Mohon tunggu...
Salmah Naelofaria
Salmah Naelofaria Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

\r\n\r\nMenulislah... \r\nMenulis itu pelita bagi pembaca :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

My Mother Is…?

20 April 2014   22:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13980060701636156931

[caption id="attachment_332538" align="aligncenter" width="555" caption="Ilustrasi Kompasiana / Dok. Gilang Rahmawati Kampret"][/caption]

My mother is…. ?

(by Salmah Naelofaria)

Aku berlari terbirit-birit mengejar Meydi yang sedang sibuk meraih sesuatu di atas meja. Jemari kecil itu tampak sangat berupaya keras, sedikit lagi. “Praakkk…”, piala yang terbuat dari kaca itu pecah. Meydi menoleh ke belakang, menatapku tak berkedip… wajahnya mulai pucat pasi.

“Aduh… itu piala kesayangan kakakmu Mey, tuh pecah kan?Kalau kakak tau pasti dia sedih.” Aku berjalan ke arah Mey dan memunguti serpihan kaca itu satu persatu. Mey masih terdiam menatapku, tak bisa menahan air matanya, anak kecil yang baru berusia tiga tahun itu menangis menjadi-jadi.

“Kenapa diam saja? Bujukin Mey dong biar dia diam, bising tau. Kenapa sih kamu selalu buat masalah?” Lagi-lagi suamiku itu menunjukkan mata bulatnya yang melotot ke arahku.

“Maaf bang, tadi aku sudah mengejarnya tapi pialanya sudah terlanjur jatuh duluan,aku dari dapur mau mengambilkan kopi buatmu bang.” Aku pun menyuguhkan kopi yang dari tadi memang sudah aku buatkan. Dan terhenyak mendengar kalimatnya :

“Nanti mau buat keonaran apa lagi kamu?” Bang Lukman itu menatapku tak berkedip, aku tau ia masih kesal. Kugendong Mey dan segera meninggalkannya.

***

“Iyaaaa…. Tapi kenapa dibiarin sih Bun? udah dua kali gini.” “Kemarin gelas kesayangan aku, sekarang piala pertamaku, bisa nggak sih si Meydi ni dirawat ma babysitter aja?” Fika mulai mengeluarkan emosinya sambil terus menatap tajam aku dan Meydi silih berganti.

“Maafkan bunda sayang, bunda kemarin lagi di dapur, bunda udah kejar tapi terlanjur jatuh… besok kita perbaiki ke tukang kaca ya nak, mereka pasti bisa memperbaikinya, kan dia punya lem kaca.” Aku mencoba menenangkan Fika, anak sulungku yang baru saja memenangkan lomba pidato Bahasa Inggris di sekolahnya. Dia memang masih kelas III SD tapi kemampuan Bahasa Inggrisnya sangat bagus, diam-diam aku sering menempelkan kosa kata baru di pintu kulkas, di meja belajarnya, di kamar mandi, di stang sepedanya, di dalam kantong bajunya sambil bercanda dan menyebutkan itu adalah harta karun yang harus ia hafal. Karena terpancing dan tidak menduga tempat-tempat yang aku sediakan, dia selalu penasaran setiap harinya. Bahkan akan menanyakan apakah tidak ada harta karun hari ini jika aku lupa menempelkannya.

Fika tampak murung, tak satupun kata-kataku yang dapat menenangkannya. Ia terus menerus menatap puing piala kebanggaannya. Tiga minggu lalu ia berpesan agar piala itu diletakkan di atas meja tempat telpon rumah di ruang tamu, katanya kejutan buat kakek jika berkunjung ke rumah. Aku mulai bingung, aku menyesal karena tidak siaga pada saat itu.

“Ah… bagaimana kalau kita ke mall Fika? Katanya kemarin tas kamu sudah sobek? Kita beli yuk…sekalian kita perbaiki piala kamu. Bunda punya kenalan tukang kaca, gimana mau?” Aku mulai membujuk Fika dengan semangat.

***

Ternyata jurusku ampuh, setelah berhasil memperbaiki piala pecah dengan bentuk yang tidak sama persis dengan sedia kala dan ide mengajak jalan-jalan ke mall, aku berhasil mengukir senyum di bibir Fika. Dia pun mulai berceloteh ini itu, terkadang aku tidak mendengarnya karena sibuk menjaga Meydi yang mulai pegang sana sini. Kedua anakku terlihat sangat ceria, moment-moment seperti inilah yang membuatku selalu lupa semua masalah yang ada, termasuk Bang Lukman yang akhir-akhir ini selalu gampang emosi dan memarahiku.

“Bruuuk…” patung pajangan busana di sebelahku tiba-tiba jatuh ke lantai. Semua mata menatap ke arahku. Meydi yang berada di sebelah kiriku menatapku bingung, Fika yang berjalan di depanku menatapku tajam. Aku mencoba menunduk dan meraih patung tetapi didahului oleh penjaga toko.

“Tidak apa-apa mbak, lewat sini aja.” Tukasnya sambil menunjukkan pintu yang lebih lebar. Berulang kali aku meminta maaf kepada penjaga itu, kuraih tangan kedua anakku dan keluar sesegera mungkin, aku tidak ingin anakku menyaksikan raut-raut wajah yang menurutku sangat menyakitkan itu.

“Mereka menertawankan bunda.” Meydi mulai mengeluarkan bahasa polosnya.

“Biarkan saja, mereka tertawa karena melihat bunda punya dua anak yang manis dan cantik.” Timpalku serba salah.

“Tidak, mereka menertawakan Bunda karena bunda gemuk. Gemuk sekali, bisa nggak Bunda diet aja kayak orang-orang di Tivi-tivi itu? Tadi pintunya terlalu kecil, badan Bunda tidak muat, lengan baju bunda tersangkut di patung tadi, makanya jatuuuhh.” Fika menatapku penuh makna, lalu menunduk dalam. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku tau ia sangat kecewa, ini kesekian kalinya ia malu karena aku. Yaa..tubuhku yang memang sangat gemuk bahkan overweight ini sering menjadi sesuatu yang mengundangnya untuk malu. Kemarin saat mengumumkan juara pidatonya aku tidak bisa naik ke atas pentas mendampingi karena tiba-tiba kakiku sangat keram dan tak mampu menaiki tangga. Minggu lalu mainan puzzlenya pecah karena tidak sengaja terduduki olehku. Pernah juga ia basah kuyup oleh hujan di depan pagar karena aku terlalu lama membukanya, padahal saat itu aku sudah terengah-engah karena membawa tubuhku yang besar berjalan setengah berlari.

***

Suamiku tampak rapi, aku baru saja selesai menyetrika kemeja yang sedang dikenakannya itu. Tadi malam ia tidak bilang kalau kemeja putih itu akan dipakai pagi ini. Sejak diangkat jadi manager ia jarang memakai kemeja yang tergolong sudah lama itu, ia lebih sering mengenakan kemeja-kemeja barunya yang aku beli On line. Makanya kemeja itu aku lipat dan kupindahkan ke lemari di kamar atas, tempat pakaian yang sudah tidak dipakai lagi dan hasilnya yaa penuh bekas lipatan.

“Mestinya kau tidak melipatnya kemarin, jadi bisa langsung aku pakai, lihatlah sudah jam tujuh, aku bisa telat.” Ucap suamiku lirih.

“Masih jam tujuh sayang, kan rapatnya mulai jam depalan, nanti abang lewat jalan Meranti aja biar nggak macet, ups…jangan cemberut gitu donk, nanti gantengnya nggak keliatan loh” Aku mulai membujuk suamiku dengan sedikit canda.

Tak ada senyum yang lebar lagi di bibir itu, Bang Lukman masuk ke dalam mobil, duduk lalu menutup pintu mobilnya. Aku hanya bisa tersenyum, biasanya ia memang tak perlu menunggu lama untuk berpakaian, aku telah menyiapkan semuanya di lemari. Untung aku punya mesin cuci yang selalu membantuku mencuci setiap hari. Aku memang sengaja mencuci setiap hari agar cucian tidak menumpuk dan satu lagi agar mereka bertiga bisa memakai baju yang mana saja tanpa harus menunggu dicuci dulu.

Kuhapus peluh yang mulai membasahi dahiku, pagi ini seperti biasa aku akan membereskan kamar Fika, sedang Meydi masih pulas di kamarku setelah asyik bermain selepas sarapan pagi tadi. Fika termasuk anak yang rapi, meski tiap malam ia selalu membuka buku-buku di kamarnya tetapi akan disusun lagi. Sehingga aku tidak perlu berlama-lama di kamarnya itu. Tapi kali ini berbeda, aku melihat tumpukan album foto keluarga di atas meja belajarnya. Kubuka satu persatu, kupandangi wajah kedua anak gadisku yang manis. Senyum mereka sangat sempurna untukku. Senyum simpulku mengitari wajah-wajah itu, tapi tiba-tiba rasa itu datang lagi. Kutatap satu foto empat tahun lalu, Fika, Bang Lukman dan aku. Kutatap tubuhku, masih sangat sintal dan berisi, tak ada pancaran gemuk sama sekali. Pipiku tirus dengan potongan bahu yang biasa saja layaknya seorang wanita dewasa. Menusuk rasanya di ulu hati, apakah mungkin akan kembali seperti dulu lagi? Batinku merenyuh dan mulai menyalahkan takdir. Namun tiba-tiba ku ingat nasehat almarhum ibu, apapun keadaan kita tetaplah mengharap cinta Tuhan, lebih baik buruk di mata manusia daripada buruk di mata Tuhan. Maka aku yakin dengan fisikku yang seperti ini aku masoh bisa berbuat maksimal sebagai seorang ibu yang punya tanggung jawab dan tentunya meraih cinta Tuhanku.

Kususun kembali album foto itu, album foto terakhir adalah album foto saat perayaan ulang tahun Meydi yang pertama. Aku terlihat gemuk di sana, dan saat ini jauh lebih gemuk dari pada yang terpampang di foto itu. Sudah cukup banyak biaya untuk pengobatanku agar kembali seperti dulu, tapi yang ada memang berat bdan selalu bertambah.

Beres…aku pun selesai merapikan kamar, tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu terselip di bawah kotak pensil Fika. Seperti amplop dan yah benar amplop yang berisi surat undangan dari sekolahnya. Undangan untuk para orang tua murid peserta lomba kreasi siswa. kutatap tanggal acara, Senin 24 Desember 2012. Tak percaya dengan angka itu kutatap lagi dengan setengah melotot. Yah, benar Senin 24 Desember dan itu adalah hari ini.

“Lomba apa?Kenapa Fika tidak memberitahu aku ataupun Bang Lukman? Lalu siapa yang akan mendampingi Fika nanti?

Segera kuambil Hp, terdengar jawaban yang sangat membuatku mendadak terdiam, kaku, sakit, kecewa, dan entahlah….tak bisa kubayangkan. Kuseka air mata sambil menjawab kalimat itu.

“Baik bang… terserah abang, baiklah aku menunggu di rumah saja.” Kututup telpon, aku duduk terpaku di meja belajar Fika. Kutatap foto itu kembali, wajah polos itu?Apakah sudah menyimpan banyak sesal kepadaku?Suamiku, apakah merasakan hal yang sama juga?

“Tunggu saja di rumah, nanti aku yang ke sana”

“Tapi bukannya abang sedang ada rapat?Biar aku saja yang ke sana bang”

“Tidak usah, aku saja. Ya aku sedang rapat sebentar lagi selesai”

“Iya bang, tapi acaranya sepertinya selesai jam 11 bang, apakah…”

“Sudah kubilang…tunggu saja di rumah, iya aku tau….Fika sudah bilang padaku tadi malam. Percuma kalau kamu, nanti tak bisa naik ke atas pentas lagi. Kasihan Fika harus berulang-ulang kali seperti ini”

“Baik bang…terserah abang….”

Percakapan lewat telpon tadi mendengung terus di telingaku. Air mata tak berhenti mengalir, jadi Fika menyembunyikan hal ini kepadaku karena takut aku yang datang ke acaranya. Mungkin ia benar-benar malu punya ibu seperti aku. Ia masih anak-anak, ia belum bisa membedakan mana yang menyakitkan orang tua dan mana yang tidak. Aku tidak boleh membencinya, Bang Lukman juga demikian karena menjaga perasaanku, aku yakin Bang Lukman tidak ikut-ikutan maku kepadaku.

Senyumku mampu menguatkan lagi. Kusapu rumah besar itu semampuku. Sesekali kuhela nafas panjang karena tidak kuat membungkuk menyapih debu di bawah kursi. Kusiapkan makan siang untuk mereka, Meydi yang sudah bangun dari tadipun segera kumandikan dan kukenakan pakaian yang ia pilih sendiri. Aku duduk termangu, ingin rasanya melihat Fika di atas pentas, ingin rasanya mendengar anakku itu beraksi, lomba apa yang akan ia bawakan. Dia tidak bercerita padaku, sama sekai tidak bercerita. Sejak kejadian di mall itu dia memang lebih banyak diam. Tapi biarlah, anak gadisku yang satu itu kelak akan tau betapa sayangku ini sangat besar padanya.

Dengan nafas terengah-engah aku berjalan menaiki tangga sekolah Fika. Rasa penasaranku tidak bisa kulenyapkan. Aku tetap ingin melihat dia tampil di lomba. Acaranya ada di aula lantai 2, itu yang aku baca di undangan tadi. Sambil menggendong Meydi aku pun duduk di sudut ruangan, ruangan memang belum penuh tapi aku takut keberadaanku menjadi pengganggu bagi Fika, biarlah ia tidak melihatku di sini, anakku sangat hebat, kasihan bila nanti harus terganggu lagi konsentrasinya pikirku.

“Oh, pantesan tadi tidak ikut yaa…ternyata karena acara ini”. Karmila istri Ricky teman kerja Bang Lukman mencubit lenganku sambil tersenyum.

“Eh..kamu Mil, ikut kemana?” tanyaku heran.

“Lho, kan hari ini ada foto bersama kantor untuk dijadikan picture kalender kantor 2013 nanti. Istri kan ikut foto juga?Kasihan lo tadi Pak Lukman jadi single…hehehe, tapi nggak apa-apa minggu depan kita ada foto ulang kok karena ada beberapa pasangan yang nggak bisa hadir seperti jeng. Eh, anak saya juga ikut loma loh, tapi saya telat nih…” Karmila tampak melihat-lihat ke depan mencari anaknya. Sepertinya ia tidak menantikan jawaban kenapa aku tidak ikut tadi. Syukurlah ia tidak menanyakan kembali, karena aku benar-benar tidak tau akan hal itu. Lagi-lagi ingin rasanya teriak, Bang Lukman tidak memberitahu aku kalau ada foto bareng di kantor, “ya Tuhan…kenapa jadi seperti ini?” Sakit yang kurasa semakin menjadi-jadi, perasaan negatif bermunculan,

***

“Baiklah…peserta About My Mom selanjutnya akan dibawakan oleh Fika Nadyawanti.” MC memanggil nama yang membuat badanku gemetar. Ternyata ini adalah lomba cerita tentang ibu, lalu….? Dadaku berdetak kencang, apa yang akan Fika ceritakan tentang aku…? Ya Tuhan…kenapa ia harus ikut lomba ini? Ingin rasanya menggendong Fika turun dari atas panggung dan mengentikan acara ini. Kulihat di jejeran kiri Bang Lukman yang tak mengetahui keberadaanku tampak melipat-lipat bibirnya, aku tau itu kebiasaannya saat sedang bingung atau pikirannya kacau. Meydi yang dari tadi sibuk dengan mainan di tangannya memandang ke depan karena melihat kakaknya di atas panggung.

“My mother is…” Fika tampak gugup dan mulai menatap kertas di tangannya.

“My mother is…” lagi-lagi ia terdiam, ditatapnya seluruh penjuru ruangan, aku menunduk mencoba mengaburkan pandangannya. Setelah menatap ke sebelah kiri, Fika seperti menemukan satu sosok, ya dia menatap suamiku. Lalu tiba-tiba ia melipat kertas itu dan mengantongkannya.

“My mother is so fat… yeah she is so fat”

Ingin rasanya aku berlari sekencang mungkin, meniggalkan tempat itu. Ya Tuhan, aku benar-benar tidak ada harganya.

“But…I love her so… Aku sayang bundaku, tidak ada orang yang bisa seperti dia. Tidak ada orang sesabar dia, walaupun semua mengejeknya gemuk, semua menertawakannya, aku tetap bangga kepada Bunda. Mereka tertawa karena mereka tidak tau sebesar apa pengorbanan Bundaku, kalau saja mereka seperti Bunda, mereka mungkin tidak akan mampu naik turun tangga membersihkan kamarku setiap hari, menyetrika pakaian ayahku pagi-pagi, memandikan adikku yang rewel dan suka berlari ke sana kemari, menempel kosa kata baru di bawah kolong tempat tidurku, memasak masakan yang enak setiap hari, membuatkan ayah kopi setiap pagi, menggeser kursi untuk menyapu lantai, dengan badan sebesar itu, melebihi 2x badan mereka. Aku yakin mereka tidak bisa, tapi Bunda selalu bisa, bahkan saat mereka tertawa dan mengejek Bundaku, Bunda masih kuat dan tidak pernah malu. Bunda bangga memiliki kami sebagai anaknya, tapi kami lebih bangga punya ibu seperti Bunda. Bunda is Fat, But I Love her so….

Fika melambaikan tangannya padaku, mata kecil itu menatapku tajam. Aku tidak menyangka semua ucapan-ucapan tadi terlontar dari mulut Fika. Ya Tuhan..apakah ini kenyataan dari Fika, atau hanya karena sebuah lomba. .?

Seperti mimpi, Fika turun dari pentas dan berjalan ke arahku. Micropon itu tetap dibawanya, mendekat dan mendekat, ia memelukku…suara lirih itu terdengar “Aku sayang Bunda”. Gemuruh tepuk tangan menghiasi ruangan, kupeluk Fika erat, itu tetesan air mata bahagia pertama yang kurasakan dalam dua tahun terakhir ini. Di sudut sana kulihat suamiku berdiri tegak menepuk kedua tangannya dengan guliran air mata. Sayangku kepada mereka yang membuat aku kuat dengan ini semua.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun