Mohon tunggu...
Samee El Falah
Samee El Falah Mohon Tunggu...

saya pembelajar, dan akan seterusnya begitu.. :))

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Yeah Revan, I Will

23 Maret 2011   15:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:30 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jari-jari gue masih lincah menari-nari diantara keyboard laptop di suatu sore menjelang malam, iya email ini harus segera terkirim. Ini sebuah jawaban yang tak bisa ditunda-tunda. Tapi gue cukup ragu apakah gue pantes nerima keajaiban ini, lalu gerak jari gue terhenti di sebuah tanda koma, menyeruput cappuccino yang tinggal setengahnya lagi dan mulai kembali berfikir seperti sejak seminggu lalu setelah beberapa shock yang gue terima. Ini nyata, tapi kenapa gue masih ragu, pertanyaan besarnya mungkin adalah apakah gue yakin keberuntungan ini akan menyapa kehidupan gue sesungguhnya di masa yang akan datang. Arrghh..ini terlalu sulit untuk gue cerna, bahkan gue mulai terlupa dengan beberapa tugas kampus yang menari-nari diantara paper clip yang gue temple berderet-deret didinding meja belajar kayu ini dan sesekali berkibar-kibar ditiupp kipas angin. Gue mulai mengingat-ingat, kenapa begitu sulit buat gue memutuskan keputusan yang tepat, mengapa gue jadi semakin banyak berkhayal, mengapa masa depan cinta gue terlihat begitu kompleks, uh rumitnya..

Ini semua bermula ketika gue bertemu dengan seorang sahabat lama, Refan. Sungguh lucu jika harus diceritakan, Revan itu adalah tetangga, temen SD, temen les gue, sepuluh tahun yang lalu. Dua bulan yang lalu kami bertemu disebuah tempat yang tak bisa di sangka, di suatu musim dingin yang menusuk, diantara beberapa adrenalin yang memuncak saat aku menerima sebuah kesempatan berharga di dunia yang lebih global, kami bertemu disebuah konferensi mahasiswa Internasional social science di Shanghai, China. The best Call Paper berunjuk gigi menampilkan presentasi kelas internasional yang elegan, dan salah satu dari mereka muncullah Revan, atas nama sebuah kampus di benua Eropa, tepatnya Inggris. What a surprise!, aku bahkan langsung mengenalinya saat pembawa acara memanggil namanya. Dan kegemilangan presentasinya itu sudah bisa aku tebak, iya sejak kecil dia memang cemerlang diantara kami sekelas.

“Revan, masih inget gue?” aku menyapa sambil menjejeri langkahnya saat kami menuju lobi hotel tempat kami peserta konferensi menginap. Revan terkejut dan berhenti berjalan,,

“ummmm.. is it really you?, Vanilla? Aku sedikit tercekat haru dan menutup mulut dengan tanganku..

“ough,, Thanks God, lo masih inget gue van!!”, Revan tersenyum lebar dan menyeringai lucu dibalik mantel biru tebal yang membuany atampak gendut itu.

“Vani, bahkan dengan penutup kepala dan kaca mata githu gue masih inget sama lo, ga ragu juga kan ma kejeniusan innsting gue, hihi”. Ia menengadah ke langit seakan meminta penjelasan Tuhan

“oh Tuhan, dunia bisa sesempit ini ya Van??”

Olalaaa..Revan tampak tampan sekali dengan semua cara menunjukkan keterkejutannya. Dan ini membuat gue mengingat-ingat apakah di masa lalu gue pernah suatu waktu naksir sama revan, karena bertemu disini rasanya Revan sangat loveable and charming, ups. Di waktu yang amat terbatas itu kami banyak berbincang –bincang dengan segala ketakjuban hati tentunya, Aku menyimpan baik semua cerita-ceritanya tentang kehidupannya di sebuah kampus di Inggris, tinggal disana sejak kuliah karena ibunya meninggal dan karena ayahnya seorang diplomat di UK, dan juga cerita ttg sebuah perjalanan panjang hingga sampai di kota Shanghai ini.

Kami bertukar segala informasi pribadi, dari mulai alamat, nome telpon dan alamt email, ya selayaknya teman lama yang sudah lama tak berjumpa.Pada dasarnya, gue selalu merasakan energy yang hebat saat bertemu siapapun teman masa lalu gue. Dan terutama pertemuan dengan Revan kali ini. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk memuntahkan segala kisah dan runut-runut peristiwa yang kiranya amazing untuk diceritakan. Dan aku sadar sesuatu, ternyata jika pertemuan terakhir kita dengan seseorang pada saat berumur 11 tahun, maka jika kita bertemu di suatu hari saat kita berumur 21 tahun, tak lantas membuat kita merasa dia adalah seorang yang aku kenal di usianya yang ke-11, aku seakan refleks untuk menyadari bahwa dia kini berfikiran seperti apa yang aku fikir, bahkan segala karakternya sekarang bisa aku baca, tentu dari refleksi kebersamaan di masa lalu. Dan memang tidak melest dugaanku, Revan seperti Revan yang aku kenal 10 tahun yang lalu, dengan semua keceriaannya, dan juga mata jenaka yang dimilikinya menjadi penunjang utama lawakannya.

To be continued..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun