Pernah sekali waktu, aku berusaha membolos untuk pertama kalinya bersama selusin teman.
Ketika semua teman sedang melompati tembok dan aku berada di antara mereka, Bu CS justru dengan detail menyebut namaku lengkap dengan bin fulan dan fulan, serta tambahan akan segera dilaporkan ke ibuku jika berusaha kabur juga. Maka aku menyerah. Begitulah "siksaan" model itu berlangsung selama tiga tahun.
Tapi lucunya, ketika aku didera masalah dan tak seorang pun peduli, justru Bu CS duduk di sebelahku tanpa rasa bersalah dan berusaha menjadi teman baikku. Di antara ketiadaan tempat curhat, maka kami berdamai-berteman. Sejak saat itu aku cs-an dengannya.
Aku ingat beliau selalu bilang jangan jadi guru, repot karena punya anak banyak dan susah diatur, mana gajinya pas-pasan.Â
Pas gajian senang, pas tengah bulan merana, pas akhir bulan prihatin. Tapi jika terpaksa juga, maka jadilah seorang guru karena sebuah "niat baik".Â
Dan anehnya, sejak saat itu aku justru bercita-cita jadi guru. Â Aku merasa justru kritikan dan perlakuannya mengajarkanku tentang semangat tak menyerah-sebuah energi untuk meraih cita-cita dan impian.
Tapi akhirnya aku justru kandas di sebuah fakultas ekonomi, bukan keguruan. Dan selama belasan tahun kemudian, aku justru bekerja di NGO bagian keuangan, berkutat dengan siklus akuntansi, dari jurnal hingga financial report.
Tapi bagaimanapun, Bu CS adalah "teman" terbaikku, bahkan hingga berpuluh tahun kemudian ketika kami bertemu, tak lagi berdua tapi bertiga, berempat bahan berlima (dengan istriku dan anak pertamaku, anak kedua dan anak ketiga). Ia menjadi ibu keduaku setelah ibuku di rumah.Â
Itu bertahun lalu, dan lebaran tahun ini menjadi lebaran terakhir aku mengunjunginya, karena kemarin beliau pergi untuk selamanya karena pandemi yang tak diduganya. Allahuma yarhamna, semoga Allah selalu menyayangimu selalu, karena ibu memang baik hati.
Setiap Orang Adalah Guru
Kini profesi guru telah jauh berubah, tak lagi seperti kata Bu CS, terutama soal kesejahteraan.Â