Mohon tunggu...
Santi Rizkiyanti
Santi Rizkiyanti Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Universitas Jember, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), Kosentrasi Ekonomi Moneter Angkatan 2012.

Selanjutnya

Tutup

Money

Krisis Bersifat Recurrence Perlu Diawasi

4 Juni 2015   10:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:22 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh: Santi Rizkiyanti*)

 

Sejarah mengingatkan bahwa perekonomian global pernah tenggelam dalam krisis finansial besar yang mampu melumpuhkan seluruh perekonomian negara di dunia. Jika bertolak dari pelajaran sejarah krisis finansial global, ditemukan bahwa sumber dari kekacauan tersebut adalah penumpukan (akumulasi) hutang dan kekeringan likuiditas perbankan. Rumor-rumor negatif mampu menciptakan kepanikan di pasar, hal ini ditunjukkan oleh perilaku pelaku ekonomi yang tidak wajar seperti meningkatnya transaksi dengan motif spekulasi dan menjamurnya shadow banking di masyarakat. Faktor-faktor tersebut menciptakan gelembung-gelembung finansial kian membesar dan akhrinya pecah menjadi krisis finansial.

Kontribusi Konsumsi Bagi Perekonomian

Konsumsi merupakan salah satu instrumen penting dalam perekonomian suatu negara, hal ini terbukti bahwa konsumsi selalu menjadi andalan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebutuhan dan keinginan yang terus bertambah menjadi roda penggerak bagi sektor konsumsi. PDB Indonesia sebagian besar didorong oleh sektor konsumsi (selain kegiatan ekspor), hal yang sama dialami oleh negara lain, khususnya Amerika Serikat. Negeri Paman Sam tersebut memiliki pangsan pasar yang cukup menjanjikan sebagai negara tujuan ekspor seperti Jerman, Cina, dan Jepang. Hal ini didukung oleh kemampuan atau daya beli masyarakat AS yang cukup kuat.

Kekuatan konsumsi juga pernah menyeret perekonomian AS ke dalam jurang krisis yang cukup dalam di tahun 2008, yang sering dikenal dengan krisis subprime mortgage. Memasuki tahun 2015 Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter ekspansif yakni dengan menurunkan BI rate guna mendorong perekonomian domestik dan menekan inflasi. Penurunan BI rate nantinya akan direspon oleh turunnya suku bunga kredit perbankan, kemudian akan mendorong permintaan terhadap kredit (baik kredit konsumsi, modal kerja ataupun investasi). Dari semua jenis kredit, konsumsi dan modal kerja merupakan kredit yang cukup diminati, bahkan jumlah kredit konsumsi hampir menyamai jumlah kredit modal kerja. Hal ini sejalan dengan data dari OJK tentang Kredit dan NPL Bank Umum Kepada Pihak Ketiga Bukan Bank Berdasarkan Jenis Penggunaan, menunjukkan bahwa konsumsi modal kerja pada Januari 2015 sebesar 1.712.819 dan kredit konsumsi 1.012.736.

 

Potensi Subrpime Mortgage

Peningkatan permintaan kredit konsumsi adalah efek yang timbul akibat penurunan suku bunga BI dan diikuti penurunan suku bunga perbankan. Berkaca dari krisis subprime mortgage Aamerika Serikat, bahwa pada awalnya The Fed melakukan hal sama seperti yang dilakukan BI saat ini. Hal ini membuat perbankan agresif untuk menyalurkan kredit ke masyarakat bahkan mulai melalaikan prinsip kehati-hatian yakni mengenyampingkan kemampuan bayar dari pemohon kredit, dan diperburuk adanya perilaku spekulan. Pada akhirnya gelembung tersebut pencah menjadi krisis yang menenggelamkan perekonomian AS.

Kebijakan BI untuk mengorong perekonomian yakni sektor riil juga dapat berdampak pada subprime mortgage. Namun, hingga saat ini belum ada indikasi adanya subprime mortgage karena perbankan nasional masih terus berhati-hati dalam menyalurkan kredit.

Otoritas moneter nasional turut dan terus menghimbau perbankan untuk memperbaiki manajemen operasionalnya. Pada dasarnya krisis dapat terjadi dimana dan kapan saja, sehingga perlu adanya regulasi dan penguatan di setiap perbankan. Otoritas moneter perlu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia agar terhindar dari kegiatan keuangan yang merugikan, khususnya masyarakat yang berminat melakukan hubungan dengan lembaga keuangan yang tak berpayung hukum (shadow banking). Akhir-akhir ini otoritas moneter tengah meningkatkan kinerja kebijakan makroprudensial sebagau upaya membangun stabilitas sistem keuangan dalam negeri.

 

*)Mahasiswi Konsentrasi Moneter , Jurusan IESP  (Ekonomi), Universitas Jember, Angkatan 2012.

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun