Manusia selalu butuh cerita. Bukan sekadar hiburan, tapi pegangan. Cerita yang menarik sering terasa lebih kuat. Kadang malah terasa lebih nyata daripada realitas itu sendiri.
Fenomena ini pernah muncul lewat sebuah manga tua dari Jepang. Judulnya The Future I Saw, versi Jepangnya Watashi ga Mita Mirai.
Terbit pada 1999, lalu nyaris tak ada yang mengingat. Jejaknya kecil sekali. Sampai sebuah bencana besar mengubah nasibnya.
Gempa dan tsunami Tohoku pada 2011 membuat publik menoleh lagi. Di sampul edisi lamanya ada tulisan samar, "Bencana Besar Maret 2011". Seketika manga itu dicap ramalan yang konon terbukti.
Kalau dipikir, ini bukan hal aneh. Juga bukan perkara magis. "Ramalan" dalam manga itu sangat umum, tidak spesifik. Frasanya lebar dan gampang ditafsirkan ke mana saja.
Contoh sederhana: "Bencana di Jepang timur." Pernyataan seperti itu sangat mungkin terjadi. Jepang berada di Cincin Api, jadi kejadian bencana memang sering. Tidak ada tanggal, tidak ada lokasi, tidak ada jenis bencananya.Akibatnya, setelah sebuah peristiwa besar benar terjadi, klaim seperti ini mudah sekali dicocokkan.
Psikolog menyebutnya bias konfirmasi. Kita cenderung mencari tafsir yang mendukung keyakinan yang sudah ada. Puluhan ramalan lain yang meleset? Mudah dilupakan. Orang melewatinya begitu saja.
Ada sisi lain yang sering luput dilihat. Sisi bisnis. Penerbit melihat peluang. Mereka mencetak ulang manga yang tadinya tidak laku, kali ini sebagai edisi lengkap.
Edisi baru rilis pada 2021. Isinya diberi bonus yang lebih bikin merinding: sebuah ramalan yang lebih detail tentang bencana dahsyat pada Juli 2025 (Japan Today, 2025).
Hasilnya bisa ditebak. Bukunya laris. Rasa takut ternyata bisa dijadikan komoditas. Ini bukan semata soal nujum. Ini strategi pemasaran yang sangat cerdik. Mereka menjual kecemasan kepada publik yang memang sudah hidup dalam cemas.
Dampaknya tidak berhenti di rak buku. Media internasional melaporkan banyak orang membatalkan liburan, terutama turis dari Hong Kong (The Independent, 2025).