Semua peserta sudah berdiri.  Pandangan tertuju pada mimbar.  Disana, beberapa orang sedang bersiap di depan mikrofon.  Di dalam Aula Sasana Budaya, Disparta Lamongan suasana hening. Sejenak gerah yang melanda jadi terlupa. Akhirnya, dipandu Kang Chairil, tak kurang dari 140 orang lebih, tergabung lebih dari 20 komunitas sejarah budaya Jawa Timur serta beberapa akademisi dan pejabat terkait, siang itu 25 Maret 2018, pukul 12.30 WIB, dengan khidmad dan semangat menyala bersuara lantang.  Membacakan Deklarasi Bersama (Deklarasi Lamongan) sebagai wujud kepedulian, keprihatinan serta perjuangan seluruh pegiat sejarah budaya Jawa Timur akan pelestarian Cagar Budaya. Itulah puncak acara Jambore Komunitas Pelestari  Sejarah Budaya Jawa Timur di  Lamongan, yang bertemakan "Menggalang Peran Komunitas Dalam Pelestarian Cagar Budaya"
Isi Deklarasi Lamongan:
Komunitas Pelestari Sejarah dan Budaya Se Jawa Timur:
1. Kami Siap Melestarikan Warisan Budaya
2. Kami berkomitmen membangun sinergitas antara Pemerintah dan Masyarakat dalam pelestarian Cagar Budaya
Ya siang itu, komunitas sejarah se-Jawa Timur menorehkan catatan bersejarah.  Setelah berjam-jam naik motor menelusuri jalan-jalan yang kadang terjal dan rumpil. Beberapa rombongan naik bis agar bisa tiduran saat perjalanan. Ada yang pilih naik kereta karena nyaman di perjalanan. Rombongan bermobil juga melintas jalan kabupaten kota dan memasuki Lamongan dengan semangat terjaga. Sangat menggembirakan, melihat Kids jaman Old dan jaman Now, guyup rukun dan berbekal  semangat yang sama datang dari seluruh penjuru Jawa Timur.
Mereka berkumpul  untuk membangun sinergi dan langkah konkret perjuangan melestarikan Cagar Budaya Jawa Timur yang masih terserak. Ada Kang Hairil datang jauh-jauh dari Sumenep, ujung timur pulau Madura.  Irwan Rakdai pegiat dari  komunitas PSTK Situbondo. Dokter Sudi Harjanto dan TP Piknik dari Tapak Jejak Kerajaan Sidoarjo. Teguh Hariawan dari komunitas Jelajah Sejarah Budaya Pasuruan.
Beberapa koleksi artefak cagar budaya didisplay di ruang pameran. Ada Yoni, genta dan uang gobok (uang cina kuno) serta  potongan candi, menyambut para tamu di depan pintu.  Berderet foto situs di Lamongan dan Kediri dipajang rapi  melingkar di tengah ruangan. Tak lupa pengrajin Genitri dan Tosan Aji (keris) juga berpartisipasi meramaikannya.
Sing Penting Tandang, ra Butuh  Kondang, kata Dokter Sudi Harjanto, pegiat dari TJK. Artinya, yang penting bergiat, bukan cari tenar.  Ya, para pelestari sejarah dan budaya  adalah pekerja sukarela. Langsung bekerja tanpa banyak cingcong. Bukan pula untuk mencari penghargaan atau ketenaran. Bukan pula mendirikan komunitas untuk mencari dana! Dengan kerelaan menyisihkan waktu, tenaga, pikiran bahkan dana, mereka secara konsisten telah bekerja baik sendiri-sendiri maupun bersama  komunitasnya untuk berkomitmen melestarikan cagar budaya.Â
Agaknya, keberadaan komunitas-komunitas ini sudah tercium oleh pihak terkait dan  pemerintah. Dua tahun ini, berbagai stake holder mulai banyak merangkul komunitas sejarah karena mereka tahu, mereka termasuk garda terdepan pelestari sejarah dan budaya. Jumlahnya yang puluhan dengan anggota ratusan sangatlah potensial kalau ke depan dilibatkan secara masif dalam pelestarian cagar budaya. Kalau hanya mengandalkan juru pelihara, BPCB, IAAI, atau instansi vertikal dan horizontal lainnya, niscaya pelestarian sejarah akan berjalan lambat seperti beberapa tahun yang lalu.
Apresiasi
Maka, Muhammad Said, selaku ketua BPCB Jawa Timur, Hanan Pamungkas dari UNESA dan Ismail Lutfi yaang akademisi  sangat mengapresiasi kegiatan Jambore Komunitas Sejarah Budaya ini. Pakar-pakar yang berlatar belakang arkeologi dan sejarah yang sudah bergelut di bidangnya selama puluhan tahun ini seakan sudah menemukan partner sejati. Tak heran, semua pemikiran dan usulan para peserta Jambore sangat diapresiasi oleh Muhammad Said, selaku pejabat BPCB. "Saya sangat  setuju dengan usulan-usulan dari jambore ini. Tolong segera disusun dan disampaikan ke semua stake holder. Baik BPCB, Pemerintah Daerah dan Pusat, sehingga suatu saat saya dapat menindaklanjuti dan mengawalnya, " kata arkeolog lulusan Universitas Hasanudin ini.
Pak Said hanya berpesan, agar seluruh peserta tetap semangat dalam beraktifitas tapi tetap memperhatikan prosedur standar yang berlaku dalam penyelamatan cagar budaya. "Jangan sekedar mem-posting benda berpotensi cagar budaya hanya di media sosial tanpa pernah melaporkan. Segera laporkan ke POLSEK atau PEMDA juga BPCB jika menemukan potensi-potensi cagar budaya," kata beliau mengingatkan. "Tak kalah pentingnya, jangan mengekskavasi situs tanpa ijin dan pendampingan dari arkeolog. Itu melanggar undang-undang, " lanjut beliau. "Kalau menemukan sesuatu, kirim via whatsApp, akan segera saya tindaklanjuti," pungkas pejabat nomor satu BPCB Jawa Timur  ini.
Ismail Lutfi, dosen sekaligus pegiat Komunitas Pandu Pusaka yang sudah malang melintang di pelestarian cagar budaya, mengedukasi peserta jambore dengan menunjukkan aktifitas-aktifitas konkret pelestarian yang melibatkan masyarakat di Malang. Tampilannya yang khas dan suaranya yang lantang (khas pegiat komunitas) begitu menggebu memaparkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.Â
Akhirnya, siang itu, Minggu 25 Maret 2018 suara lantang sudah digaungkan dari Lamongan.  Deklarasi Lamongan sudah dibacakan. Setelahnya, para pegiat akan kembali ke habitat komunitas masing-masing. Dengan cara yang berbeda tapi dengan semangat yang sama mereka akan selalu  berkomiten bergelut dalam pelestarian cagar budaya. Walau berpeluh,  tapi canda tawa yang selalu menyertai aktifitasnya. Semoga ini membawa inspirasi, tidak saja untuk Jawa Timur tapi juga Nusantara. Selamat berjuang kawan! Jalan masih panjang.........