Bicara virus Corona, yang segera muncul di benak kita adalah wabah yang menimbulkan kepanikan, korban jiwa, dan efek ekonomi. Ada satu yang luput; anak-anak.
Sudah banyak yang mengeluh soal tugas di rumah dan atau materi yang menguras kuota. Tapi hanya sedikit yang membahas bagaimana perasaan anak-anak itu.
Aku sempat membuat podcast bersama anak-anak, yang kupajang di blog pribadi. Sekadar lucu-lucuan. Tapi dua kejadian setelahnya menguatkan apa yang disampaikan anak-anakku dalam podcast itu.
Rindu sekolah
Di grup wali murid, seorang ibu membagikan foto anaknya di depan pagar sekolah. Ternyata si anak rindu pada sekolahnya. Ia meminta ibunya mengantar ke sana. Sederhana sih, tapi mengharukan.
Beda dengan emak-emak macam kami yang setiap hari berbuat salah. Ya dosa pada suami, dosa pada anak, tetangga. Ah, gak cukup waktu untuk menuliskannya.
Rindu teman
Jangankan yang di sekolah, masih satu perumahan pun tak bisa bertemu lagi. Anak tetanggaku jarak berapa rumah dari kami, menaruh secarik kertas di depan pintu kami.
Sama sekali tak tahu kapan dia datang, atau mungkin surat itu dititipkan pada seseorang.
Kami tertawa melihatnya, romantis sekali persahabatan mereka.
Masih banyak kejadian antara lucu dan sedih lainnya. Mungkin tidak seheroik anak-anak di belahan Indonesia lain, yang menyumbangkan tabungan mereka kepada pihak medis untuk membeli APD. Tapi anak-anak ini tetap jadi pahlawan, karena bisa menahan kebutuhan bermain mereka di tengah pandemi.
Kelak, sepuluh, dua puluh, bahkan tiga puluh tahun ke depan, mereka bisa bercerita pada anak-anaknya. "Dulu kami tak bisa bermain, tidak ke sekolah. Kami rela tidak jajan dan diam di rumah, demi mempertahankan kehidupan manusia.
"Kalau kami dulu nekat keluar dan bertingkah sembarangan, kalian tidak ada di muka bumi ini!" Kira-kira begitu.