Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkereta dari Kyoto ke Kobe (Refleksi Harbuknas 2021)

17 Mei 2021   17:45 Diperbarui: 19 Mei 2021   15:12 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang kereta dari Kyoto ke Kobe, 31 Agustus 2013. (Foto: MDA)

 

            Pada tahun 2013, saya berkunjung ke Jepang untuk kedua kalinya, setelah pertama kali mewakili wartawan Indonesia memenuhi undangan "Ministry of Foreign Affair" (MoFA) -- Kementerian Luar Negeri --Jepang yang mengundang wartawan negara ASEAN berkunjung ke negeri itu 27 Januari s.d. 7 Februari 2003. Pada kunjungan kedua ini, saya memasuki Jepang dari selatan, Fukuoka, sementara pada kali pertama memasuki negara itu dari utara, Tokyo.

            Setelah menginap di Fukuoka sehari, kami melanjutkan perjalanan ke Hiroshima dan mengunjungi  kota yang hancur ketika bom atom yang dijatuhkan Amerika 6 Agustus 1945 mengakibatkan tewasnya 129.000 jiwa penduduk. Kota ini merupakan objek utama orang berkunjung ke Jepang, sebelum melancong ke beberapa kota .lainnya.

            Kami tiba di Kyoto malam hari dengan kereta "Shinkansen" dari Hiroshima dan menginap dua malam di kota tua ini. Agenda di kota ini, selain mengunjungi objek wisata, juga kami sempat mengunjungi University of Kyoto, tempat banyak dosen Unhas pernah belajar. Bahkan, Ibu Agnes Rampisela, dosen Fakultas Teknik Unhas, sempat bertemu guru besarnya mengenakan topi sedang menunggang sepeda saat siap-siap bergerak meninggalkan kampus.

            Pagi  keesokan hari, didampingi Suherman Hamzah, dosen Teknik Unhas yang belajar di kota itu (kini Direktur Komunikasi Unhas), kami berkunjung ke Kobe, sebuah kota pelabuhan paling ramai di Jepang di samping kota-kota lainnya, Osaka dan Nagoya,  Ekspor dan impor Jepang juga banyak keluar dan masuk melalui kota pelabuhan ini.

            Menumpang kereta lokal jarak Kyoto-Kobe 76 km kami dapat ditemouh sekitar 1 jam 22 menit. Kereta harus singgah-singgah di beberapa stasiun hanya dalam hitungan satu menit untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.  

            Ada pemandangan yang menarik yang saya selalu perhatikan setiap naik kereta. Pada sebuah bangku di depan saya, seorang dosen perempuan teman saya duduk dengan seorang perempuan yang lebih tua. Jika teman dosen saya itu pulas diayun-ayun kereta, perempuan Jepang di sebelah kirinya malah asyik membaca buku.

            Lalu pemandangn lain, tak kalah menarik perhatian saya. Di lorong antara kursi kereta di bagian belakang sana berdiri seorang perempuan yang lebih muda yang kebetulan tidak memperoleh tempat duduk.  Dia berdiri dan menunggu tiba di tujuan dengan membaca buku. Saya memotret kedua pemandangan yang sangat langka ditemukan di tanah air ini dengan kamera.

            Pemandangan seperti ini, juga saya saksikan ketika menumpang kereta lokal di Kota Tokyo saat kembali dari tengah kota menuju sebuah hotel yang ada di bagian pinggir kota pada sore hari. Beberapa laki-laki setengah umur dan perempuan yang duduk di kursi yang berhadapan asyik membaca selama perjalanan. Mereka memanfaatkan waktunya dengan membaca buku.

Pemandangan seperti itu jelas sangat kontras dengan yang kita temukan di Indonesia.  Di Indonesia justru sibuk bermain gawai dibandingkan membaca buku. Prof.Dr.Anwar Arifin dalam salah satu tulisan untuk otobiografi saya menulis, hingga kini Indonesia kekurangan buku, yaitu satu buku untuk 1000 orang. Sedangkan Sungapura misalnya, satu buku untuk dua orang. Kekurangan buku bagi Indonesia, tentu berdampak negatif terhadap rendahnya budaya literasi orang Indonesia. Tidak salah jika "Central Connecticut State University" di Amerika Serikat dalam penelitian yang bertajuk "World's Most Literarate Nations" (2016), menempatkan Literasi Nasional Indonesia pada posisi ke-60 dari 61 negara. Indonesia hanya unggul dari Botswana di Afrika,

"Artinya Indonesia kalah dari Timur Leste, Papua Nuegini, dan Kamboja, Sebaliknya negara -- negara  Nordic, yang warganya paling bahagia di dunia seperti Finlandia, Norwegia, Eslandia, Denmark, dan Swedia berada pada peringkat lima besar dunia," kata maha guru yang sudah menulis sedikitnya 70 buku itu.

Membaca Medsos

            Minat membaca buku masyarakat Indonesia saat ini kian diperburuk lagi oleh intervensi teknologi media sosial yang nyaris menggeser banyak kegiatan dan merebut sebagian besar waktu luang manusia Indonesia. "Kompas.com" merilis, lebih dari 3,5 miliar manusia di bumi bergabung ke media sosial menurut laporan terbaru dari "We Are Social" dan "Hootsuite" bulan Juli 2019.  

Lalu berapa lama orang Indonesia betah bermedia sosial? Secara global, kini kita menghabiskan rata-rata 150 menit sehari di media sosial. Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan orang di media sosial secara global meningkat hingga rata-rata hampir 60% selama tujuh tahun terakhir.

Durasi rata-rata terendah di tingkat regional berasal dari Amerika Utara (116 menit). Filipina adalah negara yang warganya menghabiskan paling banyak waktu di media sosial: 241 menit per hari. Sementara di Jepang hanya mencapai 45 menit.

Harbuknas

Hari Buku Nasional diperingati 17 Mei 2021 ini. Jika ditilik ke belakang, Hari Buku Nasional yang juga dikenal sebagai Harbuknas memang baru ditetapkan pada tahun 2002. Penggagas atau tokoh di balik hari peringatan ini adalah Menteri Pendidikan Nasional era Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar (alm.).  

Sejarah hari buku nasional melansir Harian Kompas, 20 Mei 2002, pada 17 Mei malam ketika itu, Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar merencanakan 17 Mei menjadi Harbuknas. Rencana itu dilatarbelakangi kondisi bangsa Indonesia yang ketika itu masih lebih banyak mempertahankan tradisi lisan dibandingkan menjawab tuntutan informasi dengan banyak membaca.

Sederhananya, secara umum masyarakat masih memiliki tradisi percakapan panjang dibandingkan kebiasaan membaca. Ide ini semula datang dari masyarakat pencinta buku yang ingin memacu tingkat minat baca di masyarakat. Bahkan mereka menginginkan perayaan Harbuknas dapat berlangsung meriah sebagaimana perayaan hari kasih sayang.

 "Kami ingin agar peringatan Hari Buku seperti "Valentine's Day", di mana pada hari itu setiap orang memberi sebuah buku kepada orang lain," jelas Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) ketika itu, Arselan Harahap. Namun,

Mendiknas menyadari sepenuhnya keinginan ini bukan sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Membuat masyarakat yang terbiasa dengan budaya lisan kemudian menjadikannya gemar membaca buku merupakan sesuatu yang memerlukan upaya ekstra. Apalagi pada generasi muda yang sudah banyak terpapar dengan media dan teknologi komunikasi seperti telepon suara dan video.

Namun Malik menilai membaca memiliki fungsi strategis, salah satunya mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan.  Tingkat literasi Indonesia masih rendah Mengutip laman Kementerian Dalam Negeri, (23/3/2021), Indonesia ada di posisi ke-62 dari 70 negara untuk masalah tingkat literasi. Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi rendah.

Survei dilakukan oleh "Program for International Student Assessment" (PISA) yang dirilis "Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)" pada 2019. Dikutip dari laman Kementerian Komunikasi dan Informatika, UNESCO menempatkan Indonesia sebagai negara terendah kedua untuk tingkat minat baca. Artinya, minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, atau hanya ada 1 dari 1,000 orang Indonesia yang rajin membaca.

            Guna meningkatkan budaya membaca di kalangan mahasiswa yang diajar saya menghadiahkan buku kepada mereka yang berulang tahun saat mengajar. Bahkan, di sebuah universitas swasta, saya membagikan puluhan buku yang ditetapkan sebagai buku rujukan mata kuliah. Ketika pada minggu berikutnya setelah memberikan buku itu sebelumnya, banyak yang mengatakan baru membaca judulnya ketika ditanya. Jadi memang payah minat baca di kalangan masyarakat kita, termasuk di kalangan mahasiswa. Apalagi dengan serbuan dan pengaruh media sosial seperti sekarang ini. Minat baca buku kian terpuruk.

            Pada tanggal 16 Mei 2021 siang, selagi bersama keluarga melaksanakan rekreasi di Pantai Biru Makassar, saya menelepon Ayah saya di Kanca Bima, kampung halaman.

            "Lagi bikin apa ini Abu (ayah)," seru saya dari Makassar begitu komunikasi gawai tersambung.

            "Ya, saya sedang membaca-baca kembali buku biografi yang ditulis Aji (saya)," jawab Ayah.

            Saya langsung termenung. Dengan kondisi penglihatannya yang selalu dikeluhkan, Ayah masih terus membaca padahal usianya tahun ini genap 93 tahun. (*)   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun