Mohon tunggu...
Dany Novery
Dany Novery Mohon Tunggu... -

sedang menyelesaikan Study di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. email: danynovery@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dibawah Menara Fathimiah: (Part 2)

30 Januari 2017   17:58 Diperbarui: 30 Januari 2017   19:09 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Meski jauh dari kuliyah, murahnya harga sewa menjadi alasan utama tinggal ditempat ini. Tempat yang menghubungkan banyak destinasi seperti al-Azhar dan Ramsis, pusat transportasi Cairo.

Taksi berbelok kekanan dan sampailah pada sebuah keramaian manusia dari berbagai latar belakang ekonomi. Suq Asir, atau pasar Hay el-Asir orang menyebutnya. Pasar yang menyediakan barang-barang konsumsi pakaian dan  sayur mayur; seperti  gargir, sabaneh, khos[3]dan lain-lain.

Hanya beberapa ratus meter setelahnya terdapat sebuah persimpangan kotor dengan gunungan sampah yang berserakan. Tempat itu disebut Madrasah. Sebuah gang dengan Mahattah[4] kecil tempat orang menunggu kendaraan, juga seorang wanita bersuara lantang menawarkan roti Isy[5]dihadapanya kepada orang yang lalu, ditemani seorang anak kecil tanpa celana yang tak henti-henti meminta pulang. Isy merupakan makanan pokok rakayat Mesir. Roti bulat berukuran  piring yang terbuat dari gandum.

Didalam sanalah bakal tempat tinggalku. Pada sebuah gang sempit cukup gelap dengan kotak sampah raksasa yang siap menyambut siapa saja. Lorong yang menjadi tempat lalu lalang warga sekitar juga Baqiak; gerobak kecil yang ditarik seekor keledai naas dengan lelaki kurang gizi diatasnya; membawa barang rongsokan, sayur-mayur, atau tong gas. Meski kawasan kumuh namun penduduk sekitar sangat ramah dan islamis. Berkali-kali mereka mengucapkan salam kepada kami yang ada didalam taksi;

Ahlan wa sahlan fi Misr![6]

Diujung gang terdapat sebuah Imarah berlantai lima yang cukup asri berwarna coklat, dengan arsitek dan ornament timur tengah yang sedikit berbeda dari lainya. Lantainya berkeramik juga pintu yang merupakan gerbang besi berseni rumit. Didepanya berdiri sebuah masjid kecil yang tumbuh didepanya pohon zaitun penuh dengan sekumpulan gagak menjelang mahrib.

Disitulah kami tinggall.  Imarah lantai lima tanpa lift.

Anak-anak bawab,[7] warga miskin, atau sejenis mereka yang putus sekolah kerap  bermain bola dibawah Imarah. Mereka memiliki segala-galanya yang tak dimiliki kaum terpelajar. Otot kuat, kaki keras, dan naluri hutan yang ganas. Memiliki kekuatan alami berupa tendangan yang sangat brutal adalah cirri-ciri mereka. Kuatnya minta ampun, sekali tendang bola bisa masuk kebalkon rumah kami.                                                                                                                    

Bersambung........

**************

[1] Apa Kabar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun