Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menapak Banten Lama, Mengungkap Lokal Jenius yang Terlupa

29 November 2022   10:20 Diperbarui: 29 November 2022   18:48 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Keraton Kaibon di Serang, Banten (dok.pri, 2022)

Saya, yang selama bertahun-tahun lebih banyak bergulat di dunia arkeologi bagian timur Nusantara, juga merasakan ada ruang informasi kesejarahan dan kebudayaan di Banten, yang masih perlu diisi. 

Oleh karenanya, ketika ada tim riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengajak saya dalam tim risetnya, serta merta saya sambut dengan gembira. Tim riset diketuai oleh Rismawidiawati dari Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PRKKP) di bawah payung Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra (OR Arbastra).  

Menjadi menarik, ketika Banten menjadi medan lapangan penelitian yang selama ini cukup padat, namun lebih didominasi oleh cara melihat kesejarahan Banten dalam cara pandang ekonomi dan politik. Belum lagi, jika menilik Banten masa lalu, dalam berbagai cara pandang itu, lebih banyak diisi oleh cara pandang kolonialisme. Banten, dilihat sebagai kota kosmopolitan, kota kesultanan yang tenggelam setelah episode panjang kolonialisme Belanda. 

Ilustrasi: Menara Pecinan Tinggi, di Kampung Dermayon, Serang, Banten. Sumber : Abd. Rahman Hamid/Tim Riset PRKKP BRIN, 2022
Ilustrasi: Menara Pecinan Tinggi, di Kampung Dermayon, Serang, Banten. Sumber : Abd. Rahman Hamid/Tim Riset PRKKP BRIN, 2022

Ketua tim riset Rismadiawati didampingi Roni Tabroni dari PRKKP BRIN dan Abd. Rahman Hamid dari UIN Intan Lampung, sebagai anggota tim riset dalam suatu diskusi mengatakan, melihat Banten dalam cara pandang demikian, seperti melihat kebesaran Banten dibalik tirai kelambu. Ada bayangan yang samar. Oleh karenanya, perlu menyibakkan tirai kelambu itu agar melihatnya lebih jelas. Tirai kelambu itu adalah budaya lokal Banten, yang belum sepenuhnya tersibak. 

Tidak mungkin, Banten, yang demikian besar, demikian masyur, jika tidak dilandasi basis lokalitas budayanya. Mungkin publik mengenal debus, tradisi lokal Banten yang berkembang masa Keislaman Banten pada puncak kejayaannya. Namun, rasanya dalam sebuah sistem kelembagaan sultan, budaya lokal lainnya memegang peran penting dalam menjaga kebesaran Banten yang inklusif. 

Banten sebagai sebuah pemerintahan kesultanan, mampu bertahan menguasai jaringan kekuasaan dan keagamaan juga jaringan niaga rempah dalam hal ini lada, di tengah persaingan global pada masa itu, adalah pertanyaan yang masih perlu diangkat.

Oleh karenanya, riset yang dilakukan di Banten, dalam khazanah keagamaan dan peradaban menjadi penting untuk menjawab bagaimana modalitas kultural Banten dalam menguasai jaringan keagamaan, kekuasaan dan perniagaan di wilayah bagian barat nusantara masa itu. 

Gawe Kuta Balawarti, Bata Kalawan Kawis

Gawe Kuta Balawarti, Bata Kalawan Kawis  adalah salah satu basis lokal untuk memahami filosofi Banten dalam membangun pertahanan (baca: kekuasaan). 

Konsep itu bukan hanya dalam arti harafiah 'membangun kota benteng, dengan bata dan karang'. Namun memiliki filofosi simbolik tentang budaya 'kebantenan'. Gawe kutha balawarti, bata kalawan kawis, adalah sebuah instrumen lokal jenius (kecerdasan lokal) pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580) dalam menerapkan konsep bertahan dan sekaligus berkuasa dalam geopolitik dan geokultural Banten pada masa itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun