Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Asimilasi Korupsi dan Frustasi Sosial

16 September 2019   16:17 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:22 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01308772/index.html?page=2

Dalam "Jalan Pedang Memerangi Korupsi", Teten Masduki menulis "pengaruh gerakan antikorupsi masih belum terlalu kuat untuk menghentikan praktik korupsi. Kejahatan ini terus hidup dan tumbuh di tengah upaya untuk memeranginya. Korupsi di Indonesia memiliki kemampuan asimilasi (penyesuaian diri) yang luar biasa dari sistem otoriter ke demokrasi tanpa hambatan."

Kondisi itu kian menemukan kebenarannya dalam situasi dan kondisi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu institusi pemilik ranah kerja-kerja anti korupsi mengalami kriminalisasi berkelanjutan paska peristiwa Cicak versus Buaya dan menjadi jilid dua yang endingnya menyebabkan hidup KPK menjadi amburadul.

Meskipun sejak KPK menunjukkan taringnya, ada anggapan bahwa siapapun yang berani mengganggu KPK akan langsung menghadapi perlawanan sengit dari masyarakat. Namun ketika institusi dan tataran elite yang memainkan peran sebagai 'musuh' KPK situasi menjadi seperti berbalik, KPK menjadi institusi anti korupsi yang terbiarkan sendirian hampir tanpa perlawanan yang berarti. Meskipun harus diakui dalam konfrontasi yang tidak seimbang tersebut ada porsi pembelajaran profesionalitas KPK juga.

Bahkan ketika pilihan KPK pada akhirnya menghentikan tuntutan dalam kasus yang menjeratnya dan menyerahkan sebagian urusan penanganan kasus korupsi pada pihak Kejaksaan Agung, makin memiskinkan peran KPK. Blunder ini tidak saja menimbulkan tumbuh kembalinya frustrasi sosial yang telah berkepanjangan. 

Jika dulu persoalannya adalah ketiadaan lembaga anti korupsi yang 'tajam ke atas', maka persoalan bergeser pada lembaga anti korupsi yang tidak lagi punya 'taji yang kuat'? Kondisi diperparah dengan situasi termutakhir ketika KPK 'digoyang' revisi UU KPK yang kian 'meminggirkan' peran lembaga antirasuah tersebut.

Maka reformasi dalam urusan perkorupsian yang mulai menunjukkan titik terang menjadi redup. Ada kebijakan tidak tegas dari Presiden dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul kepermukaan. Menyerahkan kepada mekanisme secara mengambang menyebabkan banyak pihak 'memanfaatkan' situasi tidak jelas ini untuk mengombang-ambingkan biduk KPK ke laut lepas yang tidak jelas pantainya, dan bahkan mungkin membiarkan KPK terdampar di pulau tanpa penghuni sendirian.

Bahkan dalam perkembangan mutakhir, di tengah kelangkaan kalangan elite pimpinan dari banyak strata dan kelompok; agama, birokrasi bahkan bisnis yang sepikiran dengan KPK, bahkan para elite memanfaatkan usia demokrasi yang relatif muda untuk mereproduksi cara-cara kotor dalam mendapatkan logistik politiknya. Politik usang dan politik 'gentong babi' model Orba menjadi mesin pembangun basis atau dukungan politik di tengah miskinnya gagasan perubahan yang ditawarkan. Sehingga hampir mustahil akan datangnya perubahan yang diharapkan. (Teten Masduki; 92).

Frustrasi sosial

Akan menjadi blunder yang berbahaya bagi masa depan bangsa ini, ketika segala upaya untuk memberantas korupsi justru dimandulkan oleh kelompok elite yang semestinya menjadi pioner arah perubahan.

KPK saat ini, meskipun di belakang barisannya didukung oleh hampir seluruh rakyat, hampir tidak menemukan pijakan yang kokoh untuk bergeming dari banyak kasus korupsi, tanpa dukungan kebijakan yang 'serius' dari pemerintah.

Paska 'ujian kasus' praperadilan yang dimenangkan oleh lawan KPK, secara beruntun pukulan bertubi-tubi melanda KPK. Dimulai dari 'kriminalisasi' petinggi KPK dari urusan KTP hingga mengarahkan saksi dalam sidang pengadilan, hingga mengungkit kasus lama yang dikondisikan agar sewaktu-waktu dapat dijadikan basis argumentasi mengubek KPK dari luar dan dalam. 

Dalam kondisi ini, petinggi KPK berguguran, digantikan petinggi baru yang secara tidak langsung mendapat tekanan kanan kiri sehingga independensinya menjadi labil dan cenderung kompromistis.

Dan dalam situasi serba tidak jelas ini, meminjam istilah Teten Masduki, dibutuhkan upaya 'penyegaran berkelanjutan' dalam mengimplementasikan strategi nasional (stranas) antikorupsi dengan inovasi metodologi baru. Agar jurus-jurus KPK tidak mudah dimentahkan oleh lawan-lawan 'politisnya'. Jalannya, dengan kepemimpinan kelembagaan, dan peta jalan pemberantasan harus disiapkan untuk menentukan prioritas dan efek jera yang lebih luas.

Jika di awal reformasi gejala penyembuhan korupsi mulai menunjukkan dosis obat yang tepat, kini justru makin mengkuatirkan. Jika dulu reformasi dalam bentuk perampingan kelembagaan dan penerapan sistem Merit (penghargaan dan promosi pegawai berdasarkan kemampuannya) menjadi agenda utama perbaikan pelayanan umum dan kinerja pemerintah serta BUMN, kini tidak lagi fokus.

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka kita akan mundur jauh kebelakang ke dalam situasi ketika frustrasi sosial me-nasional, melanda tidak saja seluruh rakyat, juga menjangkiti jajaran birokrasi yang mulai memimpikan Indonesia yang bersih. 

Dan di bawah panji Presiden Jokowi hasil Revolusi Votters yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia, janganlah kekecewaan dan frustrasi sosial ini justru tumbuh subur lagi, gara-gara tidak ada kebijakan 'tegas' untuk menguatkan lembaga anti korupsi dan membendung makin suburnya asimilasi korupsi dalam demokrasi Indonesia baru yang sedang menemukan jati diri, dan menjadikannya sebagai 'democrazy Indonesia'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun