di pinggir gerbang lokasi Wisata Bledug Kuwu, selain garam grosok (garam kasar) khas Bledug Kuwu.
Menyisir Jawa Bagian Tengah
Saya tiba di lokasi Bledug Kuwu, Gobogan belum tengah hari. Lokasinya kering kerontang. Udaranya Panas. Bagi sebagian orang, kawasan Jawa Tengah, bagian tengah ini mungkin tidak semenarik Semarang, Ungaran, Magelang, Solo, atau Gunung Kidul serta Yogyakarta.Â
Kebetulan, setelah acara di dinas di Jakarta, saya akan berkunjung ke rumah saudara di Blora yang sedang hajatan. Maka, teman dari rumah saya hubungi agar menjemput saya di Stasiun Solo Balapan. Dari Jakarta, saya naik Argo Lawu turun di Stasiun Solo Balapan, kota Solo.
Selepas subuh, setelah 9 jam melaju, kereta Argo Lawu merapat di Stasiun Solo Balapan. Saya nikmati teh panas dan pisang goreng di warteg depan stasiun sambil menunggu jemputan datang. Begitu jemputan datang, saya mengajak mencari oleh-oleh. Kami mampir dulu ke Serabi Notosuman Ny Lidia. Serabi paling terkenal di seantero Solo.Â
Dulu, awalnya saya membayangkan serabinya seperti serabi gaya Jawa Tmuran. Berupa adonan tepung yang dicetak bulat. Lalu dimakan dengan air santan manis. Ternyata, Serabi Notosuman beda. Rasanya gurih. Dimakan tanpa air santan karena santannya sudah jadi satu dengan adonan. Â
Ada dua pilihan rasa. Bisa pilih yang orisinil atau yang  toping coklat, menyesuaikan dengan selera. Namun keduanya sama enaknya. Kapan-kapan saya ceritakan deh. Pokoknya mantap di lidah.Â
Notosuman dan Soto Presiden Jokowi
Dari Notosuman, kami bergeser mencari sarapan pagi. Favorit saya saat di Solo adalah sarapan soto segar. Ada banyak macam soto segar  khas Solo.Â
Kali ini saya mencari Soto Gading. Soto langganan pak Jokowi, sejak beliau jadi wali kota. Karena soto ini termasuk salah satu langganan keluarga presiden, maka kondanglah Soto Gading sebagai Soto Presiden.Â
Biasanya, saat di Solo saya selalu sarapan pagi di warung Soto Segar Hj Fatimah di Jalan Bhayangkara Solo. Dua soto ayam ini recomended untuk mengisi perut di pagi hari. Rasanya nikmat, segar dan harganya murmer ditanggung gak bikin kantong jebol.
Singkat cerita, pukul 09.00 WIB kami baru masuk gerbang Tol Solo-Ngawi. GPS sebagai pemandunya. Banyak jalan menuju Blora. Mumpung ada waktu, saya ajak rombongan kecil mencari destinasi wisata yang searah dengan tujuan perjalanan dan belum pernah dikunjungi.Â
Ada dua sasaran. Bledug Kuwu dan Goa Terawang. Jangan keliru dengan Terawan, yang menteri kesehatan itu. Hanya sekitar 20 menit kami melaju di jalan tol. Kendaraan turun di exit Tol Gemolong, Sragen.Â
Kami melewati jalan aspal yag tidak terlalu lebar. Di beberapa ruas, jalan aspal begitu mulus. Sesekali, masih menyisakan jalan bergelombang yang membuat penumpang terguncang-guncang.Â
Keluar masuk kampung, kebun, dan hutan. Mungkin saking panasnya, sering kami jumpai pohon-pohon meranggas di kanan kiri jalan. Juga lahan-lahan tandus yang kehausan.
Memasuki Kabupaten Grobogan, kendaraan melewati jalan beton cor yang nampaknya baru selesai dikerjakan. Membelah pemukiman penduduk yang menempati rumah-rumah berarsitektur khas Jawa.Â
Jalanan makin sepi. Tak banyak kendaraan lalu lalang. Saya tidak tahu ini jalan utama atau jalan alternatif menuju Grobogan. Saya ikut saja kemana suara merdu GPS memerintahkan saya mengambil arah. Namun, setelah pertigaan kembali jalan terasa normal. Kendaraan kecil besar mulai lalu lalang.Â
Bledug Kuwu
Hampir dua jam perjalanan, akhirnya tiba di jalan Wirosari-Kuwu. Kendaraan menepi. Seorang tukang parkir mengatur agar posisi kendaraan seperti yang diinginkannya.Â
Kami turun dan memasuki gerbang kecil yang tanpa penjaga. Kalau boleh saya bilang di sekitar tempat ini, sudut-sudutnya terlihat agak kotor. Ada tumpukan sampah dan barang-barang. Inilah gerbang objek wisata Bledug Kuwu.Â
"Silahkan pak, payungnya," tukang parkir menawarkan jasa.Â
"Panas pak di sana nanti, sambil tangannya menujuk ke tengah hamparan luas!" lanjutnya meyakinkan.Â
Saya setuju, karena sesaat kemudian merasakan udara panas sudah menyergap. Pak Ali ternyata lebih enjoy berpanas-panas.... Terserahlah.
Kami berjalan beriringan menuju pusat letupan lumpur Bledug Kuwu. Mulanya, di kanan kiri jalan setapak ada bekas gazebo atau shelter yang atapnya compang-camping.
Untuk menuju ke tengah, kami melewati bekas tapak yang terlihat padat. Pertanda sering dilalui manusia. Di tengah terik, kami jumpai beberapa titik lapak penjual garam. Selain garam, dipajang pula Bleng (air garam) dan kerajinan tas plastik. Entah kemana orangnya.Â
Makin ke tengah, letupan lumpur Bledug Kuwu makin terlihat. Saya sempat kaget saat kaki melangkah tiba-tiba tanah yang diinjak jadi lunak dan bergoyang. Ups... awas kejeblos! Saya membayangkan di bawah kaki, terdapat rongga yang berisi lumpur sehingga tanah di permukaan jadi lembek.
Akhirnya, sampai juga di sebuah area yang membedakan antara tanah yang benar-benar keras dan aman dengan tanah lembek yang berbahaya. Saatnya berhenti di titik itu.Â
Dari sini, fenomena letupan dan semburan lumpur Bledug Kuwu lebih jelas terlihat. Kadang hanya muncul gelembung. Kadang berupa letupan pendek. Sesekali muncul semburan besar yang muncrat ke angkasa. Walaupun tingginya hanya di atas 2-3 meteran. Inilah fenomena alam unik dan langka di bagian tengah Pulau Jawa. Â
Tak sampai satu  jam, kami berpanas-panas di Bledug Kuwu. Udara panas dan sengatan terik mentari  benar-benar membuat saya menyerah. Secepatnya kami kembali ke lokasi parkir. Cukup membayar sepuluh ribu rupiah untuk biaya sewa payung dan jasa parkir. Â
Di lapak penjual minuman yang memanfaatkan teras dalam gerbang masuk, saya comot saja buku "Legenda Bledug Kuwu" yang dijejer dengan foto-foto menarik letupan Bledug Kuwu. Harga bukunya 15 ribu rupiah. Â
"Lumpurnya itu dingin lho mas," kata penjual buku dan minuman dengan ramah. Silahkan nanti dibaca di buku ini, sambil menyerahkan buku ke tangan saya.
Ternyata, lumpur Bledug Kuwu memang cenderung dingin, seperti apa yang saya baca dari buku. Ini termasuk mud vulcano, seperti halnya Lumpur Lapindo Sidoarjo. Â
Bedanya, lumpur Bledug Kuwu bukan berasal dari bocoran magma yang panas di perut bumi yang mengalir ke permukaan. Diperkirakan, lumpur Bledug Kuwu berasal dari sebuah rongga yang  berisi air laut yang terperangkap di kerak bumi.Â