Mohon tunggu...
Y ANISTYOWATIE
Y ANISTYOWATIE Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Berusaha menemukan solusi permasalahan bangsa, blog saya: www.anisjasmerah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mempertahankan UN Berarti Sengaja Memperparah Kebobrokan Mental Bangsa

15 April 2016   14:34 Diperbarui: 15 April 2016   15:07 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="disdik.riau.go.id"][/caption]Saya dulu termasuk pihak yang mendukung Ujian Nasional (UN)  dengan pertimbangan: kalau tidak ada UN lalu bagaimana kita bisa mengetahui kualitas/prestasi  anak didik ? Diserahkan kepada pihak sekolah sama juga bohong, karena sekolah pasti akan mempertahankan citranya. Kalau ada yang tidak lulus, maka reputasi sekolah yang bersangkutan juga akan jelek. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa siswa-siswa di sekolah swasta  yang terancam tidak lulus, biasanya kemudian berusaha mendekati jajaran kepala sekolah dengan berbagai  macam cara agar bisa lulus. Akibatnya wibawa guru sekolah di mata anak didiknya menjadi tidak berwibawa, karena sering  “ditelikung” oleh kepala sekolahnya.

Namun  setelah sekian lama terlaksana kegiatan UN, semakin baikkah citra dunia pendidikan kita ? Ternyata tidak !  Realitanya justru semakin parah,  kerusakan moral tidak hanya terjadi di lingkup sekolah tertentu saja, tetapi justru  “mengglobal”.  Akhirnya saya menyerah,  karena kalau saya tetap mendukung berarti saya juga berkontribusi membuat kerusakan mental  bangsa ini semakin parah. Sekarang saya harus mengatakan  yang sebaliknya, yaitu “hapus UN kalau ingin menyelamatkan  moral bangsa Indonesia”. Dasar pertimbangannya sbb.:

Dari sisi anak didik

1. UN justru membuat siswa yang berusaha jujur (tidak beli bocoran soal atau kunci jawaban) menjadi korban, karena nilai mereka biasanya tidak sebaik dibanding mereka yang beli bocoran, dan yang tidak beli bocoran soal ini kemudian diejek oleh teman-temannya. Realitanya nilai mereka biasanya memang lebih jelek. Sementara kalau lapor justru dimarahi  oleh gurunya karena bisa menjatuhkan reputasi sekolah. Padahal nilai UN juga menjadi dasar penilaian untuk penerimaan di jenjang sekolah yang lebih tinggi.

2. UN membuat anak yang tidak bodohpun  banyak yang ikut membeli bocoran soal/kunci jawaban, dengan alasan untuk jaga-jaga kalau soalnya sulit, dia bisa menjawab sesuai  dengan yang dikehendaki.

3. UN memunculkan rasa  solidaritas siswa yang salah,  karena mereka merasa senasib  seperjuangan, maka merasa perlu saling membantu dengan berbagai cara agar tidak dapat nilai  jelek.


4. UN membuat  anak didik menjadi korban, karena demi mengejar nilai hasil ujian yang baik, mereka banyak yang  mesti sekolah 2 kali, yaitu sekolah reguler dan paket bimbingan  belajar setahun. Sementara yang orang tuanya  memiliki ekonomi pas-pasan hanya bisa pasrah ketika mendapati guru sekolahnya yang tidak bisa mengajar dengan baik.

5. UN membuat kreativitas anak didik yang salah, misal ketika harga kunci jawaban itu dirasa sangat mahal  Rp 2.000.000 maka mereka mengkordinasi teman-temannya sehingga harganya menjadi sangat terjangkau, misalnya  urunan menjadi Rp 80.000-an.

Dari sisi guru

1. UN membuat guru-guru  yang baik menjadi “salah tingkah”: diam merasa bersalah, lapor justru mendapat masalah.

2. UN juga membuat guru-guru memiliki rasa solidaritas yang salah, yaitu  demi menjaga citra guru ybs,   demi menjaga citra sekolah,  dan citra diknas, kemudian  mereka sepakat membiarkan muridnya  “bekerjasama” dalam mengerjakan soal, bahkan ada yang membantu  dengan berbagai macam cara: memberi kunci jawaban atau mengisi jawaban kosong.

3. Karena banyak siswanya yang ikut bimbingan belajar, guru yang tidak bisa mengajar dengan baik merasa terbantu, dan siswa yang tidak ikut les kalau sering bertanya justru dicap sebagai anak-anak yang bodoh,  padahal  sebenarnya  ternyata guru yang bersangkutanlah  yang tidak bisa mengajar dengan baik. Akhirnya anak-anak yang tidak ikut les ini, bisanya hanya berharap kemurahan hati mereka yang ikut les untuk mau mengajarinya.

4. UN membuat wibawa guru rusak di mata anak didik, karena mereka tahu kalau hasil ujian sekolahnya nanti pasti disulap dapat nilai bagus-bagus. “Manipulasi” nilai ini dilakukan  untuk mengantisipasi kalau anak didiknya jatuh di ujian nasional sehingga  banyak anak didik  santai-santai saja walaupun mau ujian sekolah.

Dari sisi orang tua

1. UN membuat kantong orang tua  menjadi terkuras sehingga mendorong  mereka untuk  korupsi  (kecil-kecilan sampai yang kakap), agar mereka bisa membayar uang bimbel untuk anaknya yang biayanya jutaan. Hal ini dilakukan, juga  sebagai investasi bagi mereka  agar anaknya nanti bisa di terima   di sekolah favorit.

2. UN membuat  orang tua yang tidak mampu mengikutkan anaknya les  (termasuk saya) menjadi  sedih juga, karena ibaratnya kita membiarkan anak-anak  berjuang meraih masa depannya  dengan bekal seadanya, sementara anak-anak yang lain bekalnya banyak sekali.

Dari sisi pebisnis

1. UN  membuat bimbingan belajar laris-manis, walaupun mereka terkadang hanya melaksanakan secara asal-asalan, karena  pesertanya sudah  stres di sekolah karena  banyak mengerjakan tugas-tugas sekolah.

2. UN membuat kreativitas tindak kejahatan semakin canggih, apapun bentuknya:  tertulis maupun  berbasis komputer. Apalagi di era sekarang yang bisa dikatakan semua orang sudah memiliki HP yang canggih. Bentuk bocorannya bisa berupa bocoran soal atau bocoran paket kunci jawaban.

Dari sisi pejabat

1. UN membuat pejabat di jajaran diknas atau kepala daerah menjadi munafik karena tidak berani menerima kenyataan  bahwa kualitas anak didik di kotanya sangat buruk.

2. UN membuat menteri pendidikan takut kehilangan proyek besar  tahunan, dan biasanya hanya mengatakan: UN berjalan dengan lancar, para siswa jangan beli bocoran, guru jangan memberi jawaban kepada siswa,  tolak beli bocoran, yang berani lapor hebat, tanpa peduli bahwa apa yang di katakannya itu sesuatu yang percuma  saja. Karena di negeri ini, anak didik dan guru-guru yang berani jujur  bisa mendapatkan  malapetaka.  Hampir mustahil mereka mau mencelakakan diri sendiri. Kalaupun ada  beberapa anak  yang berani melaporkan tindak kecurangan di suatu kota, itu tidak sebanding dengan kerusakan moral massal yang telah dan akan terjadi lagi dalam setiap tahunnya.

Oleh karena itu, kalau  keberadaan UN  ini terus dipertahankan, maka bukan hanya  akan membuang-buang anggaran ratusan milyar per-tahun, bahkan justru akan  memperparah kebobrokan mental di semua kalangan, yaitu: anak pandai menjadi banyak yang tidak percaya diri, anak yang bodoh berusaha melakukan kecurangan dengan berbagai macam cara, guru menjadi berperilaku tercela dan tidak berwibawa, para orang tua di semua profesi  banyak yang tergoda untuk melakukan korupsi kecil-kecilan ataupun besar-besaran  demi masa depan anak-anaknya, kreativitas tindak kejahatan dalam dunia pendidikan semakin meningkat, jajaran diknas di daerah  menjadi munafik, menteri kependidikannya menjadi “buta”,  yaitu pura-pura tidak tahu atas kejadian-kejadian buruk akibat dilaksanakannya UN. Artinya  dengan diselenggarakannya UN  itu, tidak ada manfaatnya sama sekali, kecuali bagi mereka yang kebagian proyeknya. Sebaliknya negara justru mengajari  atau melatih  anak-anak  dari SD, SLTP, SLTA (calon-calon mahasiswa) untuk praktek melakukan perbuatan tercela. Juga membuat banyak para orang tua terpaksa pura-pura jadi orang baik-baik, serta memberi peluang  masyarakat (pebisnis) melakukan kreativitas yang buruk demi  bisa/tetap mendapatkan keuntungan.

Adapun   pihak yang berusaha terus mempertahankannya, yaitu kementerian  pendidikan berdalih  bahwa UN  itu tidak lagi menentukan kelulusan, tetapi  hanya untuk pemetaan + dasar penilaian masuk jenjang sekolah yang lebih tinggi.  Apakah mereka  tidak peduli , bahwa  data yang dijadikan bahan pemetaan dan dasar menentukan penerimaan di jenjang sekolah lebih tinggi itu tidak valid,  karena:

1. Mereka yang nilainya baik itu karena fasilitas sekolahnya lebih baik, banyak yang ikut bimbel, ada yang beli bocoran soal, ada yang  berkat solidaritas antar teman dan guru .

2. Ada sekolah yang pengawasannya ketat  karena merasa muridnya banyak yang “pintar-pintar”  (banyak yang ikut bimbel), sementara sekolah yang lain pengawasannya sekedarnya saja,  bahkan ada yang dibantu gurunya.

3. Kualitas soal jelas tidak sama,  ada 5 bahkan  bisa sampai 20 macam per-kelas.  Belum lagi perbedaan di tingkat wilayah. Kalau untuk soal matematika, masih memungkinkah soal bisa berbeda-beda dikatakan kualitasnya   sama, karena untuk pelajaran matematika kita bisa mengubah angka-angkanya saja. Tetapi untuk soal-soal teori (pengetahuan),  jelas  materinya berbeda. Mereka yang bisa menjawab soal kelompok  A belum tentu bisa menjawab soal kelompok yang lainnya.  Berarti bisa dipastikan bahwa kualitas soal ujiannnya jelas tidak sama. Lalu bagaimana kemudian kita bisa memetakan kualitas anak didik di berbagai sekolah dan daerah kalau materi ujiannya saja tidak sama ?  Juga, bagaimana kita bisa mengatakan si A nilainya lebih baik daripada si B kalau materi ujiannya jelas tidak sama ?

Jadi sebenarnya  UN itu,  apapun metodenya, tertulis maupun komputer sama-sama hanya menjadi sarana melakukan hal tercela di dunia pendidikan.  Karena permasalahannya bukan pada cara ujiannya, tetapi pada efek kejujuran yang justru mendatangkan musibah bagi mereka (siswa dan guru pengawas) yang memperjuangkannya. Apalagi  dengan keberadaan fasilitas kependidikan  dan  tingkat kemampuan siswa yang  sangat timpang, ada sekolah favorit dan lebih banyak sekolah yang tidak favorit. Juga ada sekolah di daerah terpencil. Sehingga potensi ketidak-jujuran ini jauh lebih besar, daripada yang benar-benar jujur. Istilahnya sudah tahu sama tahulah !  Di sinilah  yang menjadi  permasalahan pokoknya !

Di samping itu,  hasil UN ini sebenarnya tidak bisa digunakan untuk dasar penerimaan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, karena sifatnya hanya untung-untungan  (dapat kelompok soal yang mudah atau yang sulit), serta banyak “manipulasi nilainya”. Kalau hanya sekedar untuk memetakan  kemampuan rata-rata siswa saja, jajaran kementerian kependidikan  bisa meninjau langsung ke sekolah-sekolah, atau bisa menerima laporan saja kemudian cek lapangan. Apabila gedung sekolahnya tidak memadai atau rusak, buku-buku pelajarannya  tidak lengkap, fasilitas mengajarnya minim, maka sudah bisa dipastikan kalau rata-rata kemampuan anak didiknya akan kalah dengan daerah lain yang fasilitasnya sudah baik. Kemudian dana ratusan milyar untuk UN itu bisa langsung  dialihkan untuk keperluan memperbaiki fasilitas sekolah yang kurang tersebut. Cara  ini cukup sederhana, dan tidak membutuhkan biaya besar, tetapi  hasil pemetaan yang  diperoleh  akan lebih akurat.

Terakhir ada pernyataan baru, UN hanya digunakan sebagai cermin untuk melihat kemampuan diri bagi anak didik. Aduh !  Dasar pertimbangan apalagi ini ?!  Ketika saya ceritakan ke anak, spontan dijawab: ” Ya, cermin yang sangat buruk !”  Sudah buruk, harganya ratusan milyar lagi.

Semoga  masukan pemikiran ini  bisa sampai pada Pak Anis Baswedan, dan beliaunya mau atau berani mengambil sikap yang berbeda dengan para pendahulunya !

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun