Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Viral Seruan #BoikotSyariahMandiri, Rush Money dan Jerat Hukum

11 Januari 2021   00:10 Diperbarui: 11 Januari 2021   00:27 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi aplikasi Twitter di layar ponsel (Bloomberg)

Duka mendalam akibat jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 tergambar dalam berbagai cuitan warganet khususnya di twitter. Tanda pagar (tagar) #PrayForSriwijayaAirSJ182 pun menjadi pemuncak perbincangan. Tapi ternyata, ada satu tagar lain yang cukup menarik perhatian yaitu #BoikotSyariahMandiri.

Setelah ditelusuri, tagar ini ternyata masih berkaitan dengan langkah beberapa bank (termasuk Bank Syariah Mandiri) yang memblokir sementara rekening FPI dan afiliasinya. Langkah ini sesuai perintah PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).

Pembekuan sementara rekening tersebut dilakukan sesuai dengan kewenangan PPATK berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan UU Nomor 9 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Adapun pembekuan sementara dilakukan untuk mencegah pemindahan atau penggunaan dana dari rekening yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana.

Jerat hukum

Bila membaca cuitan-cuitan yang melambungkan tagar tersebut, sebenarnya bisa terbaca bahwa itu merupakan luapan ekspresi kekecewaan sekaligus protes terhadap tindakan yang dilakukan pihak bank.

Ada yang menyesalkan tindakan tersebut karena dianggap tidak adil dan sepihak. Sampai-sampai ada juga yang menyoal komitmen pihak bank apakah berani melakukan hal yang sama terhadap para koruptor? Bank juga dipojokkan karena dituding tidak layak menyandang "syariah" karena telah melakukan kezholiman.

Yang paling parah tentu saja ajakan pada para nasabah untuk segera menarik habis uang yang disimpan di rekening tersebut. Ada penyebaran nada ketakutan bahwa pihak bank juga mungkin akan memblokir rekening nasabah-nasabah yang lain. Lalu, mengapa seruan ini bisa dikatakan sudah kelewat batas?

Ternyata, seruan untuk melakukan penarikan uang secara besar-besaran (rush money) berpotensi dikategorikan tindakan melanggar hukum yang tentunya memiliki konsekuensi hukum bagi para penyebarnya.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebutkan "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)". Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Memang untuk menerapkan pasal tersebut, masih sulit diukur parameternya dan bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi.

Satu hal yang pasti, sistem perbankan merupakan salah satu elemen penting yang menopang perekonomian sebuah negara. Ia berkelindan satu sama lain dengan elemen-elemen yang lain. Gejolak yang dialami oleh bank sangat mungkin berpengaruh besar terhadap kondisi perekonomian. Tindakan para nasabah yang secara mendadak menarik uang secara besar-besaran (rush money) tentu saja akan mengganggu stabilitas.

Kita tahu bahwa pemerintah melalui berbagai lembaga terkait, selalu berusaha menjaga kestabilan dan kesehatan perbankan. Bahkan dalam situasi krisis sekalipun, pemerintah selalu sigap melalui berbagai paket kebijakannya untuk memastikan masyarakat tetap merasa aman menyimpan uangnya di bank. Sehingga, seruan-seruan melakukan rush money dapat dikategorikan sebagai tindakan yang sangat mengganggu kinerja serta stabilitas pemerintah.

Saya yakin, pemerintah tidak akan pernah tinggal diam menyikapi hal semacam ini. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat meminta aparat penegak hukum segera menindak pelaku yang menyebarkan pesan hasutan untuk melakukan rush money. Sri Mulyani mengatakan, penghasutan seperti itu harus ditindak secara tegas karena melakukan suatu ancaman terhadap kepentingan masyarakat bersama.

Pertanyaannya, apakah para penyebar hasutan tersebut memang belum menyadari konsekuensi tindakan yang mereka lakukan? Atau merasa bahwa mereka cukup aman dan tidak akan bisa terlacak aparat penegak hukum karena berlindung di balik akun-akun bodong?

Penting untuk selalu diingatkan ke masyarakat khususnya pengguna media sosial, agar selalu bersikap bijak dan dewasa. Jangan pernah mengira media sosial ibarat belantara yang bebas mengatakan apa saja, termasuk hasutan bernada kebencian. Jangan pula mengira, Anda sudah cukup lihai dan cerdas untuk mengelabui para penegak hukum, dengan modus menggunakan akun-akun anonim (palsu).

Faktanya sudah banyak kejadian pengguna media sosial yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum hanya karena tidak mampu mengendalikan jari tangannya saat menggunakan media sosial. Persembunyian mereka di akun-akun palsu pun dengan mudah bisa dibongkar.

Sudah saatnya belajar dan bijak mengendalikan diri saat menggunakan media sosial. Bila memang tidak setuju atau ingin protes terhadap sesuatu, sampaikanlah dengan cara-cara yang benar dan beradab.

Tidak perlu larut dan ikut-ikutan dalam berbagai macam isu yang sebenarnya tidak kita pahami. Jangan mau menjadi penyebar fitnah, kebohongan, atau hasutan. Kecuali, Anda memang sudah sadar dan siap dengan segala konsekuensi jerat hukuman.    

***

Jambi, 11 Januari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun