Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menapak Banten Lama, Mengungkap Lokal Jenius yang Terlupa

29 November 2022   10:20 Diperbarui: 29 November 2022   18:48 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Keraton Kaibon di Serang, Banten (dok.pri, 2022)

Secara simbolik, filosofi itu sebagai simbol atau perlambangan dalam mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki Banten serta menggerakkan energi masyarakat Banten dalam membangun sebuah benteng pertahanan. Sementara benteng pertahanan itu sendiri, adalah simbol kekuasaan yang harus dipertahankan. 

Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya lingkungan, baik yang dibuat ataupun diambil dari lingkungan setempat. Dalam proses itu sumberdaya masyarakatnya, juga memegang peran penting dalam proses membangun benteng pertahanan. 

Bata (batu bata) yang dibuat oleh masyarakat, ataupun kawis (batu karang) yang tersedia. Kedua sumberdaya itu menunjukkan harmoni antara masyarakat (sosial) dengan alam atau lingkungannya. Kedua hal itu berpadu harmonis, karena di dorong oleh otoritas Sultan secara politik, kemasyuran, kewibawaan dan juga kehormatan secara kultural dan sosial. 

Titah Sultan, baik bersifat imperatif (perintah) maupun karena kewibawaan, kemasyuran, ataupun kehormatan menjadi energi yang menggerakkan masyarakat untuk mengelola lingkungan demi kehormatan dan kewibawaan kesultanan itu sendiri. 

Di balik filosofi Gawe Kuta Balawarti, Bata Kalawan Kawis yang terwujud secara arkeologis atau material kulturnya dalam bentuk benteng pertahanan,  ada ruh peradaban, yang menggambarkan harmonisasi Sultan dengan rakyatnya dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam untuk kemajuan pemerintahan kesultanan. 

Ilustrasi : Tampak jejak reruntuhan Keraton Surosowan, Banten. Sumber: Rismawidiawati, 2022
Ilustrasi : Tampak jejak reruntuhan Keraton Surosowan, Banten. Sumber: Rismawidiawati, 2022

Maka tak heran, jika Lada sebagai sumberdaya yang dihasilkan oleh kesuburan lahan pertanian Banten, menjadi produk andalan yang mampu dipasarkan secara luas melalui penguasaan maritim. Kesultanan Banten mampu menguasai jaringan perdagangan maritim di wilayah barat Nusantara. Bahkan berdasarkan filosofi ini pula pada masa pemerintahan Maulana Yusuf antara 1570-1580, perekomian Banten tidak hanya bersandar pada kekuatan perdagangan lada. 

Sultan, juga membuat kebijakan untuk rakyatnya membuka lahan-lahan pertanian persawahan di pesisir pantai. Kebijakan Sultan Maulana Yusuf itu, diterapkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam kerajaan Banten.

Dengan demikian, Gawe Kuta Balawarti, Bata kalawan Kawis, adalah falsafah lokal yang menggambarkan dualitas kekayaan sumberdaya alam, bata sebagai simbol tanah di daratan dan kawis sebagai simbol kekayaan laut atau maritim. 

Dua sumberdaya alam inilah, yang jika dikelola dengan baik, dipadukan akan memberikan kemakmuran bagi masyarakat banten. Oleh karena itu, dalam filosofi ini, membangun pertahanan dimaksudkan pula bahwa sultan dan rakyatnya mampu mengelola dan memadukan kekayaan sumberdaya di darat dan sumberdaya di laut (kekayaan maritim).

Sasapton, Diplomasi Kultural Politik Kekuasaan Banten

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun