Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Sepenggal Kenangan dengan Merpati

2 Februari 2014   23:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pertama kali menikmati penerbangan dengan pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA) – selanjutnya disingkat Merpati – pada tahun 1978, ketika dalam perjalanan pulang dari Jakarta setelah mengikuti Pekan Olahraga dan Seni Mahasiswa (Porseni) se-Indonesia yang dipusatkan di Stadion Utama Senayan Jakarta. Saya bersama puluhan teman mahasiswa Unhas lainnya yang hanya mengikuti cabang seni, dari Makassar menumpang pesawat Hercules C-130 TNI bersama almarhumah Ny.Hj Kusudarsini Amiruddin, istri Rektor Unhas ketika itu, Prof.Dr.A.Amiruddin. Naik Hercules tidak saja merupakan pengalaman pertama duduk berhadap-hadapan di pesawat tentara udara Indonesia itu, tetapi juga kesempatan pertama merasakan naik pesawat. (Habis kalau pulang ke dan dari Bima – dari Makassar --selalu naik perahu tanpa mesin berhari-hari, he..he..).

Kehadiran saya di Jakarta pada tahun itu, selalu menjadi kenangan manis dan juga buruk. Kenangan manis, karena pertama menginjakkan kaki di ibu kota negara, mengunjungi beberapa objek penting seperti, LubangBuaya, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan menginjakkan kaki di Gedung RRI Pusat Jakarta, tempat lomba paduan suara dilaksanakan. Tidak hanya itu, saya pun ditawari pindah kerja sebagai wartawan Harian Suara Karya di Jakarta (tinimbang di Makassar sebagai koresponden untuk Sulawesi Selatan). Tawaran itu datang dari senior media itu, Leo F.Runkat. Ajakan itu saya tolak, sebab saya sudah berkeluarga dan tidak siap menghadapi belantara hidup di ibu kota. Meskipun istri saya orang Bugis yang terbiasa merantau, tetapi rasa-rasanya tidak siap mengikuti perantauan saya yang kedua kali.

Pengalaman buruk, karena pada kunjugan tahun itulah pertama kali saya dicopet di bis kota. Kisahnya lucu. Ketika turun dari bis kota bersama keluarga, Ibrahim A.Rahman yang tinggal di Jakarta, di halte Pancoran, kami turun bersama penumpang lain yang berdesakan mengkahiri perjalanannya dengan bis kota sore itu.

‘’Kasihan orang tadi, dia dicopet,’’ terdengar suara Ibrahim memberitahu, ketika kami berjalan menuju sebuah jalan sempit menuju rumahnya menjelang magrib.

‘’Kok tidak ditegur dan pemiliknya diberitahu?,’’ kata saya.

‘’Wah, bikin masalah saja. Di Jakarta ini orang pada cuek saja melihat sesuatu, apalagi menyaksikan tindak kejahatan,’’ sahut Ibrahim lagi.

‘’Oh,.. begitu, ya, Jakarta. Kalau di Makassar ceritanya bisa jadi lain. Kalau orang yang lihat berteriak, tanggung pencopetnya babak belur dihakimi,’’ saya menjelaskan.

‘’Lain Jakarta, lain Jakarta. Begitulah gaya hidup ibu kota,’’ Ibrahim menambahkan.

Mendengar penjelasan rekan dan keluarga yang pemilik nomor stambuk 2 (saya stambuk nomor 25) di sekolah dasar yang sama-sama kami masuki 1 Agustus 1960 di Desa Kanca Monta Bima, saya melangkah kaki dengan diam mengikuti arah jalannya. Tiba-tiba tangan kanan-kiri saya seperti termagnet untuk merogoh kantong. Astaga, ternyata uang kecil yang terbagi di dua kantong celana itu sudah raib.

‘’Wah.. ternyata saya juga jadi korban,’’ kata saya.

‘’Korban apa?,’’ Ibrahim balik bertanya.

‘’Korban copet!’’.

‘’Berapa yang hilang,’’ dia terus mengusut.

‘’Sedikit, hanya uang bis kota,’’ balas saya dengan perasaan sedikit tidak nyaman. (Karena membayangkan akan jadi korban pencopetan lagi jika naik bis kota. Maka, sejak itu, setiap ke Jakarta saya selalu naik taksi. Berharap irit, nanti bisa dikuras pencopet).

‘’Yang banyak, saya sudah amankan di balik kaos kaki,’’ saya menjelaskan lagi.

‘’Untung ya.. ada yang disembunyikan di tempat yang sulit,’’ sambil tertawa Ibrahim menimpali kalimat saya.

Flight zero

Pengalaman naik pesawat Merpati ketika aktif meliput di lapangan sebagai wartawan Harian Pedoman Rakyat, susah saya hitung. Baik itu menumpang pesawat twin outer, Casa 212, Vickers Viscount/Vanguard, F-28 (ketika dalam penerbangan perdana Makassar-Tawau Malaysia tahun 1995) hingga Boeing. Namun yang ingin saya ungkit kembali adalah pengalaman menumpang pesawat buatan China MA 60 pasca kecelakaan pesawat jenis yang sama di perairan Kaimana tahun 2011. Kecelakaan yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat itu, kemudian menimbulkan polemik soal kelaikan terbang pesawat tersebut saat pembelian awal. M.Jusuf Kalla ketika menjabat Wakil Presiden RI menolak pembelian pesawat tersebut, karena diragukan kecanggihan teknologinya.

Gagal Lepas Landas

Hari itu, akhir tahun 2011, saya hendak terbang ke Bima melalui Denpasar, sebelum ada penerbangan langsung dari Makassar ke Bima. Tujuannya, mengumpulkan informasi untuk penulisan buku Pak Kiai. Jika lewat Denpasar, saya harus menginap semalam di pulau wisata itu, karena penerbangan dari Makassar tidak pas connect dengan pesawat yang ke Bima pada pukul 10.00 lewat sekian menit pada hari yang sama.

Pagi hari, seperti dijadwalkan, pukul 10.00 pesawat MA 60 Merpati akan meninggalkan Bandara Internasional Ngurah Rai menuju Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima.. Lama penerbangan sekitar satu jam. Pesawat sudah bergerak menuju landasan pacu sebagai persiapanmeluncur kencang dan terus mengangkasa. Ternyata setelah meninggalkan ujung landasan pacu, suara mesin MA 60 tersebut tidak juga bergemuruh keras sebagai indikasi bahwa pesawat akan meluncur kencang dan siap mengangkat roda-rodanya dari landasan.

‘’Fligth zero-flight zero,’’ terdengar suara dari salah seorang pria berseragam putih hitam yang duduk di kursi ujung belakang, berseberangan dengan dua gadis Jepang yang sedang magang jadi pramugari di pesawat itu. Pria itu ternyata teknisi pesawat.

Setelah terdengar kalimat dalam bahasa Inggris tersebut, pesawat tetap bergerak, tetapi lambat dan siap menuju kembali ke tempat parkirnya. Bersamaan pula terdengar informasi dari pilot bahwa pesawat mengalami sedikit gangguan teknis dan memerlukan waktu sekitar 1 jam untuk memperbaikinya.

Pengalaman gagal take off dengan Merpati di Ngurah Raih ini belum seberapa ‘’mengerikannya’’ jika dibandingkan peristiwa yang sama saya alami di Bandara Juanda Surabaya, akhir tahun 2009. Hari itu, saya dari Makassar hendak ke Banjarmasin, mengikuti Rapat Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negeri (BKS PTN) se-Indonesia Bagian Timur di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin. Ketika itu, belum ada penerbangan langsung dari Makassar ke Banjarmasin. (Kini pun diterbangi Merpati dan saya tidak tahu pesawat perusahaan mana yang mengisi rute itu setelah pesawat Merpati seluruhnya di-grounded).

Sore hari dari Juanda Surabaya saya menumpang pesawat Wing, anak perusahaan Lion Air. Pesawat yang digunakan adalah tipe Fokker 100 yang ramping. Di atas pesawat, selain saya, yang masih diingat, ada Prof.Dr.H.M.Natsir Nessa, M.S. yang ketika itu menjabat Pembantu Rektor I Universitas Hasanuddin. Sesuai prosedur, setelah mengontak menara pengawas, si Wing pun minta izin siap take off. Dia pun meluncur menuju ujung landasan pacu. Beberapa saat dia mengambil ancang-ancang untuk meluncur bagaikan anak panas yang dilepas. Dia maju dengan pelan dan mulai sedikit kencang dan hingga menjelang ujung landasan sebelah sana, gemuruh suara mesinnya tetap saja datar-datar. Ada apa?

Gagal take off pertama, Wing kembali mencoba lagi. Bergerak ke ujung landasan pacu yang baru ditinggalkannya beberapa menit sebelumnya dengan gemuruh suara yang datar-datar saja. Dia mencoba. Sama lagi seperti pada ‘percobaan’ take off pertama. Akhirnya, pilot memutuskan kembali ke apron, bersamaan dengan pengumuman dari kokpit bahwa pesawat kembali ke apron, karena mengalami sedikit gangguan. Beberapa orang mulai menelepon keluarganya, mengabarkan pesawat sudah dua kali gagal take off. Beberapa penumpang tampak mukanya pucat. Saya sendiri tidak tahu seperti apa?

Setelah teknisi mengutak-atik suara gemuruh mesin pesawat mulai terdengar di apron. Itu kira-kira indikasi bahwa gangguan teknis sudah teratasi. Pesawat kembali menuju landasan pacu untuk ketiga kalinya. Dan, Alhamdulillah. Pesawat berhasil mengudara diiringi perasaan was-was dan khawatir saya yang sangat luar biasa bersama para penumpang lainnya, tentu.

Perasaan saya idem ditto (sama) ketika MA 60 kembali ke landasan pacu di Bandara Ngurah Rai setelah menghabiskan satu jam masa menunggu kami yang penuh dengan rasa cemas. Pesawat pun mengangkasa dengan sempurna, meskipun kaki saya terasa sangat dingin, berbeda dengan pada kondisi yang sama menumpang pesawat-pesawat lainnya. Pesawat mendarat dengan selamat di Bima. Dari Bima saya menelepon sepupu di Bali, Karim H.Yasin perihal kegagalan terbang Merpati itu.

‘’Pantas saja lama baru ada telepon,’’ kata Karim mendengar penjelasan saya.

Diary Pramugari

[caption id="attachment_309907" align="alignleft" width="300" caption="Pramugari Merpati melayani penumpang Bima-Makassar, 14 Januari 2013 "][/caption] Pada tanggal Januari 2012  saya ke Bima lagi  Sepanjang penerbangan saya mencoba menamatkan membaca sebuah buku yang saya beli di Jakarta. Judulnya Diary Pramugari.

Buku itu berisi kisah tentang tiga orang pramugari dengan karakter dan perilaku yang berbeda-beda. Pramugari pertama, seorang yang terlibat dalam pergaulan bebas dengan gaya hidup hedonisme. Pramugari kedua, bergaya hidup ‘semi modern’. Jika pacarnya menjenguknya, dia bisa meninggalkan rumah hingga menjelang tengah malam karena selalu menandangi tempat dugem. Padahal, keesokan harinya dia harus terbang. Pramugari ketiga, sedikit sok moralis, tetapi memiliki masa lalu yang kelabu membuat dia traumatis. Kisah yang dituturkan buku itu menarik dan terlalu panjang jika saya beberkan.

Ternyata sepanjang penerbangan yang hanya satu jam plus 10 menit itu, saya mampu menghabiskan sisa halaman yang belum dibaca. Saya sudah niatkan akan menghadiahkan buku ini kepada pramugari Merpati dalam penerbangan pulang Bima-Makassar, 14 Januari 2013, yang saya ikuti itu. Rupanya, salah seorang pramugari, berkulit hitam manis, sedikit tinggi, badan berisi, sempat melihat cover buku itu ketika saya pegang-pegang di kursi.

‘’Bagus bukunya, ya,’’ saya kaget mendengar suara sang pramugari itu yangbagaikan jalan masuk bagi saya menghadiahkan buku itu kepadanya.

‘’Iya, saya sudah menyelesaikan membaca buku ini. Dan, meniatkan menghadiahkannya pada pramugari Merpati dalam penerbangan ini,’’ kata saya.

‘’Aduh, senang sekali, Terima kasih,’’ sahutnya bersamaan dengan buku itu berpindah tangan.

Pada penerbangan 26 Agustus 2012  saya naik Merpati lagi.Tetapi dari Bima ke Makassar. Hari itu, saya dengan putra saya – Hery – hampir ketinggalan pesawat. Pasalnya, pesawat ‘kecepatan’ tiba di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin dan mempercepat keberangkatannya 15 menit, tepat pukul 08.00. Biasanya pesawat berangkat kembali ke Makassar pukul 08.15 Wita

Telepon genggam saya bergetar.Ternyata dari karyawan Bandara dan menyampaikan bahwa pesawat sudah akan berangkat.

‘’Bapak sudah di mana?,’’ tanya dia.

‘’Oh, sudah dekat. Di Doro Belo, Kira-kira satu kilometer dari Bandara,’’ jawab saya.

‘’OK, cepat, Pak, ditunggu,’’ katanya lagi.

Belakangan saya ketahui ternyata karyawan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin tersebut sempat mengontak Pak Hamdan Zoelva, sepupu saya. Menurut Hamdan, karyawan itu bertanya, apakah dua orang penumpang itu rombongan keluarganya dari Makassar?

‘’Oh.. iya. Itu keluarga saya yang mau ke Makassar. Tolong ditunggu,’’ pinta Hamdan seperti disampaikan kepada saya kemudian.

Benar, saya dan Hery penumpang terakhir yang naik. Kami duduk di kursi paling belakang sebelah kanan pintu masuk. Gara-gara dipercepat 15 menit, adik saya Sofwan yang memburu hendak menyalami saya tidak sempat tiba di bandara sebelum pesawat take off. Anak saya Hery, terlihat mencucurkan airmata sembari menutup mukanya, gara-gara tidak sempat lagi bertemu dengan sepupunya sebelum berangkat.

Saat pembagian snack, wajah yang pernah lihat ketika menerima hadiah buku pada saat penerbangan dengan MA 60 Makassar-Bima saya jumpai lagi.

‘’Sudah tamat membaca bukunya?,’’ tanya saya.

‘’Oh.. iya. Masih ingat. Terima kasih, sudah.. (maksudnya sudah tamat membacanya),’’ jawabnya.

Pramugari itu ternyata juga saya pernah jumpai di penerbangan  Merpati yang sempat gagal ''take off'' di Bandara Ngurah Rai yang saya ceritakan di awal tulisan ini.

[caption id="attachment_309908" align="alignright" width="300" caption="Pramugari Merpati menerima hadiah buku saya."]

13913594021059296486
13913594021059296486
[/caption]

Dia pun berlalu melaksanakan tugasnya melayani penumpang lain. Saya tidak tahu ke mana mereka mengabdi pasca pesawat-pesawat Merpati di-grounded.

Saya pun pulas, karena lima hari kunjungan (terlama setelah tahun 1981), terlalu capek mengisi masa libur pasca Ramadan yang dirangkaikan dengan peluncuran buku Pak Kiai, GURU, Tabib & Misteri Jin yang mendapat sambutan hangat di Bima. Saya harus tampil talkshow tiga kali (dua kali sebelum peluncuran dan sekali pasca peluncuran), yakni sekali di Stasiun Bima TV dan Café Juank dua kali.

Kini, Merpati mungkin saja tidak akan kembali melayani penumpang-penumpang setianya. Perusahaan penerbangan ini setengah abad kehadirannya di angkasa Indonesia dengan ikon ‘’Jembatan Udara Nusantara’’ telah menjadi ‘’pahlawan’’ bagi orang-orang kampung dan desa mengunjungi berbagai daerah di tanah air dengan jasa penerbangan yang terbilang terjangkau. Hanya ada ‘keajaiban’ dari pemerintah yang membuat Merpati kembali mengepakkan sayapnya di angkasa lagi….!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun