Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Anak Bawang yang Jadi Anak Tiri

14 April 2021   10:54 Diperbarui: 14 April 2021   11:00 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laura Davidson on Unsplash

Setahun menjelang menikah, aku bekerja di sebuah perusahaan atas permintaan salah satu atasan di perusahaan tersebut. Sebagai bawaan orang dalam, tentu banyak keistimewaan yang kudapatkan.

Kalau soal gaji, tidak ada bedanya dengan karyawan lain, namun bos terang-terangan menyampaikan di depan teman-teman, bahwa tidak boleh ada yang memerintahku. Seharusnya ini juga tidak spesial sih, tapi karena dilakukan di depanku langsung, mau tau mau aku jemawa juga.

Meski aku bukan fresh graduate, bukan bocah yang baru keluar dari kampus, namun karena status anak baru, tetap saja ada yang iseng sok senior dengan menitah ini itu bahkan di luar urusan pekerjaan. Itulah sebab aku mengadu, dan bos memenuhi keinginan yang sebenarnya tidak kuucapkan. Agar mereka tau, aku dilamar bekerja di sana, bukan melamar.

Baca juga: Hobimu Menujukkan Karaktermu

Kesayangan Bos

Setahun dua tahun, aku memang anak manis yang menuruti semua perintah atasan. Tidak pernah mengomentari kerja orang lain, tidak banyak protes, justru banyak mengerjakan yang bukan pekerjaanku.

Setidaknya tiga orang atasan suka ngobrol secara pribadi denganku. Teman-teman melihat itu sebagai bentuk kedekatan, bahkan banyak orang luar yang mengira aku juga bagian dari jajaran owner. Mungkin faktor lokasi ruangan kerja juga, dan mejaku berada di depan. Sementara di bangunan yang sama, tapi di belakang, masih ada staf lain.

Setelah lama tak ada masalah, atau hanya masalah-masalah receh yang tak perlu dibahas, muncul satu kasus yang lumayan bikin heboh. Perusahaan itu kecil aja sih, wajar jika masalah kecil pun mudah didengar oleh seluruh karyawan.

Waktu itu aku memberi masukan kepada salah satu petinggi terkait kebijakan pada, katakanlah klien, yang kerap tak tepat janji. Sebenarnya kebijakan itu sudah sering kuusulkan, namun selalu mental karena bos tidak tega.

Barangkali menyadari ketidaktegaan itu justru membuat orang semena-mena, akhirnya kebijakan yang kuusulkan diterapkan. Hari pertama kebijakan itu berlaku, kenalah salah satu klien yang di-handle temanku. Karena kesal (tapi dia mengaku bercanda) ia berteriak di depan teman-teman bahwa akulah biang "kekejaman" itu.

Si anak manis lapor dong! Dan terjadilah, si pelaku dan teman-teman yang sebenarnya hanya saksi disidang oleh para owner. Dikatakan pada mereka agar fokus pada kerja masing-masing. Kebijakan diterapkan karena memengaruhi kestabilan keuangan perusahaan, yang itu menyangkut gaji mereka juga.

Sejak hari itu si pelaku agak gimana gitu. Aku pedekate deh biar suasana cair lagi, karena gak ada niat bikin dia diomelin bos. Bukan itu kok fokusnya. Dia gak tau gimana keuangan perusahaan, sementara aku tau banyak. Makanya kuusulkan saran yang sebenarnya berkali-kali ditolak dan akhirnya diterapkan.

Baca juga: Jawaban Wawancara Kerja yang Membuatmu Terlihat Hebat

Anak Bawang Jadi Anak Tiri

Karena paham betul bagaimana perusahaan kecil itu hidup dari utang ke utang, aku cukup maklum jika para owner tak pernah lepas urusan dengan bank. Setidaknya abangku yang seorang pengusaha bilang begitu, tak mungkin ada perusahaan yang tidak berurusan dengan bank.

Tapi ketika bendahara menghitung-hitung jumlah pinjaman dan pengembalian yang selisihnya berlipat-lipat, aku kok rasanya tidak rela. Iya itu bukan perusahaanku, tapi kan mereka (katanya) menganggapku saudara. Masa aku diam saja saudaraku dicurangi?

Bukan curang kali ya, sistem bank kan memang begitu. Begini maksudku, kalau tidak ada keperluan yang sangat mendesak, lebih baik tidak melakukan pengeluaran yang besar kan? Dana yang cair itu harus dikembalikan, belum lagi jika datang auditor, aku dan bendahara yang kelabakan menyusun laporan.

Sementara pemilik usaha yang orangnya lebih dari satu, masing-masing punya pos pengeluaran yang kadang antarmereka tidak ada kesepakatan. Kali ini masukanku tak dianggap. Ya sudah, karena pada saat tertentu aku yang repot, maka untuk pendanaan yang melalui jalurku, kutahan.

Salah satu bos yang biasanya tinggal chat lalu dana cair, harus ke bendahara, karena aku menolak mengeluarkan tanpa kesepakatan dari tiga bos lainnya. Atasan yang ditolak ini, sepertinya mengira aku melapor ke yang lain. Padahal tidak sama sekali.

Entah perbincangan apa yang ada di antara mereka, suasana kantor kembali tak hangat. Bahkan lebih parah daripada kasus sebelumnya. Setiap masuk kerja, aku seperti mampir ke neraka padahal belum mati.

Ada banyak karyawan yang melakukan kesalahan, bahkan lebih fatal dari kesalahanku, tapi semua kekacauan di kantor seolah bermula dari mejaku. Wifi gangguan, aku diomeli. Lantai kotor, aku disindir. Sampai sehelai kertas jatuh, itu dosaku! Anjay. Pembelaku hanya satu orang atasan yang levelnya cuma bos kecil. Aku dan dia paham, itu semua terjadi karena kelancanganku memblokir dana untuk bos besar.

Singkat kata, aku resign. Karena makin hari semakin kasatmata kecurangan dan perseteruan dalam diam antara satu atasan dengan atasan lainnya. Yang satu menceritakan yang lain. "Yang lain" itu, yang dulunya adalah bos terbaikku, tak pernah kehabisan ide untuk mengomeliku. Ada saja bahan yang seolah dimunculkan agar aku pergi dari dunianya.

Mantan seteru, yang dulu diomeli karena mengusikku pun sampai keheranan, "Hah, anak bawang resign??"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun