Paska 'ujian kasus' praperadilan yang dimenangkan oleh lawan KPK, secara beruntun pukulan bertubi-tubi melanda KPK. Dimulai dari 'kriminalisasi' petinggi KPK dari urusan KTP hingga mengarahkan saksi dalam sidang pengadilan, hingga mengungkit kasus lama yang dikondisikan agar sewaktu-waktu dapat dijadikan basis argumentasi mengubek KPK dari luar dan dalam.Â
Dalam kondisi ini, petinggi KPK berguguran, digantikan petinggi baru yang secara tidak langsung mendapat tekanan kanan kiri sehingga independensinya menjadi labil dan cenderung kompromistis.
Dan dalam situasi serba tidak jelas ini, meminjam istilah Teten Masduki, dibutuhkan upaya 'penyegaran berkelanjutan' dalam mengimplementasikan strategi nasional (stranas) antikorupsi dengan inovasi metodologi baru. Agar jurus-jurus KPK tidak mudah dimentahkan oleh lawan-lawan 'politisnya'. Jalannya, dengan kepemimpinan kelembagaan, dan peta jalan pemberantasan harus disiapkan untuk menentukan prioritas dan efek jera yang lebih luas.
Jika di awal reformasi gejala penyembuhan korupsi mulai menunjukkan dosis obat yang tepat, kini justru makin mengkuatirkan. Jika dulu reformasi dalam bentuk perampingan kelembagaan dan penerapan sistem Merit (penghargaan dan promosi pegawai berdasarkan kemampuannya) menjadi agenda utama perbaikan pelayanan umum dan kinerja pemerintah serta BUMN, kini tidak lagi fokus.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka kita akan mundur jauh kebelakang ke dalam situasi ketika frustrasi sosial me-nasional, melanda tidak saja seluruh rakyat, juga menjangkiti jajaran birokrasi yang mulai memimpikan Indonesia yang bersih.Â
Dan di bawah panji Presiden Jokowi hasil Revolusi Votters yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia, janganlah kekecewaan dan frustrasi sosial ini justru tumbuh subur lagi, gara-gara tidak ada kebijakan 'tegas' untuk menguatkan lembaga anti korupsi dan membendung makin suburnya asimilasi korupsi dalam demokrasi Indonesia baru yang sedang menemukan jati diri, dan menjadikannya sebagai 'democrazy Indonesia'.