Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia dan Malaysia Seperti Kakak-Adik di Rumah Kita

23 November 2019   08:25 Diperbarui: 23 November 2019   08:30 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sindonews.com

Membaca judulnya, hampir pasti pembaca paham yang kumaksud. Karena di dunia ini, kehidupan dalam sebuah keluarga kurang lebih ya begitu. Suami istri bertengkar lalu rukun lagi. Kakak adik ribut, lalu sayang-sayangan lagi. Kebanyakan begitu, meski ada sebagian kecil yang punya cerita berbeda.

Berawal di tahun 1963, ketika Presiden Soekarno meneriakkan "ganyang Malaysia" di hadapan puluhan ribu massa. Akar masalahnya sendiri masih simpang siur hingga kini. Entah karena menolak kolonialisme atau tersinggung dengan sikap PBB yang melangkahi Indonesia.

Sepanjang perjalanan sejarah saudara serumpun ini, keributan terus terjadi hingga sekarang. Syukurnya tidak pernah berakhir "lebih serius". Kita tentu ingat keributan soal Blok Ambalat, klaim batik, penolakan Gojek, hingga yang baru saja terjadi; pengeroyokan supporter Indonesia di Malaysia.

Sama seperti kakak-adik di dalam rumah. Perbedaan sikap dan pandangan tak pernah memudarkan kesamaan kita. Karena persamaan ini, keributan yang berkali terulang pun punya pola yang sama. Malaysia membuat kegaduhan, Indonesia bereaksi. Malaysia hina kita miskin, kita balas dengan menyebut mereka maling. Betul kan?

Itulah yang kita punya, memori kita tentang Malaysia adalah klaim-klaim mereka. Dan yang selalu diingat Malaysia tentang Indonesia adalah banyaknya WNI yang mengadu nasib di sana. Padahal masih ada memori lain yang lebih indah untuk dikenang ketimbang hal-hal negatif tersebut.

Siapa yang belum pernah melihat Nia Zulkarnaen beradu akting dengan Amy Search di film Isabella? Saat melihat film ini, terasa betul dekatnya kita dengan masyarakat jiran itu.

Awal 2000-an, grup band Indonesia merajai ajang lagu di stasiun TV dan radio Malaysia. Kita ikut senang melihat berita populernya Sheila on 7, Ungu, bahkan beberapa grup yang di Indonesia saja terbilang baru, bisa nampang dan digandrungi di sana.

Untuk tahu seseorang melalui masa ABG-nya di tahun 90-an, bisa tes lucu-lucuan dengan lirik malah kau tuduh akulah segala penyebabnya ... nah, kalau kamu membacanya sambil nyanyi, kamu juga terdampak demam Exists waktu itu. Dan mereka adalah grup band Malaysia!

Sekarang, keributan Indonesia-Malaysia bergeser ke hewan-hewan yang tak bersalah. Malaysia menyebut Indonesia anjing, kemudian kita balas dengan mengatai Malaysia babi (oleh warganet di Twitter), pasti sekadar melepas kejengkelan. Kalau boleh saran, ribut-ribut di internet lebih bagus dengan "menghajar" situs-situs mereka daripada memaki di media sosial. Lebih elegan.

OOT sedikit. Gara-gara kebiasaan manusia yang memaki tanpa referensi, banyak kata yang kemudian beralih fungsi dan makna. Apa yang salah dengan anjing? Mereka bermanfaat kok untuk menjaga tanaman dan ternak. Lalu babi, apa manfaatnya? Untuk bahan ujian bagi orang Islam. Kalau beriman tidak akan dimakan, walaupun kabarnya murah dan enak.

Gara-gara kata kafir dipakai memaki, istilah halus di Alquran itu jadi berubah makna di masyarakat Indonesia. Bahkan sampah, yang nyata ada. Jika disebut dengan berteriak, akan jadi makian juga. Woi, sampah lu! Dikira memaki, padahal ngingetin, sampahnya tolong dibuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun