Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Corona dan Pendidikan Keluarga

3 April 2020   22:21 Diperbarui: 3 April 2020   22:48 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas.comSumber: Kompas.com

Covid-19 benar-benar menyita ruang dan waktu yang sudah menjadi kebiasaan. Perubahan pola sikap, antisipatif, jaga jarak, bahkan menjadi pribadi yang tiba-tiba tertutup. Hampir setiap hari beranda media sosial, grup WA dan berita berisi laporan peningkatan korban -- terdampak covid-19. 

Beragam cucologi dari perspektif yang beragam muncul sebagai gurauan, imbauan, bahkan peringatan. Tidak sedikit pula yang -- tiba-tiba berganti wajah religius, dermawan, pencitraan dan lain-lain. Tentu hal ini terjadi sebagai akibat, akibat dari apapun saja yang menjadi sebab.

Pendidikan memiliki ruangnya sendiri hari ini. Social distancing menjadi semangat tersendiri, serta menjadi gerak untuk mengenal lebih dekat fitur-fitur internet yang bermanfaat untuk pengajaran. 

Sekolah online, kulaih online, daring dan lain sebagainya. Tentu pengajaran dan transfer pengetahuan menempati ruang-ruang software, dan akan terbentuk kelas pengajaran ketika ada saluran internet. Walaupun akan ada pertanyaan susulan, berarti kalau tidak ada jaringan internet bisa dipastikan pengajaran terhenti?

Secara substansi, pengajaran adalah proses memberi atau tranfusi pengetahuan dengan pendekatan yang kreatif. Tidak hanya dengan metode ceramah, tetapi juga metode-metode yang lain. Tentu setiap metode pengajaran menemukan peminatnya. Tetapi covid-19 memaksa agar setiap peserta didik untuk lebih jeli dan membaca dengan teliti. Jika sebelumnya pengajaran bersifat langsung, dengan adanya covid menjadi ruang yang serba online, dan senyap.

Pengajaran pasti beriringan dengan pembacaan. Minat baca yang sangat beragam ukurannya justru bertemu pada titik tumpunya hari ini. Setiap pendidik mengupload mata pelajaran atau mata kuliahnya di google clasroom, sembari menunggu tanggapan dari para siswa. Lantas bagaimana dengan stabilitas belajarnya? Atau bagaimana progres evaluasinya? Tentu hal ini memerlukan kernyitan dahi yang amat rapat, fokus, sekreatif mungkin, agar pengajaran online menjadi menarik.

Karena faktanya, peserta didik lebih intens di depan PC, laptop dan smart phone ketika mabar game online, ketimbang mengikuti kelas online. Buktinya, warkop-warkop dengan fasilitas wifi, atau wifi corner di daerah masing-masing lebih diminati para gamers hp miring, ketimbang mereka yang benar-benar mengikuti kelas online. Ada juga yang mengikuti kelas online adalah orang tua peserta didik, dikarenakan keterbatasan peserta didik dalam proses kelas online.

Generasi rebahan, generasi hp miring, generasi anti micin, dan lain sebagainya adalah bentuk kontruksi pola sosial yang setiap masa berubah. Setiap ruang dan waktu memiliki orbit yang berbeda-beda. Pola kedewasaan dan pola pikirnyapun beragam. Sehingga tahap penyelesaian masalahnyapun beragam.

Beragam ketakutan yang dimunculkan bukan menjadi efek jera, tetapi menambah ketidak percaya dirian. Tidak sedikit orang tua yang takut keluar rumah, tidak sedikit pula anak-anak yang lebih senang menyendiri. 

Ketakutan yang terus-menerus ditampilkan tentu berdampak bagi siapapun, walaupun yang meyakini bahwa mati itu di tangan Tuhan, bukan corona, jumlahnya tidak sedikit. Dampak sosial yang paling terlihat adalah kecemasan, ketakutan, kecurigaan, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun