Mohon tunggu...
Haniffa Iffa
Haniffa Iffa Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan Editor

"Mimpi adalah sebuah keyakinan kepada Tuhanmu, jika kau mempunyai keyakinan yang baik kepada Tuhanmu, maka kau akan bertemu dengan mimpimu." #Haniffa Iffa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Merpati pun Menangis

11 Januari 2019   23:37 Diperbarui: 11 Januari 2019   23:57 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hajingfai.blogspot.com

"Cinta tak menyadari kedalamannya, sampai ada saat perpisahan"- Khalil Gibran,

Senin, 28 September 2015

Bukan tentang kehilangan, bukan pula tentang yang terhempas, tapi tentang bagaimana melepasnya pergi dengan ikhlas. Sebuah keyakinan dalam hati bahwa segala yang ditentukan-Nya adalah yang terbaik, terbaik, dan terbaik. Waktu yang hilang tak akan pernah kembali lagi, dan kita tak pernah tau apa yang akan terjadi satu detik yang akan datang. Iya, satu detik. Kehilangan yang sangat tiba-tiba membuatku belajar bahwa tiada sesuatu yang terjadi kecuali atas Kehendak-Mu.

Pagi itu, sekitar pukul 10.00 WIB, keranda mulai berangkat ke pemakaman. Tampak ramai kerumunan orang-orang yang hendak menghantarkan menuju peristirahatan terakhir. Suasana sangat ramai, namun terasa sunyi bagiku, sangat sunyi. Entahlah. Tak pernah sekalipun terfikir olehku bahwa hari ini akan terjadi. Sebelumnya, semua tampak baik-baik saja, sangat baik. Bahkan kemaren siang aku masih melihat senyum renyahnya ketika aku berpamitan untuk kembali ke Malang, dan kemudian tiba-tiba Tuhan menginginkannya kembali. Apalah dayaku yang tak mengiyakannya untuk pergi?

Tuhan, sungguh tiada daya dan kekuatan kecuali atas Izin-Mu. Semua Milik-Mu dan akan kembali Pada-Mu. Tak pernah sekalipun ku melihatnya menangis, namun ketika keranda mulai diangkat dan dihantarkan ke pemakaman, ku lihat matanya berkaca-kaca. Entahlah. Merpati pun menangis. Tak kuasa memandangnya, ku lari menuju padanya dan ku dekap erat-erat merpatiku.
"Mbah kung mboten tindak dateng sarean?" (Mbah kung tidak pergi ke pemakaman?) Beliau hanya menggelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Aku hanya bisa diam dan tak ingin melepas pelukannya.

Matanya yang berkaca-kaca adalah sebuah pertanda kerapuhan hati kehilangan belahan jiwa. Beliau yang sangat kuat tak pernah sekalipun meneteskan air mata. Ini adalah pertama kalinya ku lihat air mata membasahi pipinya. Sesekali beliau mengusap air matanya dengan surban yang diletakkan di bahunya, namun dengan cepat air mata itu telah mengalir kembali. Aku tak berdaya jika harus mengingatnya. Seorang suami yang sangat mencintai istrinya, sangat mencintai istrinya.

Mbah kung sangat kuat, sangat tatak melepas kepergian mbah uti, walaupun aku tak pernah mengerti seberapa kuat pondasi yang ada dalam hatinya. Ku gambarkan merpati sebagai lambang kesucian hati dan kemurnian jiwa. Tak pernah sekalipun ku melihatnya menangis, dan kali ini adalah untuk pertama kalinya air mata membasahi pipinya. Ku lepas perlahan dekapan sang merpati. Ku pandangnya, masih saja matanya memerah dan berkaca-kaca. Aku tak kuasa Tuhan, aku tak berdaya.

Masih terdengar lafadz Laailaahaillallah mengiringi jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir. Suaranya semakin keras terdengar. Ku ikuti iringan jenazah mbah uti menuju pemakaman keluarga yang ada di sebelah masjid yang berjarak sekitar 10 meter dari rumah. Keranda ditutup dengan kain berwarna hijau bertuliskan Laailaahaillallah, dibaluti dengan rangkaian melati yang menutup jenazah mbah uti (Hj. Siti Indasah). Di belakang, banyak sekali orang yang mengikuti. Seperti inikah jika hamba pilihan-Mu menghadap-Mu Tuhan? Begitu banyak orang yang merasa kehilangan, Aku tak ingin menangis, namun aku tak kuasa menahannya Tuhan, mengapa begitu cepat? Mengapa aku hanya menciumnya sekali saja saat aku berpamitan menuju kota perantauan.

Tolong, jangan katakan ini pertemuan kita yang terakhir. Ku hanya berharap kita bisa bertemu nanti, dalam reuni kampung akhirat di surga-Nya tanpa hisab. Mbah uti, tolong jangan katakan tiada lagi belaian manja yang biasanya ku dekap mesra padamu, tolong jangan katakan tak ada lagi senyum hangat yang membelai setiap tangisku, dan tolong jangan katakan kasih sayangmu akan terputus, karena melalui do'a-do'a terindahku, ku selalu ingin mendekapmu walau hanya dekapan batin yang bisa ku rasakan, namun ku harap kau selalu bahagia dengan Cinta-Nya yang begitu besar disana. Kenangan-kenangan yang bahkan sedikitpun tak mungkin untuk terhapuskan, akan kami bingkai dalam untaian cintamu yang begitu indah.

Minggu, 27 September 2015

Siang itu, seperti biasa ku berangkat ke terminal untuk kembali ke malang. Sekitar empat jam perjalanan dari Tulungagung ke Malang. Entahlah, sampai semester lima ini masih ada air mata setiap kali aku pulang dan kembali ke kota perantauan. Seperti biasa ku cium tangan mbah kung dan mbah uti sebelum aku berangkat. Tentu saja, pelukan ibunda selalu menjadi semangat untukku, meskipun jauh dari pelukan ayah, kasih sayang ibunda tak pernah kurang untuk melengkapi hari-hariku. Selalu ingat apa yang disampaikan ibunda, "tiada perjuangan tanpa pengorbanan". Kata-kata itu selalu memotivasiku untuk tetap semangat menimba ilmu meskipun jauh dari orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun