Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Fikih Capres dan Cawapres

10 Agustus 2018   10:59 Diperbarui: 10 Agustus 2018   15:39 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika ditelusuri, suara-suara miring itu sumbernya jelas dari orang-orang yang ngak suka Jokowi. Dalam tanda kutip "mereka pernah kalah Pilpres tahun 2014". Orangnya ya itu-itu juga.

Dalam dunia politik, ketika ingin mendulan dukungan dan suara, ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama "maki-maki lawan politiknya dengan kata-kata kasar dan kotor, bahkan dengan kata-kata tidak beradab, dan bukalah kekuarang-kekurangannya". 

Saat ini mulai terlihat bagaimana orang yang ngak suka terhadap Jokowi sudah mengarah pada cuitan fisik "Jokowi itu krempeng, KH Ma'ruf Amin terlalu tua (bau tanah". Jika diperhatikan, orang model begini sudah tidak punya senjata lagi untuk menjatuhkan lawannya.

Makanya, Jokowi dan KH Ma'ruf Amin akan semakin keren dan tenar, karena secara tidak langsung "cuitan-cuitan negative" terhadap beliau akan mengangkat popularitas nya di tengah-tengah masyarakat luas. Dalam bahasa marketing "seorang penjual barang, jika ingin daganganya laku, jangan sekali-kali menjatuhkan produk lain, karena itu sama dengan meng-iklankan-nya".

Kedua, carilah kelebihan yang dimiliki, prestasi dan program-program yang telah berhasil. Cara seperti ini sangat bagus dan eleghat. Jokowi, selama ini tidak pernah membalas cuitan-cuitan kasar dan kotor dari lawan-lawan politiknya. 

Mulai dikatakan "sinting, perang badar, partai setan, keturunan PKI, tidak berpihak pada ulama, berpihak pada asing dan aseng". Bahkan ada kata-kata yang kasar yang tidak selaras dengan nilai islam muncul dari tokoh islam, seperti "Jokodok". Cuitan negative, kasar dan kotor terhadap dirinya itu justru akan mengangkat Jokowi lebih tinggi.

Semua tuduhan terhadap Jokowi tidak ada yang terbukti. Namun, karena dasarnya memang tidak suka alias benci. Maka siapa-pun pasangannya, pasti kebencian akan terus tertanam, bahkan akan semakin mendalam. Ketika Jokowi berprestasi kebencian akan semakin muncul, dalam bahasa agama di sebut dengan "hasud" yang artinya "sakit hati ketika melihat teman sejawatnya sukses dan beprestasi".

Jangan melihat busana, seperti jenggot panjang, jubbah panjang lengkap dengan imamahnya, ditambah lagi dengan "jidat hitam", ketika melihat sesama muslim berprestasi kemudian sakit hati dan memaki-maki, apalagi sampai memaki-maki fisik, serta keluarga, berarti sedang "sakit hatinya". 

Ada satu hadis shahih yang patut menjadi renungan, agar supaya seseorang tidak terpukau dengan penampilan fisik "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian." (HR.Muslim). Dalam politik, semua bisa terjadi dan berubah, karena nilai-nilai agama sudah tidak berguna lagi. Semua bisa sepakat jika menguntungkan.

Dalam berpolitik semua bisa berubah dengan cepat, tanpa menunggu waktu lama. Dulu mencintai, kemudian berubah menjadi benci karena berbeda pandangan dan kepentingan. 

Sebaliknya, dulu membenci dan memaki, sekarang berubah menjadi cinta karena di anggab sangat menguntungkan. Tidak ada kawan abadi, dan juga tidak ada lawan abadi, semua bisa berubah setiap saat dan waktu, tergantung menguntungkan apa tidak. Dalam bahasa Andi Arif yang sangat viral yaitu tergantung pada "Kardus".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun