Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suami-suami Toxic

2 Desember 2020   06:23 Diperbarui: 2 Desember 2020   17:16 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Thomas Ehling di Unsplash

Sebuah video muncul di beranda Youtube-ku. Berita kriminal dari Rusia, tentang tiga orang gadis yang membunuh ayah mereka. Sadis, ya!

Menurut pengakuan para tersangka, ayah mereka biasa melakukan kekerasan fisik dan seksual. Demikian pula pengakuan sang ibu, yang tak lain adalah istri dari korban.

Jika pengakuan keempat perempuan itu benar, sebagai sesama manusia (bukan hanya perempuan), aku setuju pada perbuatan tiga gadis tersebut. Terlalu lama menunggu dunia sadar, "percepatan" dengan cara sendiri lebih efektif.

Para istri yang mengeluhkan tingkah suaminya, kupikir harus melihat berita ini. Paling tidak, suaminya tak segila ayah yang jadi korban pembunuhan anak-anaknya itu.

Tapi bagaimana dengan tiga kasus berikut? Tidak separah kasus di atas, namun lumayan menguras emosi.  

Dari Medsos ke Pelaminan

Kulihat foto profil medsos salah seorang teman, nampaklah di sana ilustrasi keluarga nan bahagia. Dari situ aku tau, apa yang dipajang seseorang di medsosnya tidak berarti itu yang terjadi. Melainkan itulah yang ia harapkan.


Sebut saja X, ia berkenalan dengan seorang pemuda di FB. Merasa memiliki banyak kesamaan, mereka sepakat naik pelaminan. Awal bertemu dengan X, yang kutau suaminya sangat menjaga sang istri.

X tak boleh sembarangan bergaul, hanya berkumpul dengan kelompok tertentu yang dirasa aman untuk pemikirannya. Aku termasuk yang tidak dibenarkan untuk didekati. Haha, dianggap toksik.

Jangan salahkan istri mengumbar luka hatinya di medsos, jika ia tak punya tempat untuk mencurahkan perasaan. Idealnya memang cukup menangis di atas sajadah, tapi tidak semua orang ingat untuk melakukannya. Tapi siapa yang bisa mengingatkan jika istri tak bisa memilih dengan siapa ia bergaul.

Aku termasuk yang yakin bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap tabiat seseorang. Aku pun seorang introvert yang malas keluar rumah, tak bisa memulai obrolan, tapi aku yakin bergaul itu penting.

X mungkin hanya bisa curhat pada Allah dan bayinya, lalu medsos. Sampai kemudian ia berhasil bertemu dengan salah satu teman akrabku, dan akhirnya menumpahkan segala keluh kesah. Tentang ia yang sehari-hari diabaikan, dikasari fisik dan psikis, bahkan anaknya pun turut menjadi korban.

Ingin pisah sejak lama, tapi khawatir membebani orangtua. Akhirnya berusaha menerima takdir walau berulang-ulang mengaku menyesal menikah. 

Baca juga: Anak Bisa Depresi Karena Orang Tua 

Jangan Sampai Anakku Terluka!

Kakakku punya cita-cita menikah dengan anggota militer. Ketika akhirnya ia dipinang warga sipil, hendak ia turunkan cita-cita itu padaku. Kutolak mentah-mentah.

Selain karena tak ada anggota militer yang tertarik padaku, haha, aku juga trauma dengan pernikahan orang lain yang ceritanya sampai ke telingaku.

Dulunya Bang Y adalah idola perempuan se-RW. Banyak gadis tertarik padanya, sementara aku masih remaja yang ribet dengan PR.

Bang Y seorang anggota TNI, wajahnya aku tak ingat. Tapi tebakku seragamnya itulah yang menarik hati banyak perempuan. Kabarnya lagi, ia suka menraktir.

Ketika datang kembali dari mudik, gadis-gadis satu RW patah hati. Bang Y telah menikah di kampung, ia datang kembali bersama istrinya.

Bisa dibilang, banyak yang iri pada istri Y. Gadis kampung, berhasil menggaet seorang tentara. Pasti hidupnya bakal enak hingga tua.

Tapi tidak begitu yang berikutnya beredar. Dari berbagai sumber lambe-lambean yang datang ke warung Mamak, mereka bercerita bahwa pada tubuh Y kerap terlihat lebam. Apalagi mereka tinggal di rumah couple, tetangga sebelahnya sering mendengar bentakan dan pukulan dari rumah Y.

Mungkin itu acara TV yang kelewat keras. Ya kan! Aku hanya tau istri Y bertubuh kurus, tidak "mengembang" sebagaimana umumnya perempuan yang telah menikah. Kata orang, itu efek makan ati.

Yup, tidak ilmiah. Sampai kemudian untuk suatu keperluan, aku melihat perempuan itu menjaga anaknya bermain sepeda, persis seperti baby sitter menjaga anak majikannya.

Dengan tubuh kurus dan mata cekung, ia duduk sejajar dengan sepeda. Anak itu tak lepas dari tangan, alih-alih pandangan. Sepeda itu, dengan anak di atasnya, tak bergerak jauh melebihi gapaian tangan sang ibu.

Ternyata Y sangat menyayangi anaknya. Sedikit luka di tubuh si anak, balasannya adalah lebam di tubuh istrinya. Aku bergidik mendengar kisah itu.

Baca juga: Manusia Toxic Lainnya    

Suami Provokator

Bahwa perempuan itu tukang ngoceh dan ngedumel, satu planet tau. Itulah kenapa dipasangkan dengan laki-laki, agar dunia seimbang. Tapi akan jadi kacau ketika fungsi mengimbangi itu tak terlaksana.

Mungkin Z tak tau apa rasanya bersaudara. Hidup sebagai bujang yang jauh dari keluarga, lalu menikah hanya membawa diri sebatang kara.

Begitu masuk dalam keluarga besar, rumah yang tadinya tenang mulai bergejolak. Z tak suka pada saudara istri maupun ipar lain yang ada di rumah mertua, tempat ia baru saja diterima.

Belum sebulan Z menjadi anggota keluarga besar, ia berhasil mengusir cucu mertuanya dari rumah utama. Untuk berikutnya, nampak jelas Z berusaha agar hanya ia dan istri saja yang ada di rumah tsb.

Awalnya kupikir perbuatan Z karena curhatan istrinya. Ternyata sebaliknya, justru Z lah yang mengajari istrinya agar menangis di depan kakak kandung untuk mendapat simpati. Z yang meminta istrinya protes soal jatah tanah untuk mereka, Z bercerita tentang apa saja isi rumah pada tetangga, sesuai imajinasinya.  

Di lain kesempatan, ketika mertua Z menjual tanah miliknya pribadi. Di hadapan istri dari ipar yang setiap bulan membantu ekonominya, Z menyinggung soal uang mertua yang menurutnya dipakai ipar untuk usaha. Enak dong! Kata Z, yang membuat istri ipar yang tak terima.

Nyaris setiap bulan ada saja masalah keluarga besar yang berawal dari mulut atau tangan Z, tapi istrinya tetap menjadi pembela dan pendukung suaminya. Namanya juga sejoli, penonton tau apa!

Tiga kisah nyata di atas hanya sebagian sangat sedikit dari jutaan kasus serupa. Para kepala keluarga yang tak bisa membedakan antara pemimpin dan penguasa.

Mereka kira menjadi pemimpin rumah tangga adalah menguasai seisi rumah, jadi bos, junjungan tak terbatas. Alih-alih menjadi teladan, justru jadi racun yang mengontaminasi psikis anggota keluarganya. Bagusnya mereka diapain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun