Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat

| Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada | Bachelor of Nursing Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Peran Perawat dalam Melawan Stigma ODGJ

11 Oktober 2019   07:00 Diperbarui: 11 Oktober 2019   09:15 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : IndoSurflife.com

Sebagian masyarakat Indonesia yang pada umumnya tinggal di pedesaan masih belum bisa "move on" dari stigma negatif yang dilekatkan kepada orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ. 

Sebutan "orang gila" atau "sinting" dengan pose jari telunjuk miring di dahi kerap kali terucap dan tidak dapat dihindari manakala bertemu dengan orang dengan gangguan jiwa. Sebuah sikap yang jauh dari menjaga kesehatan mental itu sendiri.

Diskriminasi berupa cemoohan, ketidakpedulian lingkungan sekitar, serta tindakan merantai orang dengan gangguan jiwa masih juga terjadi. Aksi pasung yang kerap diterima orang dengan gangguan jiwa menyebabkan mereka mengalami cidera atau bahkan sakitnya bertambah. 

Kurangnya kepedulian keluarga seolah menambah penderitaan orang dengan gangguan jiwa. Ini terjadi karena aib memiliki orang dengan gangguan jiwa merupakan masalah besar dalam keluarga.

Munculnya stigma semacam itu bisa saja terjadi karena keluarga belum memahami apa itu sakit jiwa. Kurangnya pengetahuan memang akan berdampak pada cara seseorang memperlakukan orang dengan gangguan jiwa.

Maka sebenarnya yang dibutuhkan adalah sosialisasi oleh tenaga kesehatan sebagai garda terdepan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.

Di Puskesmas sudah dibentuk program jiwa yang dijalankan oleh perawat dalam melakukan screening terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa. Program ini positif karena selain screening, petugas juga bisa melakukan sosialisasi atau bahkan melakukan kerjasama lintas sektoral untuk mengubah paradigma yang ada.

Gambaran umum yang ada di masyarakat tentang paradigma sehat dan sakit memang masih pada tatanan yang sempit. Kita hanya akan disebut sakit jika kejadian itu menimbulkan gangguan pada fisik kita sendiri, padahal sehat jiwa juga diperlukan untuk mendukung jalannya kehidupan yang seimbang.

Sehat dan sakit merupakan alur atau tahapan yang dilalui manusia dalam rentang waktu kehidupannya. Secara umum, kebanyakan dari kita lebih berfokus pada sakit fisik seperti diabetes, jantung atau bahkan penyakit ginjal, namun sedikit diantara kita yang peduli tentang gangguan jiwa seperti cemas, stres, kehilangan dan berduka.

Jika gangguan tersebut sudah sampai pada tahapan yang lebih berat maka problematika yang terjadi yaitu hilangnya kesadaran atau berubahnya alam pikir seseorang dari manusia normal menjadi abnormal.

Faktor yang mempengaruhi biasanya datang dari dua hal yang sering disebut faktor predisposisi dan presipitasi atau pencetus dan pemicu.

Dinamika kehidupan selalu memunculkan bahagia dan sedih, kecewa atau diterima. Histori kehidupan akan tetap direkam dalam alam sadar manusia dan itu akan berlanjut sampai pada tahapan dimana orang tersebut mampu mendeskripsikan dengan baik atau bahkan menghujat histori kehidupan itu sendiri.

Faktor pemicu kadang bisa dimulai dari masa kanak-kanak yang kurang bahagia, lingkungan yang tidak bertumbuh atau kegagalan dalam keluarga yang berdampak pada mental anak itu sendiri. Ketika itu tidak ditangani dengan baik maka kemungkinan besar masalah mental akan terjadi pada seseorang. 

Selain itu, faktor pencetus berupa kegagalan berumah tangga, gagal masuk sekolah, nilai rendah, atau bahkan ditinggal pacar menikah kerap kali menjadi masalah yang timbul dari orang dengan gangguan jiwa.

Sebagai perawat yang pernah bekerja di puskesmas wilayah terpencil di Indonesia, penulis meyakini bahwa hal terpenting dalam penanganan orang dengan gangguan jiwa bukan pada seberapa disiplin seseorang meminum obat tapi seberapa besar dukungan orang sekitar, seperti keluarga dan masyarakat, untuk mengayomi dan bukan sebaliknya menghujat atau memberikan stigma yang buruk.

Aspek kuratif dan rehabilitatif memang penting tapi akan jauh lebih penting dan bermakna jika dibarengi dengan aspek preventif dan promotif ditambah dengan kerja sama yang baik lintas sektoral untuk mau peduli dan turun tangan terhadap orang dengan gangguan jiwa.

Sumber Foto : Kompas Health
Sumber Foto : Kompas Health
Suatu saat penulis pernah bertemu dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di wilayah NTB dengan faktor pencetus yaitu ditinggalkan oleh istri menikah. Sudah beberapa kali dia masuk keluar rumah sakit jiwa dengan kesadaran yang membaik dan kadang pula memburuk. 

Saat membaik, dirinya dengan penuh kesadaran mengatakan bahwa dirinya tidak sehat, keluarga menjauhinya dan bahkan tetangga menutup pintu untuknya.

Di saat kambuh, kadang sebagian masyarakat merantai atau memasung kakinya, ditempatkan menyendiri di ruang tertutup dan ditinggalkan. Sesekali keluarga hanya memberi makan sewajarnya.

Kejujuran yang dia sampaikan sebenarnya merupakan pintu bagi tenaga kesehatan untuk senantiasa memberikan motivasi kepada keluarga dan masyarakat bahwa apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan sikap yang ramah terhadap orang dengan gangguan jiwa. 

Stigma menjauhi dan menganggap aib orang dengan gangguan jiwa merupakan salah satu faktor yang menyebabkan orang tersebut rentan untuk kambuh lagi atau bahkan gangguan jiwanya bertambah berat.

Faktanya memang benar jika di puskesmas sudah terdapat program jiwa yang tugasnya melakukan screening kepada masyarakat yang mengalami gangguan jiwa, namun dalam pelaksanaanya mereka masih berfokus pada pemberian obat dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kesehatan jiwa. 

Namun hal yang terlupakan adalah peran bersama stakeholder melalui kerjasama untuk bersama-sama melakukan perbaikan terhadap perlakuan bagi orang dengan gangguan jiwa, minimal menurunkan atau meniadakan stigma negatif yang masih terus berkembang.

Inovasi melalui program dan sosialisasi oleh tenaga kesehatan terutama perawat di komunitas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan akan sangat bermanfaat dalam mengurangi stigma. 

Program yang berkesinambungan akan tetap dibutuhkan setidaknya mengurangi tindakan dari memasung atau merantai orang dengan gangguan jiwa kepada tindakan yang lebih bermartabat seperti screening dan rujukan langsung ke rumah sakit jiwa jika ditemukan orang yang memiliki gangguan jiwa.

Memang semuanya tidak mudah dan butuh waktu yang cukup lama, tapi kepercayaan bahwa kesuksesan dimulai dari langkah pertama akan senantiasa menyemangati perawat jiwa untuk menunjukkan dedikasi dan bakti demi masyarakat Indonesia yang sehat jiwanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun