Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

2 Hal yang Awam Sering Gagal Paham Soal Saham

3 Oktober 2023   20:32 Diperbarui: 4 Oktober 2023   03:51 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Shutterstock/Xalien via Kompas.com)

Baru-baru ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) merilis data jumlah pelaku pasar modal di Indonesia. Per Agustus 2023, jumlah pelaku pasar modal meningkat sebanyak 1,15 juta menjadi 11,47 juta untuk total investor saham, reksadana, dan obligasi.

Khusus untuk investor saham, terdapat peningkatan 467 ribu sehingga jumlah investor saham  saat ini sebanyak 4,91 juta.

Jumlah investor saham syariah juga meningkat cukup signifikan. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir sejak 2018, terjadi peningkatan sebesar 182 % dari 44.536 investor menjadi 125.638 investor pada Juni 2023.

Meskipun data-data yang ada menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah investor dari waktu ke waktu, namun sebenarnya itu belum cukup menggembirakan karena dua alasan.

Pertama, dibandingkan dengan potensi jumlah penduduk kita yang berkisar dua ratusan juta jiwa maka jumlah investor pasar modal kita saat ini bisa dikatakan masih terlalu sedikit.


Kedua, bila mengingat usia pasar modal kita. Pasar modal di Indonesia secara historis sudah ada bahkan sebelum kemerdekaan. Sempat ditutup akibat beberapa hal, diantaranya perang dunia dan perang melawan penjajah, bursa saham diaktifkan kembali tahun 1977. Dengan demikian, bursa saham kita saat ini sudah berusia puluhan tahun.

Hal yang menarik, bahwa ternyata sampai saat ini masih banyak orang yang sering gagal paham terkait saham khususnya dalam dua hal besar sebagai berikut.      

Pertama, meragukan saham sebagai instrumen investasi

Ahmad Sahroni, seorang politisi berlatar belakang pengusaha sukses dan kini menjabat sebagai legislator, beberapa waktu lalu dalam sebuah acara dialog mengatakan "Saya gak pernah mau diajak main saham, trading, emas karena bisnis yang tidak ada fisiknya, itu adalah judi". 

Pernyataan dari seorang tokoh terkenal apalagi berlatar belakang pengusaha sukses seperti Sahroni, bagi kebanyakan orang biasanya otomatis langsung diterima dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Seolah-olah tak boleh dikritisi apalagi dibantah.

Di satu sisi sebenarnya ini cukup menjelaskan mengapa bagi sebagian kalangan masih belum bisa menerima saham sebagai instrumen investasi. Mereka lebih sering disebut sebagai ajang spekulasi alias judi. Banyak orang masih latah menggunakan istilah "main saham" daripada "investasi saham".

Bahkan seorang terpandang, populer, dan berlatar belakang sebagai pengusaha sukses saja masih menyebut saham sebagai judi.

Apa yang aneh atau minimal keliru dari pernyataan yang gagal paham itu? Aktivitas transaksi saham sangat jelas dan transparan. Ada lembaga-lembaga resmi yang menjalankannya serta sangat jelas pula aturan/regulasinya.

Bagaimana mungkin menyamakan saham dengan judi, sementara aktivitas ini sudah berlangsung puluhan tahun lamanya dan terus ada sampai saat ini?

Awal pembukaan bursa saham di awal tahun juga biasanya dibuka langsung oleh Presiden. Demikian halnya saat penutupan bursa saham di akhir tahun. Ini acara seremonial yang rutin dilakukan setiap tahun. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pun hampir selalu dijadikan indikator yang menunjukkan kondisi ekonomi suatu negara termasuk Indonesia.

Bila benar saham itu judi, rasa-rasanya tak mungkin Warren Buffett seorang investor saham legendaris dunia sampai pernah diberikan penghargaan oleh mantan Presiden Barrack Obama.     

Di dalam negeri, kita mengenal tokoh-tokoh yang dikenal sebagai investor saham "kelas kakap" misalnya Sandiaga Uno (pemilik Saratoga Grup), Erick Thohir (pemilik Mahaka Grup), Chairul Tanjung (pemilik CT Corp sekaligus pemegang saham Garuda Indonesia, Bank Mega, dan beberapa perusahaan lain), Anthony Salim (pemilik Salim Grup, yang hampir semua perusahaannya juga sudah melantai di bursa saham). Serta masih banyak tokoh lain. Apakah kita mau menyebut mereka ini sebagai pejudi?

Kemudian disebutkan juga bahwa saham itu tidak ada fisiknya. Tentu harus kembali ke definisi awal dan pemahaman paling mendasar. Saham merupakan bukti kepemilikan atas suatu bisnis perusahaan.

Bila kita membeli dan memiliki saham suatu perusahaan, artinya kita menjadi bagian dari pemilik bisnis perusahaan itu. Contoh, saat kita membeli saham Bank BCA (BCA), maka otomatis kita adalah sebagai pemilik bisnis perusahaan itu, tentu dalam porsi sesuai jumlah saham yang kita miliki.

Ada 2 bukti yang menunjukkan eksistensi kepemilikan kita atas bisnis itu benar-benar diakui. Pertama, saat RUPS maka seluruh pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas akan diundang. Kedua, saat perusahaan membagikan dividen, maka seluruh pemegang saham juga akan menerima, lagi-lagi sesuai dengan jumlah lembar kepemilikan sahamnya.

Bank BCA merupakan salah satu perusahaan "raksasa" yang bisnisnya di sektor Perbankan. Apakah berani bilang Bank BCA adalah bisnis yang tidak ada fisiknya? Demikian halnya di bursa saham kita saat ini, ada sekitar 900 perusahaan yang sahamnya bisa dibeli dan dimiliki publik.

Masing-masing perusahaan menghasilkan produk berupa barang/jasa yang bisa kita lihat bahkan gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, menganggap saham sebagai jalan pintas untuk meraih kekayaan. 

Agak berbeda dengan sebelumnya, orang-orang di kategori ini sadar atau tanpa sadar justru memang sengaja menjadikan saham sebagai arena judi. Mereka mengira saham bisa menjadi jalan untuk kaya mendadak. Lembaran saham diperlakukan layaknya kertas undian/lotre.

Mereka tak terlalu peduli dengan saham yang dibeli. Bagaimana kondisi bisnis perusahaannya? Siapa menajemen yang mengelolanya? Apakah perusahaan untung atau rugi?

Mereka hanya peduli dan ingin melihat harga sahamnya naik terus. Saat itu terjadi, maka antusias dan girangnya bukan kepalang. Namun saat harapannya itu tidak terwujud, maka akan muncul kepanikan yang luar biasa lalu memutuskan untuk menjual meskipun dalam kondisi menanggung kerugian.

Bila kembali pada konsep pemahaman yang benar, maka harus selalu diingat, saham merupakan investasi jangka panjang. Tidak ada yang instan. Selayaknya bisnis perusahaan, maka pasti dibutuhkan waktu yang cukup untuk menunjukkan kinerja terbaiknya.

Seorang investor saham akan selalu memegang prinsip, bahwa harga saham cepat atau lambat pasti akan mengikuti kinerja perusahaan. Harga saham dalam jangka panjang pasti akan bisa merefleksikan kualitas bisnis perusahaan.

Dalam jangka pendek, fluktuasi naik-turun harga saham menjadi hal yang sangat wajar. Dalam kondisi-kondisi tertentu, para pelaku pasar bisa sangat emosional karena mendengar suatu berita atau sentimen tertentu. Selalu ada saja kondisi-kondisi tertentu suatu saham bisa naik dengan sangat tinggi karena kebanyakan pelaku pasar sedang dalam fase sangat optimis.

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu sempat "booming" isu bank digital yang membuat hampir semua saham-sahamnya pun ikut "terbang". Namun tak berapa lama, pelaku pasar akhirnya sadar sudah memberikan harga terlalu mahal pada saham-saham tersebut.

Alhasil mereka dari yang sebelumnya berlomba membeli lalu beralih menjual. Tak heran, harga-harga sahamnya pun langsung rontok berjatuhan.

Investor saham yang bijak akan selalu menjaga berhati-hati sebelum memutuskan bertransaksi saham. Tidak akan ada gunanya ikut-ikutan dan bergantung pada apa kata orang lain. Hati jadi tidak tenang. Investor saham sebelum membeli harus sudah benar-benar meyakini saham perusahaan yang akan dibelinya.

Seperti kata Lo Kheng Hong, salah satu investor saham terkenal di tanah air, "Jangan pernah beli kucing dalam karung. Tuhan memang maha pengampun namun bursa saham tidak kenal ampun, menghukum orang-orang yang nekat membeli saham padahal tidak benar-benar tahu saham yang dibelinya".                           

***

Jambi, 3 Oktober 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun