Kreditur alias pemberi utang sesuai perjanjian dan kewenangannya memang berhak melelang properti itu karena sejak awal sudah dijadikan sebagai agunan.
Apa pembelajaran dari banyaknya kejadian orang-orang yang terpaksa harus menjual properti miliknya karena terjerat utang?
Pertama, utang menjadi solusi atau jebakan?
Ini penting dan selalu kita harus pertimbangkan dan renungkan secara mendalam. Sebagian orang memang masih menganjurkan utang sebagai solusi atas keterbatasan keuangan.
Utang tak seburuk yang dipersepsikan, asalkan kita bisa mengontrolnya. Demikian yang sering disampaikan.
Orang-orang kaya saja masih berutang. Sebagai contoh, berdasarkan data LHKPN 2021, Sandiaga Uno punya harta Rp10,62 T dan utang sebesar Rp289 miliar. Erick Thohir punya harta Rp2,2 T dan punya utang Rp176 miliar dan sebagainya.
Para pebisnis atau investor juga menilai positif utang karena dianggap bisa meningkatkan hasil keuntungan bisnis atau investasi.
Contoh sederhananya, bila dia punya modal Rp1 miliar dan bisa menghasilkan keuntungan 20 % setahun berarti keuntungan yang dihasilkan sebesar Rp200 juta.
Namun bila modal tersebut ditambah lagi dengan menggunakan utang sebesar Rp1 miliar, maka bila keuntungan yang bisa dihasilkan tetap sebesar 20 %, maka keuntungan yang dihasilkan menjadi Rp400 juta.
Meskipun masih harus membayar bunga cicilan katakanlah sebesar 10 %, bukankah hitungannya masih tetap untung?
Kira-kira demikian cara berpikir dan hitungan sederhananya. Dalam hal ini, utang menjadi sangat positif dan produktif karena bisa menambah keuntungan dan nilai kekayaan si peminjam.