Polisi kembali menyita buku. Dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, aparat memajang buku-buku bertema kiri dan anarkisme sebagai "barang bukti" kericuhan demonstrasi Agustus--September 2025. Judul-judul seperti Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Anarkisme karya Emma Goldman, hingga Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno dipamerkan bersama batu dan botol seolah sama berbahayanya.
Polisi beralasan, buku-buku itu penting untuk "membangun konstruksi perkara". Artinya, ide dalam buku dianggap punya kaitan dengan tindakan kriminal. Pertanyaannya: sejak kapan membaca buku bisa dijadikan bukti pidana?
KUHAP jelas menyebut lima alat bukti sah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Buku bacaan tidak termasuk. Menyita dan memajang buku sebagai barang bukti hanya menunjukkan satu hal: paranoia negara terhadap ide.
Fatiah Maulidiyanti dari KontraS mengingatkan, "Polisi masih ketakutan terhadap buku dan ide-ide. Padahal yang seharusnya diusut adalah tindak kekerasan aparat dan kerusuhan itu sendiri, bukan rak buku orang."
Menyamakan buku dengan senjata hanyalah disinformasi. Anarkisme, misalnya, tidak selalu berarti kekerasan. Ia juga bicara soal solidaritas, demokrasi langsung, dan kritik terhadap otoritarianisme. Tapi dalam narasi aparat, semua diringkas jadi ancaman.
Jika membaca Marx membuat seseorang komunis, atau membaca Pramoedya menjadikan kriminal, maka perpustakaan adalah TKP terbesar. Itu absurd.
Demokrasi berdiri di atas kebebasan berpikir. Menyita buku hanya membuat negeri ini mundur ke masa di mana ide ditakuti lebih dari ketidakadilan. Yang seharusnya ditakuti rakyat bukanlah buku, melainkan aparat yang takut pada pengetahuan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI