Baca juga: Jawaban Wawancara Kerja yang Membuatmu Terlihat Hebat
Anak Bawang Jadi Anak Tiri
Karena paham betul bagaimana perusahaan kecil itu hidup dari utang ke utang, aku cukup maklum jika para owner tak pernah lepas urusan dengan bank. Setidaknya abangku yang seorang pengusaha bilang begitu, tak mungkin ada perusahaan yang tidak berurusan dengan bank.
Tapi ketika bendahara menghitung-hitung jumlah pinjaman dan pengembalian yang selisihnya berlipat-lipat, aku kok rasanya tidak rela. Iya itu bukan perusahaanku, tapi kan mereka (katanya) menganggapku saudara. Masa aku diam saja saudaraku dicurangi?
Bukan curang kali ya, sistem bank kan memang begitu. Begini maksudku, kalau tidak ada keperluan yang sangat mendesak, lebih baik tidak melakukan pengeluaran yang besar kan? Dana yang cair itu harus dikembalikan, belum lagi jika datang auditor, aku dan bendahara yang kelabakan menyusun laporan.
Sementara pemilik usaha yang orangnya lebih dari satu, masing-masing punya pos pengeluaran yang kadang antarmereka tidak ada kesepakatan. Kali ini masukanku tak dianggap. Ya sudah, karena pada saat tertentu aku yang repot, maka untuk pendanaan yang melalui jalurku, kutahan.
Salah satu bos yang biasanya tinggal chat lalu dana cair, harus ke bendahara, karena aku menolak mengeluarkan tanpa kesepakatan dari tiga bos lainnya. Atasan yang ditolak ini, sepertinya mengira aku melapor ke yang lain. Padahal tidak sama sekali.
Entah perbincangan apa yang ada di antara mereka, suasana kantor kembali tak hangat. Bahkan lebih parah daripada kasus sebelumnya. Setiap masuk kerja, aku seperti mampir ke neraka padahal belum mati.
Ada banyak karyawan yang melakukan kesalahan, bahkan lebih fatal dari kesalahanku, tapi semua kekacauan di kantor seolah bermula dari mejaku. Wifi gangguan, aku diomeli. Lantai kotor, aku disindir. Sampai sehelai kertas jatuh, itu dosaku! Anjay. Pembelaku hanya satu orang atasan yang levelnya cuma bos kecil. Aku dan dia paham, itu semua terjadi karena kelancanganku memblokir dana untuk bos besar.
Singkat kata, aku resign. Karena makin hari semakin kasatmata kecurangan dan perseteruan dalam diam antara satu atasan dengan atasan lainnya. Yang satu menceritakan yang lain. "Yang lain" itu, yang dulunya adalah bos terbaikku, tak pernah kehabisan ide untuk mengomeliku. Ada saja bahan yang seolah dimunculkan agar aku pergi dari dunianya.
Mantan seteru, yang dulu diomeli karena mengusikku pun sampai keheranan, "Hah, anak bawang resign??"