Dinamika kehidupan selalu memunculkan bahagia dan sedih, kecewa atau diterima. Histori kehidupan akan tetap direkam dalam alam sadar manusia dan itu akan berlanjut sampai pada tahapan dimana orang tersebut mampu mendeskripsikan dengan baik atau bahkan menghujat histori kehidupan itu sendiri.
Faktor pemicu kadang bisa dimulai dari masa kanak-kanak yang kurang bahagia, lingkungan yang tidak bertumbuh atau kegagalan dalam keluarga yang berdampak pada mental anak itu sendiri. Ketika itu tidak ditangani dengan baik maka kemungkinan besar masalah mental akan terjadi pada seseorang.Â
Selain itu, faktor pencetus berupa kegagalan berumah tangga, gagal masuk sekolah, nilai rendah, atau bahkan ditinggal pacar menikah kerap kali menjadi masalah yang timbul dari orang dengan gangguan jiwa.
Sebagai perawat yang pernah bekerja di puskesmas wilayah terpencil di Indonesia, penulis meyakini bahwa hal terpenting dalam penanganan orang dengan gangguan jiwa bukan pada seberapa disiplin seseorang meminum obat tapi seberapa besar dukungan orang sekitar, seperti keluarga dan masyarakat, untuk mengayomi dan bukan sebaliknya menghujat atau memberikan stigma yang buruk.
Aspek kuratif dan rehabilitatif memang penting tapi akan jauh lebih penting dan bermakna jika dibarengi dengan aspek preventif dan promotif ditambah dengan kerja sama yang baik lintas sektoral untuk mau peduli dan turun tangan terhadap orang dengan gangguan jiwa.
Suatu saat penulis pernah bertemu dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di wilayah NTB dengan faktor pencetus yaitu ditinggalkan oleh istri menikah. Sudah beberapa kali dia masuk keluar rumah sakit jiwa dengan kesadaran yang membaik dan kadang pula memburuk.Â
Saat membaik, dirinya dengan penuh kesadaran mengatakan bahwa dirinya tidak sehat, keluarga menjauhinya dan bahkan tetangga menutup pintu untuknya.
Di saat kambuh, kadang sebagian masyarakat merantai atau memasung kakinya, ditempatkan menyendiri di ruang tertutup dan ditinggalkan. Sesekali keluarga hanya memberi makan sewajarnya.
Kejujuran yang dia sampaikan sebenarnya merupakan pintu bagi tenaga kesehatan untuk senantiasa memberikan motivasi kepada keluarga dan masyarakat bahwa apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan sikap yang ramah terhadap orang dengan gangguan jiwa.Â
Stigma menjauhi dan menganggap aib orang dengan gangguan jiwa merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang tersebut rentan untuk kambuh lagi atau bahkan gangguan jiwanya bertambah berat.
Faktanya memang benar jika di puskesmas sudah terdapat program jiwa yang tugasnya melakukan screening kepada masyarakat yang mengalami gangguan jiwa, namun dalam pelaksanaanya mereka masih berfokus pada pemberian obat dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kesehatan jiwa.Â
Namun hal yang terlupakan adalah peran bersama stakeholder melalui kerjasama untuk bersama-sama melakukan perbaikan terhadap perlakuan bagi orang dengan gangguan jiwa, minimal menurunkan atau meniadakan stigma negatif yang masih terus berkembang.