Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demo Buruh 2022, Saatnya Pemerintah Berpihak Pada Buruh

16 Januari 2022   21:44 Diperbarui: 18 Januari 2022   20:52 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun sisi tersebut masih berbenturan dengan pasal-pasal kontroversi yang dianggap secara sepihak tidak pro pekerja.

Mungkin menarik jika kita merujuk pada referensi Barbara Sinclair (2012), bahwa Omnibus Bill, merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait. 

Sementara dalam kasus Omnibus Law di Indonesia, salah satu kekurangannya, omnibus law UU Cipta Kerja, proses pembuatannya sangat cepat dan tidak partisipatif.

Penggunaan Omnibus Law telah banyak dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system. Di dunia terdapat dua sistem hukum yakni common law system dan civil law system. 

Sementara Indonesia mewarisi tradisi civil law system, apakah hal ini bisa dijalankan dalam sisitem kultur hukum yang berbeda dan tidak dominan?

Ada apa lagi dengan Omnibus Law

Agar ada kesepahaman, kita bisa melihatnya dari sisi terminologi. Omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti "untuk semuanya".

Omnibus Law adalah konsep atau metode pembuatan regulasi yang menghimpun sejumlah aturan di mana substansi setiap aturan berbeda-beda, namun tergabung dalam satu paket hukum. Kelompok buruh sejak awal bergulir paket hukum Omnibus law atau Undang-undang "sapu jagat" telah menolak dengan keras.

Terdapat pasal kontroversi dalam omnibus law yang menjadi pangkal ketidak setujuan para buruh. Dulu tuntutannya kurang lebih meliputi tiga hal; pembatalan Omnibus Law UU Ciptaker oleh MK, bendung ledakan PHK, dan pemberlakuan upah minimum sektoral kabupetan,kota (UMSK) 2021. 

Kini tuntutan itu semakin kompleks. Tetap menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Kemudian, meminta revisi Surat Keputusan (SK) Gubernur terkait upah minimum kota/kabupaten (UMK) dengan kenaikan antara 5 persen-7 persen, dan terakhir meminta revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai salah satu bagian dari Omnibus Law Ciptaker, ada regulasi terkait Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, serta Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun