Mohon tunggu...
Dany Novery
Dany Novery Mohon Tunggu... -

sedang menyelesaikan Study di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. email: danynovery@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dibawah Menara Fathimiah (Part 1)

29 Januari 2017   21:04 Diperbarui: 29 Januari 2017   22:54 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

                                                                                                                                  Diplomasi Bandara

                                                                                                                                                                                            “Hal-hal spektakuler tidak datang dari zona nyaman”

        Sore itu aku berdiri diantara koridor bandara Soekarno-Hatta, tempat yang diluarnya  baru saja hujan turun dari tempat paling tinggi dibumi. Rinai gerimis masih tampak samar ketika sekelompok orang sial dibelakang halte menyelamatkan diri dari ganasya renyai dipenghujung mahrib. Hanya aku yang tetap disana, ditempat paling mendebarkan sambil mengharap sesuatu terjadi dari langit ketujuh.

Disisi yang berbeda, seorang remaja tanggung berwajah tirus tertunduk lesu. Duduk disampingnya lelaki kurus beraut cemas yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tubuhnya bergetar sambil tangan lemasnya memeluk sosok putus asa disampingnya. Sesekali matanya melejit mencari sesuatu. Hatinya berdebar-debar, serta nafasnya tak teratur menanati jawaban Tuhan dihari sabtu. Takdir yang akan menentukan masadepan anak satu-satunya.

Kekawatiran mereka sama dengan pemuda yang tak bosan mengulang zikir dibelakangku. Hatinya getir juga perasaan yang sulit ditafsirkan; antara takut atau menyesali keputusan gilanya berhenti kerja dipabrik tebu untuk mengantarkanku Jakarta. Satu-satunya pekerjaan buruh lepas dengan gaji tak menentu sedangkan dapurnya menuntut segala hal untuk hidup. Demi aku, adiknya yang dianggap punya masadepan sedikit cerah untuk keluar dari lingkaran setan. Kemiskinan.

Tangan cemasnya mengelus pundaku beberapa kali sambil membisikan kata semangat. Bibirnya komat kamit berdoa apapun yang terjadi semoga aku tetap tabah. Sesekali matanya menatap jauh kesana, pada sebuah tempat penyelamat didetik-detik menegangkan. Berharap lelaki tua berhati baik itu datang membawa kabar ajaib. Pintu check in.

“Gate akan segera tutup setengah jam lagi, pak Malvin belum juga keluar,”  ucapnya semakin tipis harapan.

Aku dan Ayash, sosok yang sedari tadi terdiam bersama ayahnya semakin gusar.

Pak Malvin adalah rencana Tuhan yang disiapkan untuk kami. Satu-satunya pria tua berhati malaikat yang tak tega melihat dua anak muda hampir kehilangan masadepanya. Ia berjanji akan mengusahakan sesuatu sesaat setelah kami diusir imigrasi bandara. Meski hanya bekerja sebagai porter angkut barang yang rizkinya ditentukan lewat kapan turunya pesawat, namun hanya itu satu-satunya harapan kami.

Ada dua alasan mengapa kami ditolak terbang; yang pertama visa kami  turis namun tak memiliki tiket kembali ke indonesia. Yang kedua; tidak ada riwayat bepergian kemanapun dalam paspor, sehingga seorang petugas imigrasi yang nampaknya gagal sekolah akhlak terang-terangan menyebut kami kampungan yang hendak menjadi TKI di Mesir. Hanya Tuhan yang tahu betapa sakit hatinya kami.

Seorang lelaki beralis tebal, berpakaian dinas bandara berkali-kali datang dan menyarankan sebaiknya kami pulang saja. Hidup di Indonesia akan lebih nyaman ketimbang di Afrika. Ia tidak pernah tahu bahwa gagal terbang telah melukai perasaan keluargaku, juga menghancurkan harapan orangtua disampingku.

Aku dan Ayash merupakan dua pelajar lulusan Madrasah Aliyah di Lampung, yang nekat pergi ke Mesir untuk kuliyah. Bukan karena mendapat beasiswa, melainkan karena selalu gagal seleksi beasiswa di Depertemen Agama, Jakarta. Rasa putus asa itu yang memberi kami jalan. Seseorang di Cairo menyarankan menggunakan visa turis untuk datang ke Mesir. Ia menjanjikan kuliyah di al-Azhar dengan syarat masuk terlebih dahulu kesekolah internasional yang akan membuka pintu sejarah cerita ini. Sekolah yang kamipun tak tau apa namanya.  .

Negri Kinanah adalah cita-cita kami sejak bangku Tsanawiyah. Alasan inilah yang membuatku menolak jabatan mandor diperkebunan kelapa sawit dikampung. Ijazah SMA setingkat dengan Menteri, mengingat mayoritas burunhya tidak tahu apa itu sekolah. Aku menolaknya hanya karena yakin bahwa aku bisa lebih baik lagi ketimbang menghabiskan umur dengan berkebun.

Berbeda dengan Ayash yang mendapat beasiswa program sarjana Biologi Universitas Lampung, dengan berbekal nilai ujian nasional terbaik se-Propinsi. Namun ia menolaknya demi menunaikan mimpinya sejak kecil bisa kuliyah dibumi seribu menara. Banyak yang menyayangkan keputusan gilanya. Namun ia bisa lebih gila andaikata mati tanpa pernah meminum air sungai Nil.

“Ting..Tong!” Panggilan terakhir untuk penumpang Jakarta-Cairo.”

Operator bandara memberi peringatan terakhir.

 Keadaan semakin panik. Pak Malvin tak kunjung keluar. Kami semakin realistis dengan waktu. Secara matematis sulit terjadi keajaiban yang hanya menyisahkan waktu normal sekitar seratus delapan puluh detik. Kegagalan terbang bertanda kiamat kecil juga kerugian materi yang sangat besar. Tiket ini merupakan hasil sepuluh tahun keringat orangtuaku menyadap getah diperkebunan karet milik PTPN.

Lain cerita dengan Ayash. Sebagai anak tunggal harapan orangtuanya, gagal terbang bertanda sangat pahit. Hidup akan menggariskan takdir baru bahwa ia akan kembali kepasar bersama ayahnya menjajakan kerambil[1]dipasar Gedong Tataan.Semua harta benda  habis untuk membeli tiket pesawat.Tak ada sekolah lagi untuknya.

Waktu menunjukan pukul 17:35. Petugas melirik jam tangan bertanda batas terakhir telah tiba. Perlahan-lahan ia menarik papan penutup. Saat itulah aku merasa dunia telah berakhir dengan sangat menyedihkan.

“Pak Malvin!” Teriak Ayash girang. Sosok yang dinanti-nanti itu pontang-panting berlari kearah kami dari pintu check insambil menunjukan paspor. Ia menahan petugas beberapa saat untuk tetap membuka pintu   sambil tanganya melambai-lambai kearah kami. Aku dan Ayash sontak berlari bak dikejar macan untuk segera melakukan boarding ke pesawat, meninggalkan dua sosok pria dibelakang sana yang menangis haru belum percaya.

Selamat tinggal Indonesia!

Sekenario Tuhan begitu sempurna

BERSAMBUNG...





[1] kelapa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun