Mohon tunggu...
Rusman Turinga
Rusman Turinga Mohon Tunggu... -

Mencari dan berbagi sebait narasi pengetahuan (ide dan pengalaman)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tahun Baru, Pesta dan Biaya yang ‘Harus’ Dibayar

10 Januari 2015   21:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:24 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun Baru, Pesta dan Biaya yang ‘Harus’ Dibayar

Di setiap kalender tahunan berderet angka berwarna merah sebagai penanda hari libur nasional seperti perayaan hari besar keagamaan, tahun baru dll. Sekitar 15 “tanggal merah” pada kalender 2015 di Indonesia. Kalender nasional mengadopsi sistem penanggalan Gregorian sehingga perayaan tahun baru dimulai pada tanggal 1 bulan 1 sebagaimana diadopsi di seantero bumi. Meski sejatinya selain tahun baru Gregorian, ada beberapa jenis tahun baru lain berdasarkan agama dan etnis tertentu di Indonesia. Misalnya Tahun Baru Hijriah/Tahun Baru Islam (untuk tahun 2015, tahun baru Islam 1437 H jatuh pada tanggal 15 Oktober), Tahun Baru Masehi yang terdiri dari penanggalan kalender Julian/Julius dan Gregorian/Gregorius, Tahun Baru Imlek/Tionghoa (Imlek 2566 dirayakan pada tanggal 19 Februari 2015), Tahun Baru Saka/India yang juga digunakan di Bali dan Jawa yang oleh Sultan Agung diadaptasi menjadi kalender Jawa Islam hasil perpaduan kalender Islam dengan kalender Saka (Tahun Baru Saka 1937 jatuh pada tanggal 21 Maret 2015)

Kalender Gregorian adalah modifikasi kalender Gaisius Julius Caesar yang diusulkan Dr. Aloysius Lilius dari Napoli-Italia, kemudian disetujui Paus Gregorius XIII. Kalender ini berbasis perhitungan pada peredaran bumi mengelilingi matahari sehingga disebut tahun Syamsiyah/Solar System/Tahun Surya, mengadopsi metode penangalan Mesir Kuno. Peredaran matahari semu dimulai pada saat matahari berada pada titik Aries yang terjadi pada setiap tanggal 21 Maret hingga kembali lagi ke tempatnya semula. Ketika bumi berevolusi, ternyata poros bumi tidak tegak lurus terhadap bidang ekliptika, melainkan miring dengan arah yang sama membentuk sudut 66,50. Periode revolusi bumi untuk sekali putaran membutuhkan waktu sebanyak 365,2425 hari. Jumlah ini setara dengan 12 bulan. Kemudian Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Padahal penanggalan tradisional Romawi dimulai pada tanggal 1 Maret dengan jumlah hari sebanyak 304 hari (setara dengan 10 bulan).

Dalam perkembangannya, awal tahun Masehi (1 Januari) bukan lagi perayaan yang diidentifikasi “milik” agama/kebudayaan tertentu. Sebab secara teknis, di negara-negara yang mayoritas Islam, Hindu, Budha dll pun ikut “berpesta”. Sebagai contoh di Dubai, tahun baru 2015 dirayakan dengan pesta kembang api yang menghabiskan biaya hingga US$ 6 juta setara Rp 74,3 M dengan kurs: Rp 12.387/US$) dan menjadikannya sebagai pesta kembang api termahal di dunia.

Indonesia sebagai salah satu negara pengadopsi model kalender Gregorian ini pun tak ketinggalan “latahnya”. 1 Januari 2015 beberapa hari lalu menyajikan banyak cerita kemewahan ini meski hanya berupa irisan kecil dalam catatan besar kecenderungan masayarakat kita yang ikut-ikutan doyan kemewahan. Sebuah gaya hidup yang sejatinya a historis. Pemerintah, pengelola pusat hiburan, hotel, mal, dan masyarakat ikut andil dengan beragam kemasan acara. Pesta dan kembang, banjir terompet, festival hiburan hingga makan-makan bersama, pesta ala anak muda berikut berbagai even glamour yang menyertainya adalah penanda permulaan pesta tahun baru. Ada juga yang melakukan muhasabah dengan dzikir, melantunkan ayat suci, doa dll.

Penulis tidak mengulas tema ini di ranah historis apalagi teologisnya tetapi lebih ke wilayah tehnis. Bahasa lainnya, lebih ke akibat turunan dari cara perayaan tahun baru. Secara teknis, baik Tahun Qamariah (penaggalan berbasis bulan) maupun Tahun Syamsiah (penaggalan berbasis matahari) bukan penanda bermulanya agama/kebudayaan ataupun pembawa agama/kebudayaan tertentu. Sejak dulu keduanya sudah digunakan. Syamsiah untuk menandai pergantian fenomena alam misalnya musim, sedangkan Qamariah digunakan untuk menandai aktivitas ibadah. Sederhananya, Qamariah dan Syamsiah menjadi dasar perhitungan waktu beribadah dan bermuamalah (lihat QS. Yunus: 5). Jadi, baik Syamsiah maupun Qamariah, tidak ada kepemilikan di dalamnya dengan dalih agama/kebudayaan tertentu. Persoalannya hanya terletak pada apa (nilai dan spirit yang sarat kepentingan di balik jubah agama/kebudayaan terntentu) yang disisipkan di dalamnya berikut cara pelaksanannya. Hijriah dan Masehi adalah produk konsensus dengan pandangan dan metodologi berbeda. Kenapa ini penting dibahas, karena distingsi antara Qamariah (yang diklaim islami) dengan Syamsiah (yang “diklaim” tidak islami) membentuk pola tindakan yang oposisional biner dalam memperlakukan keduanya. Padahal keduanya sama-sama dibutuhkan.

Kecenderungan tulisan ini bukan pada nilai yang menjadi spirit kedua produk konsensus itu, tetapi lebih ke soal cara merayakannya berikut akibat langsung dan turunannya.  Relevansinya ada pada dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkannya. Sebuah harga yang ‘harus’ dibayar oleh gaya hidup berlebihan. Sehingga ini bukan lagi sekedar pro-kontra persoalan sistem/model mana yang digunakan dan yang lain dieliminasi. Bukan lagi sekedar siapa yang boleh dan tidak boleh merayakannya, sebab secara teknis momen Tahun Baru Masehi dinikmati oleh hampir semua umat beragama bahkan mungkin yang tidak beragama sekalipun dengan beribu kemasan berbeda. Bukan lagi sekedar apa yang dirayakan tetapi cara merayakannya dan siapa yang “panen”. Alhasil, ternyata pesta besar ini harus dibayar dengan biaya sosial dan ekologis yang tinggi.

Biaya Sosial.

Semua aksesoris/atribut adalah penanda sekaligus “petanda” tahun baru. Mulai dari petasan, kembang api, terompet, topi, dll butuh biaya yang tidak sedikit hanya untuk memeriahkan pesta satu tahunan itu. Pesta yang tidak mengenal seksis, agama dan identitas lainnya. Sebuah keterlibatan kolektif dimana kita sulit membedakan siapa yang paling berkepentingan dan siapa yang hanya penggembira/penikmat. Semua sama latahnya. Mulai dari acara makan-makan bersama, ngumpul-ngumpul hinga “perayaan” ala anak muda. Ini bukan soal uangkuji, terserah mau kupake apai, tetapi soal pola pikir untuk memahami realitas yang begitu telanjang.

Sebagai ilustrasi, Pemprov DKI Jakarta dalam menyambut pesta besar ini telah menyusun rencana besar dengan menyelenggarakan Jakarta Night Festival (JNF) dengan 13 panggung hiburan yang tersebar di sepanjang Jalan MH Thamrin-Medan Merdeka Barat dengan menampilkan aneka ragam hiburan dan wisata kuliner. Pesta kembang api diadakan di 3 titik (Pantai Beachpool, Pantai Karnaval, dan Danau Monumen). Di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) disiapkan 300 artis muda Indonesia dan 4.000 kembang api. Pesta besar seperti ini jelas membutuhkan biaya-biaya besar mulai dari biaya keamanan, konsumsi, kebersihan, penyelenggara hingga kemacetan lalu lintas. Bagaimana dengan Makassar?

Lalu “pesan” apa yang mau disampaikan di balik semua kemewahan itu? Bukankah ajang besar seperti ini rawan eksploitasi? Satu-satunya yang diuntungkan adalah lagi-lagi para pemilik modal. Sadar atau tidak, pesta besar seperti ini dikonstruksi menjadi panggung produk untuk mendongkrak penjualan. Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Tahun Baru dll adalah momen paling basah untuk memberikan serangkaian promo diskon yang dikemas mulai dari acara musik, sinterklas, diskon hingga midnite sale (perpanjangan jam tutup toko) seperti yang sering dilakukan banyak perusahaan ritel (Ramayana, Carrefour dll) dan pemberian special gift untuk pembelian sejumlah produk tertentu. Di Indonesia, yang sering melakukan ini adalah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).

Adalah sangat tidak bernilai ketika pesta tahunan ini menjadi ajang hiburan/pelarian dari berbagai problem seperti bencana sosial (kemiskinan, busung lapar, kriminalias dll) dan bencana ekologis serta maslah-masalah lain yang butuh penanganan ekstra. Dalam kasus kecelakaan pesawat saja setidaknya terdapat 33 kasus termasuk tragedi jatuhnya pesawat AIRASIA QZ 8501 yang menambah daftrar panjang kecelakaan pesawat di negeri ini sepanjang tahun 2014. Bagaimana dengan rentetan masalah lainnya? Jika uang yang dipakai membiayai pesta tahunan ini harus dibayar dengan bencana sosial dan ekologis yang makin akut, itu bukan harga yang pantas.

Sangat sulit diterima ketika pesta tahunan ini harus dibayar dengan 350 nyawa di China. Sangat sulit menemukan alasan rasional ketika kesenangan dalam bunyi petasan adalah sebab kematian bagi mereka yang “jatungan”. Sangat sulit membenarkan kesenangan dalam warna-warni petasan ketika itu justru menjadi pemicu kebakaran rumah seperti yang terjadi di Jl Abu Bakar Makassar. Sangat sulit diterima ketika pesta besar ini menjadi “tiket gratis” untuk merusak taman kota dan titik lainnya yang menjadi habitat makhluk penghasil O2. Kesadaran ekologis dan kemanusiaan sangat tidak berharap kondisi lebih buruk terjadi di daerah/belahan dunia lainnya atas nama pesta ini.   

Rentetan masalah di sepanjang tahun 2014 ini secara moral menuntut kepedulian setidaknya dalam sikap ketika kita “memilih” abai dalam tindakan kemanusiaan, bukan berpesta. Maka tidak berlebihan jika perayaan tahun baru 2015 adalah pesta di atas duka kolektif. Sebuah mekanisme alamiah pikiran kolektif manusia untuk menyangkal realitas yang menimbulkan banyak ketegangan pada otak. Ini mekanisme alamiah untuk tidak menyebutnya schizoprhenia (kepribadian sosial ganda) ketika memilih menghidari memikirkan kenyataan yang tidak menyenangkan itu.



Biaya Ekologis

Layaknya sebuah pesta yang selalu menyisakan “sampah”, pesta tahunan ini pun banyak menyisakan persoalan. Tingginya angka konsumsi tidak hanya mengurangi sejumlah uang tetapi juga membawa masalah bagi lingkungan. Misalnya sampah dan pencemaran udara. Sebagai contoh, di Kota Makassar terdapat banyak titik penumpukan sampah setelah malam tahun baru. Misalnya di Jl Landak tumpukan sampah sepanjang 8 meter yang menutupi beton jalan itu. Sampah juga menumpuk di Jl S Karunrung dan di trotoar Jl Jend Sudirman. Slogan Makassar Tidak Rantasa seolah hanya slogan kosong. Bagaimana dengan kota lain?

Di Jakarta, ada sekitar 85 ton sampah yang terkumpul dari pesta tahun baru 2015. 35 ton sampah berasal dari lokasi Jakarta Night Festival bundaran Hotel Indonesia sampai Monas dan 50 ton sampah sisanya berasal dari titik-titik keramaian di beberapa wilayah kota administrasi lainnya seperti di Taman Mini Indonesia Indah-Jakarta Timur, Ancol (Jakarta Utara), Taman Fatahillah-Kota Tua (Jakarta Barat), Taman Margasatwa Ragunan (Jakarta Selatan) dan beberapa titik keramaian lainnya. Jumlah ini berkurang dibanding tahun lalu yaitu 150 ton sampah. Adanya ketentuan denda sebesar Rp 500 ribu bagi individu yang membuang sampah sembarangan seolah tak berguna. Alhasil, bukan hanya memakan biaya dalam penanganannya, tetapi menambah beban tukang sapu jalan dan beberapa profesi lain yang oleh mainstream dominan dianggap pekerjaan bernilai rendah.

Kembang api menghasilkan empat efek primer: suara, cahaya, asap, dan bahan terbang (contohnyaconfetti). Kembang api dirancang agar dapat meletus sedemikian rupa dan menghasilkan cahaya yang berwarna-warni seperti merah, oranye, kuning, hijau, biru, ungu, dan perak. Pesta kembang api merupakan titik pertemuan banyak pesta kultural dan religius.

Asap kembang api/petasan mengandung gas Carbon, dan Carbon Dioksida (CO2). Kandungan ini dapat merusak lapisan ozon dan menimbulkan emisi karbon berbahaya bagi kesehatan semua makhluk di bumi. Jelas bahwa selain pembakaran bahan bakar fosil dan batu bara, petasan pun tidak kalah daya rusaknya terhadap lapisan ozon seperti lubang ozon (Ozone hole). Biasnya mengancam kehidupan makhluk hidup, mencemari udara, mampu merusak bangunan-bangunan secara perlahan, bencana alam dan naiknya permukaan air laut sebagai akibat perubahan pola iklim dunia secara drastis.

Logika holistik-ekologis tidak menerima distingsi “yang lain” dan “bukan yang lain”. Tidak ada ‘ruang lain’ tanpa menghubungkannya dengan ruang yang utuh. Tidak ada ‘waktu lain’ dalam keseluruhan waktu. Tidak ada ‘tindakan lain’ tanpa hubungannya dengan keseluruhan tindakan. Maka cara kita merayakan tahun baru bukanlah sesuatu ‘yang lain’ yang tidak ada hubungannya dengan nasib ekosistem kehidupan kita. Pesta tahun  baru yang menyisakan sampah dan polusi udara tidak berada di ruang dan waktu lain dalam keutuhan ruang waktu yang ditempati makhluk di planet ini. Jutaan bahkan mungkin milyaran petasan yang diledakkan adalah ancaman serius bagi kesehatan lapisan ozon, demikian halnya tumpukan sampah. Dibakar, ditimbun dalam tanah atau dibuang ke laut pun tetap akan menyisakaan kerusakan ekologis jangka panjang. Memahami realitas dengan cara yang terpecah-pecah seperti ini adalah akibat berantai dari paradigma mekanistik-reduksionis. Alhasil, konsepsi kita tentang kesehatan hanya pada individu, tidak mencakup aspek sosial apalagi ekologisnya.

Lalu siapa yang diuntungkan oleh pesta besar ini? Sebagai pihak yang tidak memiliki otoritas, kapasitas dan modal, masyarakat kelas menengah ke bawah yang kerap dijadikan objek eksploitasi dan terus didorong untuk memperbanyak konsumsi barang/jasa, jelas bukan pihak yang diuntungkan. Intitusi korporasi lah yang diuntungkan dengan obsesi pertumbuhan dan ekspansi ekonominya yang tidak mengenal etika sosial apalagi ekologis.

Menurut Capra, banyak cerita mengerikan tentang perilaku korporasi di Dunia Ketiga yang telah muncul pada tahun-tahun terakhir menunjukkn dengan meyakinkan bahwa penghormatan pada manusia, alam, dan pada kehidupan bukan menjadi bagian dari mentalitas korporasi. Sebaliknya, kejahatan-kejahatan korporasi dalam skala besar kini merupakan aktivias yang paling meluas dan paling sedikit diajukan ke pengadilan. Shadaqallahul ‘azhim.

Samata-Gowa, Sulawesi Selatan 07 Januari 2015

Rusman A. B. Turinga

Sebagai perbandingan, Gereja Ortodoks hingga saat ini masih menggunakan kalender Julian sehingga hari Natal dan Tahun Baru mereka berbeda.

Sumber Data: http://www.gomuda.com/2014/12/mengenal-empat-jenis-tahun-baru-di-indonesia.html

Sumber Data: Catatan di Encarta Reference Library Premium2005. Lihat di http://nanasblogsite.wordpress.com/2012/12/31/tentang-kalender-gregorian-dan-perayaan-tahun-baru/

Sumber Data: http://www.slideshare.net/sitibaitiahrani/sistem-kalender-masehi-dan-hijriah

Sumber Data: Liputan6.com Jan 01, 2015 at 15:35 WIB oleh Rio Apinino.

Sumber Data: http://www.koran-sindo.com/read/943045/149/bersiap-sambut-tahun-baru-2015-1419744450

Sumber Data: http://nasional.kompas.com/read/2015/01/01/10332591/Kecelakaan.Pesawat.di.Indonesia.Sepanjang.2014

Sumber Data: Tribuna Timur Makassar Kamis, 1 Januari 2015 13:44 WITA

Sumber Data: Laporan Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tempo.co, Jakarta Jum'at, 02 Januari 2015 05:54 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun