Sejak Taman Kanak-Kanak, (TK) kita sudah dilatih untuk "membebek". Memasuki bangku Sekolah Dasar (SD), kita ditakut-takuti, jika tak bisa membaca ia kita dianggap "bodoh dan tak berdaya".Â
Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, sisa keberanian kita hanya tinggal 50 persennya saja. Dan sisanya hilang di bangku SMA.
Maka ketika guru bertanya, apakah pelajarannya sudah jelas, maka seisi kelas diam-yang diartikan guru sambil kebingungan, apakah siswanya paham, tidak paham atau tidak jelas sama sekali.Â
Dan Ketika masuk universitas, kelas Maha-kita menjadi apatis, apakah berpendapat itu sesuatu yang baik, apakah berpendapat boleh, apakah berpendapat menunjukkan kita pintar, apakah boleh kita menunjuk tangan untuk bertanya.
Maka sekali lagi saya selalu bilang, di kelas yang saya ampu-di sekolah maupun di NGO, sebenarnya ketika kita belajar dan membagi ilmu kepada siapapun, kita adalah guru, tapi jika hatimu memilihnya menjadi sebuah profesi mulia, itu sebuah berkah yang luar biasa.
Ketika di depan kelas, aku menyadari bahwa aku bisa berada di depan kelas, karena bimbingan guru-guruku dulu, termasuk ibu dan ayahku yang menjadi guru pertama di rumah, sebelum aku melangkah ke rumah "keduaku" di sekolah bersama guru-guruku.Â
Di momentum Hari Guru 2021 aku ucapkan jutaan terima kasih Ibu, Bapak guruku untuk semua "hadiah dan karunia" ilmu yang luar biasa, yang tak akan terbalaskan.Â
Hanya Allah azzawajala yang akan mengganti semua hikmah itu.