Mohon tunggu...
Amran Halim
Amran Halim Mohon Tunggu... Staf pada Asdep Olahraga Prestasi Kemenpora RI -

Memulai dari bersastra terus melangkah hingga ke olahraga

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Gaya Bahasa Edwar Maulana dalam Puisi Berjudul Lamaran

22 November 2012   06:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:52 3423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Oleh: Amran Halim

Kesusastraan pada dasarnya adalah potret sosial budaya masyarakatnya. Dalam catatan kesusastraan Indonesia, terutama puisi, telah memperlihatkan perkembangan dalam periodisasi sastra dengan pembaruan dalam konsepsi estetiknya. Gejala perkembangan puisi telah terjadi dalam rentang waktu dari dari 1920-an hingga hari ini. Sepanjang rentang waktu tersebut puisi-puisi yang lahir cenderung mengalami pembaharuan, baik dari segi tematik maupun konsep estetiknya.

Puisi sebagai salah satu genre dalam kesusastraan di Indonesia, telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Puisi Indonesia, tumbuh dan berkembang pada wilayah-wilayah publik ditandai dengan kemunculan penulis-penulis muda berbakat dalam berbagai media seperti; media cetak, situs-situs sastra maupun penerbitan buku-buku puisi. Kemunculan ini diiringi dengan beragam estetika yang ditawarkan masing-masing penyair. Selain karena masing-masing media—tertama cetak—memiliki standar estetik tersendiri sebagai prosedur pemuatan puisi di media tersebut, para penyair muda tersebut seolah sedang berlomba untuk memenangkan pergulatan estetik dan mengukuhkannya dalam kumpulan puisi bersama atau tunggal. Bebarapa penyair muda tersebut diantaranya adalah Yopi Setia Umbara, Inggit Putria Marga, Dian Hartati, Pinto Anugrah, Aan Mansyur, Heri Majakelana, Esha Tegar Putra, Bode Riswandi, Mughia Syahreza Santosa, Edwar Maulana, dll. (sekadar menyebutkan nama-nama penyair muda)

Untuk mengetahui keumuman dari ciri khas masing-masing penyair muda tersebut, sangat diperlukan analisis secara khusus terhadap puisi-puisi mereka. Namun karena sebuah penelitian disyaratkan memiliki batasan yang jelas dan tegas. Maka dari itu, dalam kesempatan kali ini, saya akan mencoba menganalisis gaya bahasa dari puisi karya Edwar Maulana yang berjudul “Lamaran” yang terhimpun dalam buku yang berjudul “Tembang Sumbang”, diterbitkan oleh Literat, Bandung.

Edwar Maulana lahir di Cianjur, Jawa Barat, 08 September 1998. Ia bergiat di komunitas sastra ASAS UPI Bandung, dan berlajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Jurdik Satrasia FPBS UPI Bandung. Puisi pertamanya yang muncul di media massa adalah “Tembang Sumbang”, “Calon Arang”, di Harian Pikiran Rakyat. Kecenderungan puisinya mengedepankan hasil-hasil renungan terhadap realitas sosial di sekitarnya. Beberapa puisinya bahkan hampir tidak memerdulikan “akrobatik bahasa” yang sedang digandrungi para penyair muda lainnya. Pilihan majas dan diksinya selintas sederhana, mudah dicerna. Selain itu, puisi Edwar Maulana bukanlah puisi suasana dan tidak sedang bernyanyi, sangat minim rima dan irama yang merdu. Dari kecenderungan tersebut, sementara saya menyebutnya puisi yang berpikir.

Dengan sederhana, tulisan ini dibuat untuk mengetahui lebih detail gaya bahasa yang digunakan oleh Edwar Maulana dalam puisi-puisinya dengan pendekatan Stilistika. Ditinjau dari aspek pengimajian, repetisi, bahasa figuratif dan diksi untuk menguatkan asumsi awal saya tentang puisinya yang berpikir atau bahkan membatahnya sama sekali. Selain dari itu manfaat penelitian dalam mencapai dua tujuan di atas dapat ditinjau dari dua segi, yaitu hasil dan proses. Dari segi hasil penelitian, pembaca akan dapat memperoleh gambaran mengenai gaya bahasa yang digunakan dalam puisi Edwar Maulana dilihat dari strukturnya. Sehingga anggapan bahwa gaya bahasa Edwar Maulana memiliki ciri khas yang berbeda dengan penyair lainnya dapat terjawab. Dari segi proses, penulis dan masyarakat pembaca dapat memahami ragam gaya bahasa yang terkandung dalam puisi Edwar Maulana

Gaya dan Daya Bedah Stilistika

Stilistika adalah style (gaya), yaitu cara seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana (Sudjiman, 1993: 13).  Karena itulah stilistika diterjemahkan sebagai gaya bahasa atau ilmu tentang gaya.

Sebagai bagian dari ilmu sastra, stilistika dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Apabila kita dapat menguraikan gaya suatu karya atau pengarang, tidak diragukan lagi bahwa kita pun dapat menguraikan gaya sekelompok karya, genre (Wellek dan Warren, 1995: 233). Dengan demikian stilistika dapat menjadi pisau analisis yang tajam dalam menggambarkan gaya bahasa seorang penulis dilihat dari karya-karyanya.

Menurut Abrams secara teoretis, penelitian Stilistika dibagi menjadi dua macam, yaitu penelitian tradisional dan penelitian modern. Penelitian tradisional masih dipengaruhi isi dan bentuk, apa dan bagaimana cara melukiskan suatu objek. Isi meliputi informasi, pesan, dan makna proporsional (sasaran), sedangkan bentuk adalah (gaya) bahasa itu sendiri. Sementara Stilistika modern menganalisis ciri-ciri formal, di antaranya: fonologi (spt: pola-pola bunyi ujaran, sajak, dan irama), sintaksis (spt: tipe-tipe struktur kalimat), leksikal (meliputi kata-kata abstrak dan kongkret, frekuensi relatif kata benda, kata kerja, dan kata sifat), dan retorika (ciri penggunaan bahasa kiasan/figuratif dan perumpamaan) (Rudi, 2012).

Sementara menurut Gorys Keraf (1998), persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula wacana keseluruhan: gaya bahasa berdasarkan nada, dan langsung tidaknya makna antara retoris dan kiasan (majas), jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika kelasik.

Berdasarkan pengertian di atas maka penelitian ini akan mengkaji aspek pengimajian, bahasa figuratif (majas), repetisi (bunyi), dan diksi. Pemilihan keempat aspek ini diharapkan dapat mengungkap gaya bahasa puisi-puisi Edwar Maulana yang berjudul “Lamaran” dalam antologi puisi “Tembang Sumbang”.

Pengimajian merupakan kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat. Imaji ini merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.

Menurut Abrams pengimajian meliputi tiga kategori di antaranya sebagai berikut:

Imaji yang digunakan untuk menandai seluruh objek dan indra penglihatan. Termasuk dalam kategori ini yaitu imaji dengaran, imaji gerakan, imaji rabaan, imaji rasa. Kategori ke dua adalah Imaji yang digunakan secara sempit hanya untuk menandai deskripsi objek visual dan pemandangan, terutama gambaran hidup dan fakta. Dan yang terkahir adalah imaji yang menandai majas terutama sebagai sarana metafora dan simile.

Bahasa Figuratif (Majas), Gorys Keraf menyatakan bahwa bahasa figuratif atau majas adalah:

Bahasa figuratif (figure of speech) yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. (1998: 129)

Kajian penelitian ini akan membahas tentang majas; Personifikasi, menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Metafora, analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, dalam bentuk yang singkat. Sarkasme, suatu acuan lebih yang lebih karasar dari ironi dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Antifrasis, semacam ironi yang berwujud penggunaan kata dengan makna kebalikannya (Keraf, 1998: 138-142).

Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1998: 127). Dalam sebuah puisi kita pun akan menemukan gaya bahasa retoris, diantaranya Asonansi (ulangan bunyi vokal yang sama, berurutan, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan) dan Aliterasi (ulangan konsonan yang sama dan berurutan, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan) (Keraf, 1998: 130).

Diksi menurut Keraf memiliki cakupan yang lebuh luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah tersebut bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata yang mana yang dipakai untuk menggungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Jadi maksud dari diksi dalam puisi adalah pemilihan kata dalam puisi yang dilakukan oleh seorang penyair untuk mengekspresikan perasaan dan isi pikirannya setepat-tepatnya (Pradopo, 1999: 54). Pemilihan kata ini untuk mendapatkan kepuitisan atau nilai estetik.

Pengertian dari sebuah diksi mencakup kata kongkret dan abstrak juga kata bermakna konotasi dan denotasi. Kata kongkret (khusus) adalah kata yang mengacu kepada pengarahan-pengarahan yang khusus dan kongkret, nama diri adalah istilah istilah yang paling khusus, sehingga menggunakan kata-kata tersebut tidak akan salah paham. Kata abstrak (umum) adalah kata yang mengacu kepada sesuatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya, seperti kata kejujuran, kesedihan, dan religius merupakan contoh kata-kata abstrak (umum) karena kata tersebut akan menimbulkan gagasan yang lain pada setiap orang sesuai dengan pengalaman dan penggertiannya mengenai kata-kata itu (Keraf, 1998: 90). Kata denotasi menunjuk (denote) kepada sesuatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen yang paling dasar pada suatu kata. Kata konotasi adalah suatu jenis kata dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional (Keraf, 1998: 28-29). Di dalam sebuah puisi tidak hanya mengandung aspek denotasinya tetapi mengandung pula aspek konotasi. Seorang penyair harus mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata agar tepat dan padat dalam memilih kata-kata dan menimbulkan gambaran yang jelas (Pradopo, 1999: 58).

Sekarang mari kita mulai menganalisis puisi “Lamaran” Karya Edwar Maulana dengan pendekatan Stilistika seperti telah dipaparkan di atas.

Teks Puisi

Lamaran

: F. Nisa Khairin

Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.



Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan aku

belum genap satu minggu.



Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.



Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.



Nisa, aku tahu

ini terlalu cepat dan mengejutkan.

Tapi, begitulah adanya.



Aku jatuh cinta padamu

setiap kali kau bersujud, bangun tidur

sedang makan, cantik dan sendirian.



Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.



Percayalah

sebab ini lamaran

bukan ramalan.



Kau boleh memilih pergi

dan kehilangan, atau jatuh

bersamaku, atau tak keduanya.



Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.



Maka, akuilah

bahwa kau perempuan

dan aku laki-laki

dan aku mencintaimu.

2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun