Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sopir Angkot dan Hukum Rimba di Jalan

25 Agustus 2025   03:16 Diperbarui: 25 Agustus 2025   03:16 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalanan di kota kecil mestinya jadi ruang berbagi, tapi kenyataannya seperti panggung besar tempat sopir angkot beraksi. Mereka melaju dengan keyakinan penuh, seolah aspal itu milik pribadi. Berhenti mendadak tanpa kode, ngetem di tengah jalur, bahkan saling salip seperti adu ayam jantan. 

Aturan lalu lintas yang rapi tertulis di buku hanya jadi pajangan; yang berlaku di lapangan justru hukum rimba: siapa berani, dia menang. Dan di situlah ironi terjadi-pengguna jalan yang sopan justru sering jadi korban.

Coba tengok di jam sibuk. Jalanan menuju pasar atau sekolah berubah jadi sirkuit liar. Satu angkot bisa bikin belasan kendaraan di belakangnya mengerem mendadak hanya karena ada calon penumpang melambaikan tangan. Belum lagi aksi zig-zag tanpa sein, bikin jantung pengendara lain meloncat ke tenggorokan. Kadang mereka berhenti tepat di mulut pertigaan atau perempatan, bikin arus kendaraan macet total. 

Anehnya, pemandangan ini dianggap lumrah. Aparat menutup mata, sementara pengendara sopan yang melanggar sedikit saja langsung kena tilang.

Ada yang bilang, "ya wajar, namanya juga sopir angkot, nyari makan." Dan memang, tak bisa dipungkiri, mereka mengais rezeki dari roda empat tua yang semakin tersisih oleh transportasi daring. Dari pagi sampai malam, duduk di belakang setir, menunggu rezeki yang kadang seret. 

Tapi yang bikin geram itu bukan sekadar cari nafkah, melainkan arogansi yang muncul di jalan-seakan mereka Raja Jalanan. Mau berhenti, sein kiri mendadak. Mau jalan, gas seenaknya. Sesama angkot bahkan bisa kejar-kejaran demi rebutan penumpang di jam sibuk, padahal yang jadi korban adalah pengguna jalan lain yang harus rela rem mendadak atau terseret arus kemacetan.

Di pertigaan depan Museum pun tak lepas dari ironi. Di situ, angkot ngetem sampai berjam-jam, memenuhi lahan parkir dadakan. Penumpang sudah jarang, tapi sopir tetap bertahan, entah berharap rezeki jatuh dari langit atau sekadar menunggu waktu berlalu. Kota terasa sesak oleh angkot yang tak bergerak.

Yang paling bikin jengkel adalah saat kita parkir atau berhenti sebentar, rasanya sepi-tak ada yang peduli. Tapi begitu mau jalan, tiba-tiba muncul sopir atau kenek entah dari mana, langsung melambai minta jalan, seolah mereka tadi ikut mengatur. Aneh, ajaib, sekaligus menyebalkan.

Obrolan warung kopi pun jadi pelipur lara sekaligus bahan tawa getir.
"Lha wong jalannya bapaknya, kok seenak udel ngetem di tengah jalan."
"Eh, kalau nggak gitu, nggak dapet penumpang, Bro. Mau makan apa anak-bini?"
"Terus kita yang hampir nyusruk gara-gara rem mendadak, siapa yang mikir?"
"Makanya naik angkot aja, biar nggak kesel."
"Hahaha... naik angkot? Ntar malah jadi penonton atraksi sirkus di jalan!"

Jalan raya akhirnya jadi buku terbuka, tapi hurufnya dibaca terbalik. Yang sopan disuruh minggir, yang liar malah jadi penguasa. Sampai-sampai ada kabar lucu beredar: "Breaking News: Jalur khusus pengguna jalan santun resmi ditutup. Mulai hari ini, hanya yang bisa ngetem sembarangan dan salip zig-zag berhak melintas tanpa hambatan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun