Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkereta dari Kyoto ke Kobe (Refleksi Harbuknas 2021)

17 Mei 2021   17:45 Diperbarui: 19 Mei 2021   15:12 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang kereta dari Kyoto ke Kobe, 31 Agustus 2013. (Foto: MDA)

"Artinya Indonesia kalah dari Timur Leste, Papua Nuegini, dan Kamboja, Sebaliknya negara -- negara  Nordic, yang warganya paling bahagia di dunia seperti Finlandia, Norwegia, Eslandia, Denmark, dan Swedia berada pada peringkat lima besar dunia," kata maha guru yang sudah menulis sedikitnya 70 buku itu.

Membaca Medsos

            Minat membaca buku masyarakat Indonesia saat ini kian diperburuk lagi oleh intervensi teknologi media sosial yang nyaris menggeser banyak kegiatan dan merebut sebagian besar waktu luang manusia Indonesia. "Kompas.com" merilis, lebih dari 3,5 miliar manusia di bumi bergabung ke media sosial menurut laporan terbaru dari "We Are Social" dan "Hootsuite" bulan Juli 2019.  

Lalu berapa lama orang Indonesia betah bermedia sosial? Secara global, kini kita menghabiskan rata-rata 150 menit sehari di media sosial. Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan orang di media sosial secara global meningkat hingga rata-rata hampir 60% selama tujuh tahun terakhir.

Durasi rata-rata terendah di tingkat regional berasal dari Amerika Utara (116 menit). Filipina adalah negara yang warganya menghabiskan paling banyak waktu di media sosial: 241 menit per hari. Sementara di Jepang hanya mencapai 45 menit.

Harbuknas

Hari Buku Nasional diperingati 17 Mei 2021 ini. Jika ditilik ke belakang, Hari Buku Nasional yang juga dikenal sebagai Harbuknas memang baru ditetapkan pada tahun 2002. Penggagas atau tokoh di balik hari peringatan ini adalah Menteri Pendidikan Nasional era Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar (alm.).  

Sejarah hari buku nasional melansir Harian Kompas, 20 Mei 2002, pada 17 Mei malam ketika itu, Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar merencanakan 17 Mei menjadi Harbuknas. Rencana itu dilatarbelakangi kondisi bangsa Indonesia yang ketika itu masih lebih banyak mempertahankan tradisi lisan dibandingkan menjawab tuntutan informasi dengan banyak membaca.

Sederhananya, secara umum masyarakat masih memiliki tradisi percakapan panjang dibandingkan kebiasaan membaca. Ide ini semula datang dari masyarakat pencinta buku yang ingin memacu tingkat minat baca di masyarakat. Bahkan mereka menginginkan perayaan Harbuknas dapat berlangsung meriah sebagaimana perayaan hari kasih sayang.

 "Kami ingin agar peringatan Hari Buku seperti "Valentine's Day", di mana pada hari itu setiap orang memberi sebuah buku kepada orang lain," jelas Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) ketika itu, Arselan Harahap. Namun,

Mendiknas menyadari sepenuhnya keinginan ini bukan sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Membuat masyarakat yang terbiasa dengan budaya lisan kemudian menjadikannya gemar membaca buku merupakan sesuatu yang memerlukan upaya ekstra. Apalagi pada generasi muda yang sudah banyak terpapar dengan media dan teknologi komunikasi seperti telepon suara dan video.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun