Kalau kakakku yang sedang di warung, mereka berani adu mulut menolak diutangi. Kalau Mamak, beliau mengalah saja. Tapi aku menolak menagih, sudah kubilang jangan kasih. Masih diberi, ya tagih sendiri!
Kupikir dulu PNS itu pasti mapan. Jadi meski jagoan utang, ada dua orang tetangga yang kubolehkan Mamak memberi utangan. Karena mereka PNS.
PNS pertama, rumahnya agak jauh. Turunan dan tanjakan kulalui dengan sepeda untuk mencapai rumahnya yang bagus berkali-kali dari rumah kami.
Setiap menagih, jawabnya besok. Datang besok, katanya lusa. Datang lusa, dia sembunyi. Anaknya bilang mama nggak di rumah.
PNS kedua, tepat di sebelah masjid. Kutagih, dia bilang sudah bayar. Oh, Mak, ini lebih parah lagi! Tapi aku sudah SMA, sudah bisa marah. Jadi kujemput buku bon di warung Mamak, kuperlihatkan padanya tanggal ia utang tanpa ada catatan bayar.
Ia berkeras sudah bayar, padahal kami sekeluarga pantang tak menulis jika orang bayar utang.
"Jadi Ayuk nak bayar apo idak? Kalo dak sudahlah, aku dak ke sini lagi. Cuma duo puluh ribu beribut kito di sebelah masjid!" naik darah aku dibuatnya.
"Kageklah aku ke rumah kau," jawabnya. Dan memang dia datang, bayar utang. Sambil nambah utang lagi.
Kudapat satu pelajaran, kalau menagih, harus galak duluan sebelum digalakin pengutang. Lalu kucari cara juga, yang tak perlu bersitegang tapi efektif.
Setelah puluhan kali menagih, aku mulai mengerti. Orang-orang di kampung sudah paham, jika aku mendatangi suatu rumah, berarti orang di rumah itu punya "sangkutan" di warung Mamak. Dan itu membuat malu mereka.
Maka setiap aku menagih, kemudian yang berutang berjanji besok, maka besoknya aku pasti datang. Dia sebutkan hari apa pun, kudatangi hari itu. Sengaja suara salam kukeraskan, biar tetangga sebelahnya mendengar.