Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anak Korban Kekerasan Bahasa

13 Mei 2012   15:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:21 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi ketika saya dan istri hadir ke komunitas ibu-ibu yang secara rutin sharing tentang parenting ada seorang ibu yang curhat tentang kebiasaan buruk anaknya. Menurut ibu muda ini, anaknya yang masih TK selalu melempar batu kepada teman-temannya. Bahkan yang menghawatirkan anaknya sering mengacung-ngacungkan parang.

Asal-muasal anaknya memiliki kebiasaan buruk ini ternyata akarnya, karena sering terprovokasi sama pesan embahnya. Embahnya sering bilang, kalau ada yang usil, lawan saja. Kebetulan, seperti umumnya suami-istri di daerah saya, ibu dan suaminya ini tinggal di rumah yang berdekatan dengan rumah orang tuanya. Jadi, kecenderungan embah ikut campur dalam mengasuh dan mendidik anak sangat besar.

Kasus di atas sebenarnya banyak dijumpai dalam keluarga, dimana anak merekam seluruh pesan yang disampaikan oleh lingkungannya melalui bahasa. Jika anak dibesarkan dalam bahasa yang kasar, maka tidak menuntup kemungkinan bahasa kasar kemudian mewujud dalam tindakan.

Dulu ketika saya kuliah di Jakarta, banyak anak kecil yang enteng mengatakan “anjing lho, en…(maaf disensor), dan bahasa kasar lainnya sebagai cara untuk merespon sesuatu yang ia tidak sukai, bisa kepada temannya atau bahkan kepada orang dewasa. Begitu entengnya bahasa kasar itu diucapkan, seolah-olah ia tidak sedikitpun merasa salah.

Betul bahwa bahasa yang kurang santun itu terkadang “dibutuhkan” untuk menyalurkan emosi. Dengan mengeluarkan bahasa itu, keseimbangan emosi bisa didapat karena kesumpekan yang mengganjal hati dan pikiran memperoleh penyalurannya. Tetapi, apakah kita sebagai orang tua tidak menemukan bahasa lain untuk mengajari anak melampiaskan emosinya?

Kalau jawabannya tidak, wajar jika anak melampiaskan emosi ke dalam bahasa verbal yang cenderung keras dan kasar, misalnya, “anjing elu…kurang ngajar, biadab, matamu, en…(disensor lagi), bapak elu, monyet elu”, dsb. Saya yakin di tiap daerah berbeda cara mengungkapkannya melalui bahasa, meski hakikatnya sama. Sama-sama kekerasan bahasa.

Bagaimana Sebaiknya?

Anak memperoleh pengetahuan dan informasi melalui lingkungannya. Meski kadang di rumah kita berbahasa santun, tetapi terkadang anak mendapatkan bahasa kasar di luar rumah. Tentu lebih sial lagi, jika orang tua langsung yang justru mengajarkannya.

Soal kekerasan bahasa saya pikir tidak bisa kita anggap sepele. Sekali lagi kasus anak di atas menjadi bukti bahwa terkadang ada korelasi antara kekerasan bahasa dan kekerasan tindakan. Tugas orang tua untuk mengajarkan bahasa yang santun kepada anak-anaknya, termasuk bahasa yang terkait untuk melepaskan emosi yang memuncak.

Bagi kita yang memiliki bahasa daerah, sebenarnya hal ini sangat bermanfaat. Bahasa daerah yang halus bisa menjadi alternative bagi orang tua untuk diajarkan kepada anak-anaknya. Bahasa daerah yang halus saya yakini bisa menjadikan anak lebih santun dan damai dalam berbahasa dan berprilaku. Karena tidak mungkin bukan, bahasa yang digunakan halus sementara gesture (tubuh)-nya kasar? Sayang memang, bahasa daerah sekarang sudah makin menghilang.

Poin yang ingin saya sampaikan, apapun bahasa yang kita gunakan, jauhkan anak dari kekerasan bahasa. Bukankah bahasa menunjukkan keperibadian bangsa?

Matorsakalangkong

Sumenep, 13 mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun