Teks & Foto Oleh: Dedy Zulkifli T
Kami baru tiba di Desa Kersik Tuo, Kab. Kerinci pukul sebelas malam. Udara yang dingin di tambah hujan yang mengguyur hampir di sepanjang jalan membuat badan letih tak terkira.Saya bersama tiga orang kawan yakni, Dejo, Ibid dan Sardi datang dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Dengan mengendarai sepeda motor kami menempuh waktu sekitar sepuluh jam. Mengingat malam yang sudah cukup larut maka di putuskan untuk mencari penginapan. Syukurnya ada kamar yang kosong dan tempatnya persis di pinggir jalan. Tanpa membuang waktu kami segera mengistirahatkan diri.
Pagi harinya, sekitar pukul enam, kami mulai bersiap-siap mengemas barang. Setelah itu kami pun mandi. Walau terasa dingin badan harus tetap dibersihkan mengingat pejalanan yang panjang kemarin. Usai sarapan, kami briefing sejenak dan kemudian melakukan senam pemanasan. Saat semua sudah dipastikan beres kami langsung beranjak menujugerbang pos Gunung Kerinci. Untuk ke sana perjalanan di perkirakan akan memakan waktu satu setengah jam.
[caption id="attachment_209816" align="aligncenter" width="448" caption="Gunung Kerinci di antara hamparan kebun teh"][/caption]
Gerbang Pos Yang Kosong
Di tengah perjalanan, saat memasuki perkebunan teh, seorang ibu menawari untuk menumpang di mobilnya. Kebetulan beliau hendak keladang dan jaraknya tidak jauh dari pos. Dengan suka cita kami pun melompat di bak belakang mobil. Hamparan kebun teh yang menghijau tak putus-putus itu menjadi sajian pagi yang paling indah. Sementara bayang-bayang Gunung Kerinci perlahan semakin menjelas. Pandangan saya terus saja mengamati puncak gunung yang begitu runcing. Dalam catatan, Gunung Kerinci adalah gunung tertinggi di Pulau Sumatera yang berada dalam katagori gunung api. Gunung ini berada di antara propinsi Jambi dan Sumatera Barat dengan ketinggian 3805 mdpl (meter dari permukaan laut). Melihat tingginya yang hampir mencapai 4000 mdpl tentu suhu di puncak sangat dingin. Ini yang membuat kami membawa beberapa baju dan jaket untuk mengantisipasinya.
Tiba di gerbang pos ternyata tidak ada petugas. Yang ada hanya coretan dinding dan ruang loket yang kosong. Kami lalu berjalan menyusuri jalan setapak yang merupakan jalur ke puncak gunung. Dengan melewati beberapa perladangan kami sudah memasuk pintu rimba. Seketika pohon-pohon besar hadir berdiri dan udara sejuk menyelimuti. Melihat hari yang cerah ini kami cukup senang, karena jika hujan turun, jalan yang lembek ini pasti merepotkan.
Seiring waktu berjalan, tanpa terasa peluh mulai mengucur, kami pun saling berpandangan dan tersenyum. Nafas ngos-ngosan yang meminta oksigen lebih jadi terlihat seperti atraksi yang lucu. Sesekali kami rehat di jalur sambil menikmati segarnya udara di bawah pohon besar. Saat tenaga mulai pulih, sesegera mungkin beranjak kembali melanjutkan perjalanan.
Kabut Di Jalur
[caption id="attachment_209817" align="alignright" width="101" caption="Sikatan Ninon"]

Menjelang siang hari, jalur pendakian mulai menanjak namun belum terlalu terjal. Tidak berapa lama kami tiba di shelter satu. Dengan bekal nasi dan lauk pauk yang di bawa dari penginapan kami menikmati makan siang dibawah pohon rindang. Suasana menjadi riuh saat beberapa burung saling berkicau dipohon. Bahkan burung-burung itu tidak takut mendekat. Saya bebarapa kali berhasil memotret burung tersebut. Pastinya ada dua jenis yang terekam dan salah satunya dapat diidentifikasi yakni Sikatan Ninon (Eumyias Indigo).
Usai makan siang, perjalanan di lanjutkan lagi. Sekitar satu jam berjalan vegetasi tumbuhan mulai berubah. Beberapa pepohonan mulai diselimuti lumut. Tidak lama kemudian mulai memasuki vegetasi perdu-perduan. Pepohonan ini walau batang dan cabang nya kecil namun keras dan sukar patah. Sesekali cukup merepotkan dan tak jarang cabang dan daunnya mengores kulit hingga berdarah.
Jalur pendakian terus menanjak, tanahnya pun mulai agak berpasir dan cukup keras. Namun begitu pohon-pohon perdu yang menyemak masih tetap ada di kiri kanan jalur. Tidak beberapa lama kabut mulai menyelimuti. Pandangan jadi terbatas padahal waktu masih jam tiga sore. Perlahan-lahan gerimis pun menjatuh. Kami mulai memakai jaket dan raincaot (jas hujan). Kini jalur yang kami lalui mulai memasuki semak-semak perdu yang tertutup. Seperti melewati terowongan sesekali kami membungkuk, bahkan juga harus memanjat dengan berpegangan pada akar pohon.
[caption id="attachment_209818" align="alignright" width="266" caption="Jalur menjelang Shelter Tiga"]

Summit Attack
Pukul lima sore kami mulai mendekati Shelter Tiga. Jalur yang di lalui sudah seperti parit dalam. Walau tidak ada hujan lagi, udara dingin sudah mulai terasa. Saat tiba di selter tiga, saya dan Sardi langsung mendirikan tenda. Lalu Dejo dan Ibid memasak air dan nasi. Saat tenda sudah berdiri kami mulai mengganti pakaian satu persatu. Shelter yang berada di ketinggian 3200 mdpl ini adalah persinggahan atau camp yang terakhir. Lewat shelter ini medannya yang ada berupa batu dan pasir. Disini ada beberapa tim pendaki yang sudah lebih dulu tiba, salah satunya tim dari wisatawanmanca negara yang di guide oleh orang lokal.
Usai makan malam kami pun mendiskusikan waktu yang tepat untuk summit attack. Akhirnya di putuskan jam setengah empat kami akan bergerak ke puncak. Kami lalu istirahat untuk memulihkan stamina. Jam tiga pagi, kami sudah bangun lalu sarapan dan minum teh manis hangat. Saat bergerak keluar tenda, Sardi memberitahukan suhu sudah mencapai tiga derajat celsius. Kami mengantisipasi suhu yang rendah ini dengan memakai beberapa lapis baju dan jaket. Tak lupa juga membawa kompor untuk memasak air didalam daypack yang saya panggul. Kemudian tenda dan segala perelengkapan kami tinggal di Shelter Tiga agar langkah jadi ringan.
Mengingat di puncak suhu akan semakin turun, tanpa malas-malasan langsung kami melangkah maju. Kami beruntung hari benar-benar cerah. Bahkan bintang-bintang terllihat sangat jelas. Namun sesekali asap belerang menguap. Kami pun kadang tersedak dan terbatuk dibuatnya. Dengan syal saya menutup mulut dan hidung. Disaat menjelang puncak jalur semakin terjal dan berpasir. Jika tidak hati-hati kaki dengan mudah bisa tergelincir.
[caption id="attachment_209821" align="aligncenter" width="296" caption="Panorama di Puncak Gunung Kerinci"]

Lava di kawah
Akhirnya kami tiba di puncak, hari masih belum terang. Namun secara perlahan-lahan warna kuning merah mulai muncul merobek batas cakrawala. Danau Gunung Tujuh mulai kelihatan membentuk siluet yangindah. Sementara awan tipis seperti sapuan susu halus menghias dibawah kaki kami. Perlahan-lahan kawah kerinci terlihat. Namun yang membuat saya terkejut adalah warna merah membara di dasar kawah. Saya melihatnya seperti terbius. Dalam pengalaman pendakian, baru kali ini melihat lava dengan kepala langsung. Bahkan saat Gunung Sinabung meletus dimana saya sempat beberapa hari disana untuk mengabadikan letusannya tak terlihat setetes pun lava yang mengalir. Namun kini di depan saya lava merah membara itu hadir nyata. Saya mengutuk, karena tidak membawa tripot. Karena saya yakin saat hari terang lava ini tidak akan kelihatan. Kemudian saya minta Dejo membantu memegang kaki saya, karena kamera akan saya letakkan di pinggir kawah. Dengan perhitungan sekedarnya, kamera saya set dengan timer. Setelah tiga kali jepret dengan kecepatan rendah mencapai 30 detik, akhirnya didapat juga dua frame foto lava. Walaupun hasilnya tidak maksimal namun saya culup senang karena bisa mengabadikannya.
[caption id="attachment_209822" align="aligncenter" width="307" caption="Lava di dasar kawah Gunung Kerinci"]

Pengalaman ini tentu tidak akan saya lupakan. Saya merasa beruntung bisa melihat dan mengabadikan lava di Gunung Kerinci ini. Namun begitu, hati kecil saya juga merasa gelisah. Bukankah ini berarti Gunung Kerinci akan menjadi ancaman nyata bagi orang-orang yang tinggal dan hidup di sekitarnya? Karena menurut kawan yang pernah mendaki gunung ini sebelumnya, dia belum pernah melihat lava didasar kawah. Yang ada hanya belerang yang berwarna kuning kehijauan. Ini berarti adanya peningkatan aktifitas gunung, dimana seharusnyamenjadi indikataor untuk lebih mengawasinya dengan ketat.
Kami mulai berkemas turun saat waktu sudah mulai menunjukan pukul delapan. Saya mencoba melongok kearah kawah dan memang sudah tidak kelihatan warna merah membara, yang tinggal hanya asap putih yang mulai menebal. Salah seorang angota tim lainnya dari Kota Jambi mengingat kan untuk tidak terlalu siang berada di puncak. Hal ini karena asap belerang bisa naik dalam jumlah dan kadar yang sangat berbahaya. Saya pun kebetulan sudah selesai mendokumentasikan foto di puncak. Maka kami langsung berjalan menuruni jalur yang terjal dan berbatu, walau masih jam 8 matahari sudah terasa menyengat.
[caption id="attachment_209823" align="aligncenter" width="317" caption="Jalur turun"]

Di shelter tiga kami sedikit agak bersantai, sambil berkemas saya mencoba mendiskusikan tentang lava yang ada di kawah dengan anggota tim lainnya. Di antara mereka yang pernah beberapa kali mendaki Gunung Kerinci mengatakan ini adalah yang pertama di lihatnya. Saya pun juga belum pernah membaca literatur tentang lava di kawah kerinci sebelumnya. Namun begitu letusan terakhir tahun 2009 bisa jadi memicu terbentuknya kubah lava ini.
[caption id="attachment_209824" align="aligncenter" width="314" caption="Kondisi Puncak Kerinci yang gersang dan bebatuan"]

Tidak beberapa lama, Dejo dan ibid sudah terlihat selesai berkemas. Sementara saya dan Sardi tinggal memasukan beberapa barang lagi. Satu persatu tim mulai bergerak turun dari shelter tiga. Terakhir kalinya saya menatap kearah puncak, asap putih tebal membumbung tinggi ke langit. Kami pun akhirnya meninggalkan gunung yang sangat indah ini dengan cerita dan pengalaman yang ada di kepala masing-masing.
Kerinci, 5 - 6 Sep 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI