Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Senyum Itu Disimpan Saja

30 April 2021   10:56 Diperbarui: 30 April 2021   10:59 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Lukisan Ahmad Dahri

Aku mencintai Fia, pun sebaliknya. Hubungan ini sudah berjalan tahun ke tiga. Pesantren menjadi tempat di mana segala pengetahuan tumbuh dan disebarkan. Salah satunya tentang cinta. Nafsu? Siapa yang tidak punya nafsu di dunia ini? Selagi masih memiliki jiwa hewani maka manusia manapun pasti memiliki nafsu.

Begitu juga aku dan Fia.  Tidak akan muncul rasa cinta dan sayang kalau nafsu itu tak membersamainya. Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu, tepat Ketika ia diminta oleh salah satu kakak senior di pramuka untuk ikut menjadi panitia persami (perkemahan sabtu minggu) di sekolah binaan ekstrakurikuler pramukan MAN Satu Putat.  

Sejak saat itu, kami mulai akrab dan saling bertukan nomor hp. Setiap malam, selepas mengaji atau menjelang tidur, kami sempatkan untuk berbalas pesan, kadang waktu telponan, saat itu operator juga mendukung dengan memberi fasilitas paket satu nomor telpon bisa gratis ke lima nomor lain sesame operator.

Liburan pondok, kami isi dengan berbalas pesan, jika dikumpulkan mungkin akan menjadi satu buku tebal. Tiada hari tanpa berbalas pesan dan berkabar menjelang tidur, kadang sampai ketiduran pas lagi telponan. Perjalanan cinta yang sederhana, namun menyenangkan. Tiba-tiba kangen, rindu membuncah, senang kegirangan selepas menelpon atau membalas pesannya. Terbayang-bayang, mengangan-angan kedepan, dan anda pasti pernah mengalami apa yang disebut "cinta monyet."

__________

Selepas ia menyelesaikan jenjang aliyahnya, ia melanjutkan kuliah ke salah satu kampus ternama di Malang. Sebut saja UIN. Dari mulai pendaftaran, mengantarkan tes dan mencari keperluannya saat di Ma'had aku lakukan tanpa beban, melihat ia bahagia, kebutuhannya terpenuhi, itu saja sudah membuatku tenang.

Jarak dari pesantrenku ke Kampusnya sekitar tiga puluh kilometer, tetapi bertahun-tahun aku jalani untuk bertemu dengannya di waktu senggang, makan bersama, pergi ke toko buku, ke Batos, Coban Parang Tejo, dan mendaki gunung ke Panderman. Perjalanan cinta itu membuat kami saling mengenal satu sama lain. Sehingga memantapkan diri untuk ke jenjang lebih serius.

Aku memberanikan diri untuk mengajaknya menikah, selepas ia lulus, di kuliah tahun ke duanya, aku juga sudah bekerja di salah satu penerbitan di Malang, di samping juga berjualan buku online maupun offline. Selepas boyong dari pondok, dan lulus dari Kampus, aku mencari pekerjaan di malang, di samping biar dekat dengan Fia, pun karena bidang yang aku gemari adalah perbukuan.

Sehari-hari di depan komputer, mengedit beberap naskah, mempostk buku baru di salah satu media jual beli online, bazzar di alun-alun bundar, dan makan bersama Fia.

Fia mengiyakan ajakanku untuk menikah, bahwa saat liburan semester aku pergi ke rumahnya dan membicarakan langsung dengan Abahnya. Beliau menanggapi positif, walaupun belum benar-benar jelas merestui hubungan itu. Tetapi tampak dari gelagatnya ia menyetujuinya.

Sejak saat itu, aku juga membicarakan niatku dengan kedua orang tuaku, mereka juga menyerahkan kepadaku, "Asal kamu tidak menyia-nyiakan anak orang, itu saja pesan Bapak." Sambil menghisap dalam-dalam kreteknya.

____________

Anda boleh memilih siapa saja untuk dicintai, tetapi tidak untuk hidup bersama. 

Begitulah kata para cendekiawan, tetapi tidakkan bisa manusia berencana? Agaknya manusia diberi hak untuk itu. Tetapi memang benar, rencana manusia kadang terlampau jauh dengan rencana Tuhan, yang ujug-ujug mengagetkan kita, membuat kita lemas seketika, tapi juga terbang kegirangan seketika itu juga.

Sampai akhirnya saudara Fia angkat bicara tentang hubungan kami. Fia harus focus kuliah terlebih dahulu, kerja, membahagiaan kedua orang tua, baru menikah. Begitu juga buleknya, yang kabarnya juga dekat dengan Fia, ia juga memberi nasihat yang sama. "Nikah itu perkara serius, jadi harus dipikir serius, bulek saja sampai hari ini belum menikah, karena bulek belum merasa serius dan belum merasa mampu untuk itu, jadi dipikir saja dulu mateng-mateng." Fia pernah membahas ini Ketika kami sedang beli bakso di dekat Pasar Merjo sari.

Bakso itu ramai dikerubungi mahasiswa-mahasiswi. Murah, porsinya juga lumayan mengenyangkan. Cukup untuk mengganjal sampai malam. Di sanalah salah perbincangan mulai serius, mulai saling adu argument, saling memberatkan, dilemma, ngeman, dan pasrah. "Wis dijalani saja dulu." Ujarku padanya.

______________

"Rejeki itu sudah ada yang ngatur, manusia tugasnya Cuma berusaha," pesan Pak Ustad Mundzir kala mengisis pengajian pagi. Fia membagikan rekaman itu kepadaku. Dan masuk akal, dari san akita menjadi semangat lagi untuk membicarakan sekali lagi dengan keluarganya. Ibuku juga pernah menanyakan kesiapanku, dan aku menjawab dengan mantap bahwa aku siap menikah. "Ya wis, ibu Cuma bisa berdoa." Sembari mengelum rambutku.

Pekerjaanku, gajiku, dibilang paspasan juga tidak, nyatanya bisa menyisihkan beberapa dalam satu bulan untuk kutabung. Fia juga mengetahui itu. Dan membuatnya optimis. Namun kecintaan keluarga itu kadang membuatnya menangis dan tiba-tiba membuat dadanya sesak, dan beberapa saat suara ditelpon terhenti, setelah agak reda ia melanjutkan pembicaraannya denganku.

Hari-hari setelah pertemuan dengan Abahnya yang kesekian kali menjadi semakin serius, penuh sesak, penuh dengan argument-argumen saling menyalahkan dan membenarkan. Fia sering menangis, bahkan isaknya menempel di bajuku, saat ia bilang bahwa kakaknya tidak menyetujui hubungan kita. Abahnya tak bisa berkutik dengan sikapnya, setelah kakaknya sukses, beberapa kebutuhan keluarga ia sokong, bahkan paman dan bulik-buliknya sering dikirimi parsel Ketika ia pulang dari Sidoarjo.

Menurutnya, kebutuhan akan terus bertambah dan meningkat, pekerjaan dan gajiku belum dikatakan cukup dan siap untuk sebuah "Pernikahan". Suatu Ketika HPku tiba-tiba sibuk dengan beberapa panggilan dan pesan singkat. Aku tak tahu dari siapa, nomornya asing. Tetapi dari kata-katanya aku paham, pesan itu dari kakaknya Fia.

Ia memintaku untuk menjauhinya, dengan alasan yang menurutku tak masuk akal. Fia tak boleh keluar dari rumahnya, ia harus membantu Abah dan ibunya. Setelah aku tanyakan ke Fia ternyata benar, alasan itu yang menjadi penguat argumennya untuk menolakku menjadi bagian keluarganya. Abahnya pun berkata demikian. Saat itu aku tak kuasa menahan sakit. Dada terasa sempit, namun tetap ku jaga konsentrasiku mengemudi motorku. Ramadhan kala itu, menjadi saksi sesak dadaku, sejak saat itu, Fia tidak bisa dihubungi. Setelah aku tanyakan ke beberapa saudara sepupu yang kebetulan aku mengenalnya, Fia ikut kakaknya ke Sidoarjo. Tetapi ada yang bilang ia ganti nomor dan menjadi guru di sekolah dekat rumahnya. Ada juga yang bilang, kalau bisa tak usah mengusiknya lagi, fokus dengan jalannya masing-masing.

_____________

Rasa sakit aku simpan sendiri, senyum yang beberapa tahun lalu mengembang, terpaksa aku simpan untuk selamanya. Kenangan itu terbonsai indah di antara ragam cerita yang akan kuukir ke depan. Saat itu kuputuskan untuk belajar lagi, Jogja, Bandung dan Bali adalah tiga tempat yang menjadi persinggahanku. Ada ragam alasan aku ke sana, di samping belajar tentang hidup, juga upaya untuk melupakannya. Namun semakin keras usaha untuk melupakan, semakin besar dan lekat ingatannya.

Beberapa tahun kemudian aku mendengar, Fia sudah menikah, ia hidup bahagia, kebutuhannya tercukupi, tak kekurangan satu apapun. Kabar dari salah satu temanku yang menjadi tetangganya, kehidupan keluarganya juga berubah, sekarang lebih mentereng, rumhanya, mobil dan beberapa kebun cengkeh dibeli oleh suaminya. Aku bersyukur karena ia mendapatkan suami yang praten dan pengertian. Paling tidak ia dijaga dengan baik oleh lelaki yang beruntung itu.

Namun rasa syukurku tiba-tiba berubah menjadi umpatan tak berkesudahan, setelah mendengar cerita dari kakak sepupunya, kebetulan aku sering bertemu, karena anaknya sekolah dan mondok di Lembaga yang aku menjadi guru di sana. Aku tak melihat kebohongan di mata sepupunya itu, ia sampai menangis Ketika bercerita tentang Fia sekarang.

Fia menikah dengan perjodohan, suaminya terpaut sekitar duapuluh tahun dengan Fia. Ia tak bisa kemana-mana, hpnya juga selalu diawasi, jangankan ke pasar, kerumah saudaranya yang jaraknya sepelemparan batu dari rumahnya dibuntuti oleh suaminya, beberapa kali bertengkar dan, pertengkaran itu membuat Abahnya Fia kepikiran, ia sakit drop, dan tidak lama kemudian meninggal. "Fia seperti terpenjara, pernah suatu hari Fia bererita kepadaku, bahwa bukan kemewahan atau kebutuhan yang tercukupi yang ia cari, ia mencari ketenangan dalam keluarganya, sambil meneteskan air mata, ia mengatakan bahwa ia ingin menyerah." Ucap sepupunya.

Hatiku pilu mendengarnya, aku merasakan sesaknya, aku merasakan kesedihannya, ia bukanlah burung yang indah yang harus dikurung di sangkar berbalut emas, ia bagaikan burung yang indah warnanya dan kicaunya yang merdu dan terbang bebas, seharusnya.

Aku mengumpat sejadi-jadinya, lalu terucap doa yang kemudian membuatku menyesal. Dan tidak perlu do aitu aku ceritakan. Aku sadar, bahwa manusia boleh berencana dengan baik, tetapi apakah rencana itu memberi kebaikan? Belum tentu juga. Maka benar jika dikatakan bahwa seindah-indahnya rencana manusia, masih terlau indah rencana Tuhan. dan agaknya Cinta itu akan menjadi penuh sesak, ketika cinta itu berlebihan. []

Rumah Jogo kali, 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun