Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Beradaptasi atau Punah

1 April 2019   21:13 Diperbarui: 2 April 2019   12:34 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah menulis topik yang hampir serupa tapi tak sama. Judulnya adalah "Revolusi Industri 4.0, Ancaman atau Berkah?" Coba di klik di sini

Jika dalam ulasan sebelumnya membahas tentang manfaat dan dampaknya dari datangnya revolusi industri 4.0 . Tetapi kali ini saya ingin membagikan sharing dari para praktisi yang sudah bergelut dalam dunia start-up itu sendiri. Tidak ada teorinya, hanya perbincangan ringan yang sangat praktis yang terjadi di depan mata kita.

Sedikit mengulang tentang perjalanan revolusi industri dari revolusi industri 1 sampai 4.

Industri 1. (1784): Penggunaan mesin Uap

Industri 2 (1870): Mesin Produksi Massal Tenaga Listrik/BBM

Industri 3 (1969): Teknologi Informasi & Mesin Otomasi

Industri 4 (2011): Mesin terintegrasi internet

Saat dunia internet datang, pengguna internet langsung membludak dan selang hanya dalam beberapa waktu saja, bermunculan para start-start up baru. Para founder dan co-founder start up itu memulai bisnisnya dengan sesuatu yang dianggap solusi dari masalah warga. Sebagai contohnya, GoJek melihat kebutuhan transportasi yang cepat dan terjangkau.

Jika dulu transportasi hanya dilakukan secara offline dengan melakukan order. Lama sekali mendapatkan transportasi secara offline. Harganya pasti jauh lebih mahal jika menggunakan naik taxi yang notabene punya brand terkemuka. Tetapi dengan adanya internet, dibuatlah terobosan masalah dengan menciptakan aplikasi yang memberikan kemudahan. Platform bagi pengguna maupun untuk penyedia layanan jasa transportasinya itu adalah jalan keluarnya atau solusinya.

Dari pembicaraan informal dengan praktisi start-up baik itu dari bidang keuangan, jasa pembelian tiket, mereka berbagi banyak pengalaman sebagai praktisi terutama bagi generasi milineal yang sedang meniti karir untuk terjun di bidang IT, start-up.

Dunia start-up bukanlah seindah atau segampang seperti yang dibayangkan oleh mereka yang hanya melihat seperti Tokopedia atau Gojek yang sudah punya valuasi begitu besar. Pada awalnya, pasti mereka berjuang keras dalam pembentukan platform yang memang dapat diterima oleh masyarakat dan bermanfaat.

Adanya perbedaan visi dan misi antara founder dan co-founder, jadi rintangan pertama kalinya, apalagi jika keuangannya tidak kuat maka start-up itu akan gulung tikar. Pada tahun pertama biaya operasional maupun marketing meroket tinggi.

Untuk menambah "booster" kerja para millenial yang bekerja sebagai IT programmer, budget makan mereka itu sangat mahal sekali. Penyebab utama start-up mati adalah fundamental yang tidak kuat di bidang keuangan, teknologi dan marketing.

Jadi start up yang telah "growing" menjadi Unicorn seperti Gojek, Tokopedia itu bukan reprsentasi keberhasilan dari semua start up karena mereka itu hanya 10% dari start-up yang berhasil sedangkan sisanya, 90% adalah start-up yang mengalami kegagalan.

Seberapa penting peran teknology internet dalam revolusi industri 4.0?
Pak Juwono sebagai praktisi Financial Planner menganggap bahwa teknologi itu sebagai alat. Alat itu akan berguna apabila ditangan orang yang benar-benar dapat mengelolanya. Sebaliknya alat itu menjadi bumerang jika dia tidak berada di tangan orang yang tidak bisa mengelolanya.

Kesimpulannya semua teknologi itu bukan satu-satunya untuk meraih pencapaian bisnis atau karier, tetapi harus dipakai sebagai alat yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak.

Lalu apa hubungannya dengan para pekerja yang bukan milenial, buta tentang "coding" atau disebut generasi "old", apakah mereka bisa tergilas karena mereka tidak dibutuhkan oleh perusahaan lagi.

Jawaban dari Mas Natalie, co Founder dari Tiket.com: "Saya pernah mendapatkan atasan, CEO yang orangnya sudah tua sekitar 60 tahun dan tidak ada background pendidikan IT sama sekali. Pak X (orang yang direkrut sebagai CEO ) itu dianggap sebagai orang yang memiliki wisdom dalam pengalaman mengelola perusahaan. Pak X itu juga punya pola pikir atau mindset yang mau berubah tentang teknologi walaupun dia tak punya background IT".

Intinya bagi mereka yang bukan dari golongan milenial harus selalu bersedia untuk menjadi orang yang memiliki "wisdom" dan mindset yang mampu berubah dengan pesatnya sesuai dengan perubahan teknologi, jika kita tidak ingin tergilas dalam pekerjaan.

Banyak feedback tentang karateristik  milenial yang bekerja dalam bidang start-up, mereka itu adalah anak milenial yang beda sekali dengan mereka yang tergolong "old". Para milenial bekerja dengan kecepatan tinggi, tidak loyal kepada perusahaan, mengejar gaji tinggi dalam waktu singkat, expectacy tinggi terhadap atasannya untuk memiliki pengetahuan IT yang mumpuni dan waktu kerjanya flexible.

Dengan segudang ciri-ciri pekerja milenial, diharapakan para pekerja "Old" pun mampu merubah diri dengan mindset, wisdom dan coaching yang intensif sehingga tidak ada gap antara atasan non milenial dengan para milenial.

Pilihan selalu ada di tangan kita masing-masing, mau tergilas karena tidak berubah atau menerima perubahan dengan mindset terbuka dan wisdom yang disalurkan kepada para milenial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun