Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suka Duka Mengajar Menulis dalam Bahasa Asing

25 Januari 2021   15:40 Diperbarui: 26 Januari 2021   04:22 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengajarkan keterampilan menulis dalam bahasa asing tak semudah yang dibayangkan. (Foto: pexels.com)

SELAMA pandemi ini banyak hal yang baru yang saya pelajari sebagai penulis dan pegiat bahasa. Saya mendapat tawaran untuk mengajar menulis tapi karena masih dalam masa PSBB, saya harus melakukannya secara jarak jauh.

Awalnya terasa canggung sekali, tetapi apa daya. Saya juga harus menyesuaikan diri. Memang lebih enak kalau mengajar secara tatap muka. Bisa mendapatkan perhatian siswa secara utuh, tanpa terbagi. Namun, saya pikir lebih tidak enak lagi kalau saya harus jauh-jauh ke rumah siswa dan di tengah jalan saya terkena virus Covid-19.

Akhirnya saya pun mencoba mengajar dengan platform Zoom. Saya bisa tetap di rumah dan tak peduli dengan gangguan cuaca, asal listrik dan internet masih menyala, saya bisa mengajar.

Di sini saya tidak mengajarkan menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa Inggris. Maka dapat dikatakan tantangan saya juga lebih banyak.

Dengan menggunakan sistem daring begini, risiko salah tangkap bisa makin tinggi kalau misalnya artikulasi saya kurang, atau jika si murid ini salah dengar. Alhasil, saya harus sering berceloteh panjang lebar untuk memastikan si anak paham benar dengan materi yang saya jelaskan.

Menulis sebagai Fondasi Pendidikan Abad Digital

Dalam mengajarkan keterampilan menulis dalam bahasa asing, sebenarnya fondasinya mirip dengan keterampilan menulis dalam bahasa ibu. Sering saya tergoda untuk terperangkap dalam pemberian materi dan kemudian pemberian tugas semata. Lalu ya sudah, selesai.

Padahal jika ditilik esensinya, menulis pada dasarnya ialah sebuah kegiatan literasi yang berkaitan dengan pikiran. Ia mencakup proses belajar, dengan tujuan menyempurnakan pemikiran seseorang, dan untuk mempengaruhi pemikiran orang lain.

Menulis ialah kunci dalam komunikasi terutama di era melek huruf dan digital seperti sekarang. Manusia abad ke-21 adalah makhluk yang lebih banyak berkomunikasi lewat teks daripada para pendahulu mereka. Kita menggunakan media digital untuk menyampaikan apa saja dan semua itu lebih banyak dalam bentuk tulisan.

Menulis, meski bukan satu-satunya aspek dalam pendidikan, dapat dikatakan sebagai salah satu fondasi terpenting dalam pendidikan dasar hingga menengah dan tinggi. Bahkan setelah seseorang sudah meninggalkan bangku kuliah, ia akan terus memerlukan keterampilan menulis tersebut di berbagai kesempatan.

Buktinya orang dewasa yang sudah melampaui usia sekolah masih saja terus belajar bahasa dengan beragam tujuan tetapi intinya ialah agar mereka dapat meraih kesempatan yang lebih luas dalam era persaingan tenaga kerja di era globalisasi yang makin sengit persaingannya ini.

Keterampilan menulis makin dibutuhkan saat ini. Kita makin banyak disuguhi informasi dengan begitu banyaknya informasi yang mengalir di Internet dan media konvensional.

Dan setelah menyerap semua itu, kita diharapkan juga dapat memberikan respon atau tanggapan. Semua orang bisa memberikan tanggapan secara lisan tanpa harus banyak berpikir. 

Tetapi untuk menulis sebuah tanggapan yang runtut, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan (karena makin banyak orang menulis dan tidak sadar mereka harus bertanggung jawab untuk itu, sebut saja penulis berita bohong alias hoax), tidak semua orang bisa melakukannya. Diperlukan kerja keras intelektual yang lebih besar dan waktu yang lebih panjang untuk menyiapkannya, menyuntingnya hingga sampai ke penayangannya ke publik luas. Tidak semua orang sesabar dan segigih itu.

Untuk mengukur baik buruknya keterampilan menulis sebetulnya mudah, yakni bagaimana kita bisa mengetahui mudah tidaknya sebuah gagasan dalam tulisan ditransfer dari benak penulis untuk kemudian dipahami oleh orang lain.

Tulisan tersebut juga harusnya disusun secara teratur, terorganisir dan sistematis sehingga dapat dimengerti siapa saja yang membacanya. 

Sering saya suruh siswa saya untuk membaca kembali tulisannya sendiri. "Jika kita yang menulis saja merasa bingung dengan tulisan kita sendiri, apalagi orang lain yang membaca tulisan kita?" nasihat saya.

Para siswa sekarang terpapar dengan banyak produk konten bahasa asing terutama bahasa Inggris. Dan mereka saya akui sudah piawai dalam hal kosakata.

Hanya saja, untuk urusan kecermatan memilih kata dan merangkainya agar bisa dipahami pembaca, anak-anak di usia sekolah (SD, SMP, SMA) masih belum begitu sensitif. 

Mereka kerap terjebak pada anggapan "makin rumit, panjang, dan susah dipahami tulisanku, semakin guruku akan menganggapku pandai, dan orang lain menganggapku pintar".

Alhasil, kalimat-kalimat mereka banyak bertaburan kata yang susah dipahami oleh mereka sendiri dan terkesan ditempatkan di dalam tulisan tanpa alasan kuat. Hanya untuk memberi kesan cerdas. Padahal justru membingungkan pembaca.

Dengan menulis, kita juga bisa mengasah kemampuan berpikir kritis. Hal ini selaras dengan pendapat Orson Wales yang berkata:"Jika seseorang tidak bisa menulis dengan baik, mereka juga kurang bisa berpikir dengan baik juga." 

Dan jika kita sendiri tidak bisa berpikir untuk diri kita, orang lain yang akan berpikir untuk kita. Dengan kata lain, orang lainlah yang akan menjadi pemikir bagi kita dan dengan demikian kita hanya akan menjadi pengikut, ibarat seekor domba yang mau saja digiring oleh pemiliknya ke mana saja, bahkan ke jurang atau rumah jagal sekalipun. Karena itulah, menulis sangat penting.

Menulis juga bisa menjadi suatu tolok ukur untuk menguji seberapa dalam pemahaman seseorang tentang sebuah topik atau permasalahan.

Jika seseorang bisa dengan lancar dan sistematis menuangkan informasi atau pengalaman atau apapun yang ia ingin sampaikan dalam bentuk tulisan yang runtut dan sistematis, biasanya dapat dipastikan pemahamannya soal isu atau masalah yang ia tulis itu juga lebih baik daripada mereka yang hanya bisa berkomentar singkat atau menulis status yang cuma 100-200 kata panjangnya. 

Namun, panjang pendeknya tulisan jangan otomatis dianggap sebagai cerminan kedalaman pemahaman karena banyak siswa yang menganggap bahwa makin panjang tulisannya, makin paham dan pandai dia dalam menulis. Padahal jika dibaca ulang, tulisannya berputar-putar. Kalimatnya memang banyak dan panjang tetapi gagasan intinya cuma itu-itu saja.

Jadi, seolah pembaca berputar-putar mengitari satu isu saja tanpa berlanjut ke pokok pikiran lain.

Belajar dari 'Kesalahan' Korsel

Orang cerdas tanpa kemampuan menulis yang memadai juga akan sulit menyampaikan pengetahuan dan pendapatnya yang berharga itu ke khalayak yang lebih luas lagi.

Hal ini dibuktikan dalam sebuah survei yang menyatakan bahwa lebih dari 50% mahasiswa Korsel yang sukses masuk dan menjalani perkuliahan di kampus-kampus bergengsi yang terkenal dengan sebutan "Ivy League" harus menelan pil pahit. Di tengah jalan mereka terpaksa keluar atau berhenti sebelum bisa lulus. 

Padahal kalau kita cermati, di jajaran negara-negara maju (OECD) , Korsel adalah salah satu negara dengan pencapaian mutu SDM yang paling mengagumkan. Prestasi akademik anak-anak sekolah Korsel melesat melampaui AS dan Inggris yang dianggap kiblatnya pendidikan global. Skor-skor anak-anak Korsel di atas rata-rata dan bahkan mereka sanggup mengerjakan soal yang jauh lebih sulit daripada soal yang biasa dikerjakan anak-anak seusianya di negara-negara maju lainnya. 

Lalu apa sebabnya anak-anak Korsel yang 'cerdas' itu gagal di pendidikan tinggi mereka? 

Ternyata pendidikan yang terlalu mengejar skor seperti di Korsel itu kurang mendukung bagi pengembangan keterampilan berpikir kritis yang vital dalam proses menulis.

Mereka hanya diajarkan untuk menyerap dan menyerap tanpa diberi kesempatan menanggapi, entah itu menolak atau menerima atau menerima dengan syarat/ alasan tertentu. Mereka kehilangan kesempatan untuk menyuarakan pikiran dan pendapat mereka karena sudah dibentuk menjadi 'robot penghapal'. 

Dan sejujurnya Korsel bukan satu-satunya negara dengan pendidikan pengejar skor. Banyak pendidikan di negara-negara Asia masih berhaluan sama, termasuk juga Indonesia.

Anak-anak sekolah hasil didikan sistem pendidikan Asia lazimnya kesulitan beradaptasi dengan sistem pendidikan Barat terutama AS karena di sekolah-sekolah Amerika itu keterampilan menulis dibutuhkan di beragam mata kuliah, bahkan bagi mereka yang tampaknya jauh dari bidang bahasa dan sastra sekalipun masih ada tuntutan untuk bisa menulis makalah atau tesis dengan sistematis. 

Akibat ketidakmampuan menulis sangatlah kompleks, misalnya ketidakpercayaan diri di kelas, terlambat mengumpulkan tugas, komunikasi yang buruk dengan dosen, dan yang terparah, jika amat terdesak, anak didik yang sudah putus asa bisa melakukan pelanggaran akademis serius seperti mencontek dan meniru tulisan orang lain alias plagiarisme.

Jadi, sekali lagi, para pelaku plagiarisme kadang bukan anak-anak yang pandir. Mereka terkadang memiliki intelejensia yang tinggi tetapi sayangnya masih memiliki keterampilan menulis yang kurang.

Tantangan Mengajar Menulis dalam Bahasa Asing

Begitu banyak tantangan yang kita jumpai dalam menulis. Di antaranya yang paling banyak dijumpai ialah kurangnya waktu yang disediakan, kurikulum pengajaran yang terlampau rumit, dan ketiadaan struktur yang jelas dan mudah dipahami.

Soal waktu, saya memang merasakan sendiri betapa sedikitnya waktu sejam untuk membimbing murid dalam menulis. Karena saya butuh waktu untuk menjelaskan konsep kemudian memberikan waktu bagi mereka untuk menulis dahulu baru kemudian membahas draft mereka. Dan ini butuh waktu lebih dari sejam.

Kemudian poin kedua: kurikulum kita terlalu rumit. Menulis bagi saya semestinya dimulai secara naluriah, bak kita berbicara. Karena menulis dan berbicara memiliki kemiripan, yakni dua cara mengekspresikan emosi dan gagasan. Kadang saya berikan kesempatan siswa saya untuk menjauhi istilah-istilah khas akademis semacam narasi, eksposisi, dan sebagainya dan menulis sesuai apa yang ingin mereka tulis. 

Saya kadang berikan mereka kebebasan untuk berekspresi melalui menulis. Dan anehnya karena di kelas seringnya mereka diberi perintah, saat saya beri kebebasan justru mereka bingung dan minta penjelasan dan rambu-rambu. "Lho itu pilihan kamu. Pokoknya terserah!" jawab saya, yang makin membuat mereka bingung.

Tantangan akan makin besar jika kita membicarakan soal pengajaran keterampilan menulis dalam bahasa asing. Misalnya bahasa Inggris. Hal ini karena kebanyakan anak didik dibesarkan dalam suatu lingkungan yang secara alami kurang mendukung. Keluarga dan teman-teman mereka mayoritas bukan penutur asli (native speaker) dari bahasa yang mereka pakai untuk menulis. 

Jadi, dengan kata lain, tantangannya lebih berlapis-lapis dari mereka yang belajar menulis dalam bahasa ibu (mother tongue). Akhirnya, beban itu harus disangga oleh guru-guru bahasa sendirian.

Dan ini konyol karena tentu tidak bisa memasrahkan perkembangan penguasaan berbahasa asing pada satu pihak saja. Diperlukan sinergi yang solid untuk bisa memaksimalkan proses belajar anak, yang justru lebih banyak di luar ruangan kelas.  

Santai Itu Penting

Saat mengajarkan menulis, ada baiknya pengajar atau guru menghindari melabelinya sebagai sebuah kelas atau kursus atau kuliah. Mengapa? Karena menulis pada hakikatnya sudah terintegrasi dalam berbagai bidang atau disiplin ilmu lainnya.

Saya sendiri juga tidak ingin menyebut saya guru les menulis atau sejenisnya agar anak didik tidak merasa terkungkung dalam hierarki yang sudah mereka sudah temui di kelas. 

Elemen-elemen Instruksi Menulis yang Baik

Terdapat lima elemen penting dalam menyusun instruksi menulis yang baik. Elemen-elemen tersebut ialah:
1. Ide
2. Pengaturan/ organisasi
3. Suara
4. Pilihan kata/ diksi
5. Kelancaran kalimat
6. Konvensi

Elemen pertama, ide, berkaitan dengan topik dan pemahaman mendetail soal aksi, pikiran, dan perasaan. Secara keseluruhan, ide ialah pesan yang kita hendak sampaikan melalui tulisan kita pada orang lain. Singkatnya, ide ialah gagasan menarik yang bisa disuguhkan ke audiens.

Elemen kedua yakni organisasi atau pengaturan. Untuk itu perlu dipakai kata-kata yang menunjukkan urutan, sehingga jelas mana yang awal dan akhir. Pemakaian elemen kedua akan menunjukkan progresi yang jelas dalam menyusun ide tulisan. Tanpa progresi, tulisan akan terkesan berputar-putar tidak tentu arah.

Karenanya, model penulisan tiga babak yang mencakup pembuka, isi dan penutup ialah model yang universal dan wajib diingat dan diamalkan dalam menulis.

Suara (voice) ialah mengenai cara untuk menggunakan tujuan. Di sinilah terletak sikap, opini, energi dan kepribadian penulis yang menjadi inti yang bisa menarik pembaca.

Suara inilah yang unik dan bisa membuat ide yang terkesan biasa dan membosankan terkesan lebih menarik, hangat, menggairahkan, bahkan seru untuk diikuti.

Diksi atau pilihan kata ialah bagaimana memilih kata-kata dengan jeli dan tepat untuk menyampaikan kisah yang ingin Anda sampaikan. Diksi biasanya menggunakan kata-kata yang deskriptif sehingga pembaca seolah bisa menyaksikan sesuatu yang digambarkan penulis dalam kata-katanya. Diksi yang sesuai akan mengemas ide sedemikian rupa sehingga lebih mengena ke hati pembaca.

Kelancaran kalimat ialah bagaimana seorang penulis menggunakan kalimat dalam panjang, urutan dan struktur yang bervariasi tetapi tetap menunjukkan kemulusan dalam narasinya. Di dalamnya juga tercakup naik turunnya nada ujaran. Karenanya, penulis yang baik mesti bisa merangkai kalimat dalam berbagai jenis sesuai kebutuhan dengan tujuan akhir untuk menarik minat pembaca meneruskan sampai akhir tulisan.

Konvensi meliputi aturan-aturan yang menentukan apakah sebuah tulisan bisa dikatakan baik atau tidak. Aturan-aturan ini adalah kesepakatan bersama yang dihasilkan oleh para petinggi, akademisi, atau kalangan tertentu yang dianggap sebagai otoritas, panutan, pengalaman atau kekuasaan yang lebih.

Dan karena ini bersifat subjektif dan bervariasi, perbincangan dan perdebatan soal konvensi seakan tiada habisnya dari waktu ke waktu.

Maka jangan terlalu menghabiskan energi di aspek ini saja dalam mengajarkan menulis. Sejumlah konvensi yang kita pakai dalam proses menulis misalnya kapitalisasi, ejaan, pemakaian tanda baca, tata bahasa, dan sebagainya. (*/Follow @akhliswrites)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun